42.

854 64 27
                                    

Kondisi Alta sudah jauh lebih baik dan di perbolehkan pulang. Namun, dia tidak tenang dirumahnya. Keadaan Biru yang belum juga siuman membuatnya malas tinggal meski Euz sudah mewanti-wanti agar Alta tidak kemana-mana dulu.

"Elo ngapain ke sini?!" sembur Euz kala melihat Alta berjalan masih pincang di lorong rumah sakit. "Nyari mati amat sih, ta!" decaknya.

Alta duduk lesehan didepan ruang rawat Biru. Pakaiannya serba kusut dan hitam. Kepalanya ditutup kupluk.

Tak lama Ragil terlihat berjalan dengan agresif. Dia memaki-maki Alta dengan nafas memburu setelah menemukan remaja itu. Euz memijat kepalanya karena Ragil kecolongan menjaga Alta. "Elo semua emang nyusahin gue aja bisanya!"

Ragil berdecih, telunjuknya mengarah lurus pada Alta. "Dianya aja nih! Masa gue tinggal berak aja udah ilang."

Alta balas menatap Ragil dengan acuh tak acuh. Kemudian mengedikkan bahu sambil berkata. "Sorry."

"Ada apa sih ribut-ribut?" Liam nongol dari ruang Biru, keningnya berkerut mendapati Alta. "Lho? Kok lo disini, ta?"

"Biru gimana?" Alta malah mengabaikan pertanyaan Liam, dia bangkit seraya berpegangan pada dinding. "Kata Dokter apa?"

Dika nimbrung setelah mengambil pesanan makanannya sampai. Lalu pelan-pelan menggiring kawannya tersebut masuk. "Udah-udah, makan dulu." sudut matanya melirik Euz. "Lo sama Liam pulang aja, Euz. Istirahat, ada Ragil sama Alta kok."

Liam menepuk pundak Euz, dia tau yang paling capek disini adalah Euz. Laki-laki itu selalu berpikir dewasa dan bersikap selayaknya Abang. Meski Alta adalah ketua, tapi Euz yang paling bisa diandalkan. "Ayo, jangan sampe lo sakit."

Wajah lesu Euz terlihat sangat jelas, dia mengangguk kecil. Lalu melirik Alta sekilas. "Taaa."

"Gue nggak apa-apa, euz." Alta tersenyum tipis. "Lo pulang aja, tidur yang cukup."

Euz menepuk kepala Alta, lalu mengikuti Liam yang berjalan lebih dulu. Setelah kepergian mereka, dika dan Ragil mulai memakan nasi padang-nya. Sedangkan Alta duduk memperhatikan Biru.

Cukup lama dia terdiam, dering ponsel mengganggu. Dika memberikan ponsel Alta dan jadi menyeringit. "Liora siapa, ta?"

"Sepupu gue. Kakak Lasi." Alta menolak panggilan tersebut karena teringat peringatan Galaksi, papa mereka. "Yang pernah jenguk gue."

"Yang nelponin Biru terus bukan sih?" Ragil menyambung.

Alta mendengus tawa. "Iya, dia suka sama Biru."

"Anjenggg! Nggak adeknya nggak kakaknya, urat malunya putus." sahut Dika terbahak.

Liora kembali mengirimkan pesan yang isinya ia sedang dirumah sakit untuk menjenguk Biru tapi tidak tau ruangannya. Alta mendesah pasrah, kemudian meminta Ragil menghampiri Liora di koridor utama.

Tak butuh waktu lama, yang ditunggu-tunggu datang juga. Liora memekik heboh mendapati kondisi Alta juga Biru. Dia bahkan menangis dengan lebay karena Biru belum juga siuman.

"Ayang..." lirih Liora, dika dan Ragil menatap dengan bibir berkedut. "Ih kok ayang belum bangun?" kepalanya menoleh pada Alta. "Gue cium dulu kali ya, ta?"

"Jangan gila, liora!" ketus Alta, menggeleng berulang. Dia menjauh dari Liora dan duduk disudut ruang.

Dika menyeringit, kayaknya Alta memang menganggap Lasi paling spesial dihidupnya. Perlakuannya pada Liora amat berbeda dengan Lasi, alta memilih menjauh didekat Liora.

Melihat Liora mulai tenang disamping Biru, ragil iseng bertanya. "Gimana kabarnya adek lo?"

Alta menegang hebat, jujur ikut penasaran dengan jawaban Liora. Dia sama sekali tak pernah berkomunikasi lagi dengan Lasi.

MANTAN DOI ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang