Bagian 2

88.9K 6.5K 81
                                    

Happy Reading !!!

***

Mengerjapkan mata berkali-kali demi menyesuaikan cahaya, Latisha bangun dari tidurnya yang terasa nyenyak ini. Dan sepertinya memang benar senyenyak itu melihat hari sudah begitu terang dengan hangat matahari yang menembus kulit. Membuat Latisha refleks menoleh ke samping, melihat jam yang berada di atas nakas.

Betapa terkejutnya Latisha saat mendapati jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Namun tak lama kemudian Latisha tersadar bahwa tidak ada kegiatan yang harus dilakukan mengingat hari ini dirinya masih memiliki jatah cuti hingga dua hari ke depan.

Latisha tidak dapat melupakan hari pernikahan yang kemarin diselenggarakan, hanya saja ia menolak mengingat siapa yang menjadi mempelainya di pelaminan, dan sekarang ...

"Ke mana bocah itu?" tanyanya pada diri sendiri kala melihat sekeliling kamar dan tidak juga mendapati Saga berada di sana. Lalu tak berapa lama Latisha ingat bahwa semalam dirinya tidur di sofa, tapi kenapa sekarang bangun di ranjang?

"Jangan bilang kalau bocah itu yang mindahin!" ujarnya pada diri sendiri, lalu setelahnya decakan pelan meluncur seraya menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya. Takut hal-hal tidak diinginkan terjadi mengingat bagaimanapun Saga adalah seorang laki-laki. Usianya boleh muda, tapi justru di usia seperti itulah rasa penasaran sedang merajai. Ia tidak ingin status pernikahan dijadikan Saga alasan untuk mencari tahu rasa penasarannya itu. Namun Latisha menghela napas lega saat tidak ada tanda-tanda yang menjurus pada tuduhannya barusan. Itu artinya Saga hanya menggendong dan memindahkannya dari sofa ke ranjang. Jika benar begitu itu artinya semalam mereka tidur satu ranjang.

Sial!

Tok ... tok ... tok.

"Sha, bangun belum? Ada mertua kamu di bawah,"

"Udah Bun," sahut Latisha seraya turun dari ranjang dan melangkah menuju pintu untuk menemui sang bunda. "Aku baru bangun, mau mandi dulu. Gak apa-apa 'kan?" tanyanya begitu membuka pintu dan mendapati ibunya berdiri di sana.

"Ya sudah, biar Bunda bilang sama mertua kamu. Jangan lama-lama tapi, ya?"

Anggukan singkat menjadi jawaban yang Latisha beri. Tidak langsung menutup pintu, Latisha menatap kepergian bundanya dengan wajah sendu.

Kembali mengingat pernikahan yang terjadi kemarin lagi-lagi membuat Latisha merasa sesak karena tidak ada satu pun orang yang merengkuhnya. Padahal ia begitu membutuhkan itu. Latisha ingin di yakinkan, ia ingin di tenangkan, dan ia ingin ada satu saja orang yang memberinya pengertian.

Namun sayangnya semua itu tidak Latisha dapatkan. Keluarganya seolah merasa tidak ada kesalahan atas pernikahan yang di langsungkan, mereka tidak sama sekali menganggap ada kejanggalan. Bagi mereka semua berjalan lancar, tanpa peduli bahwa ia tertekan.

Latisha tidak tahu bagaimana harus menjalani kehidupan ini selanjutnya. Statusnya memang sudah menjadi seorang istri, tapi ia tidak merasa memiliki suami. Sagara bukan sosok yang ia inginkan, bukan pula pengganti yang cocok menjalani ini.

Pernikahan bukan untuk mainan, tapi takdir seolah tengah membuat permainan. Latisha tidak mengerti, tapi sepertinya memang terpaksa harus dirinya jalani. Toh tidak ada pilihan lain bukan? Ia hanya berharap semua tidak serumit yang dipikirkan.

Setengah jam waktu yang Latisha habiskan untuk membersihkan diri sebelum kemudian turun dari kamar demi menemui mertuanya yang datang entah untuk urusan apa. Namun segera Latisha temukan jawaban kala duduk di depan dua paruh baya yang tiga tahun ini cukup dirinya kenal dekat.

Menjalin kasih dengan Gyan membuat Latisha menemukan sosok keluarga baru yang syukurnya menerima kehadirannya dengan baik, bahkan bisa di bilang keluarga Gyan lebih peduli dari pada keluarganya sendiri.

Bukan hanya Latisha yang senang ketika Gyan mengutarakan niat untuk menikahinya karena nyatanya orang tua pria itu pun menyambut dengan gembira. Sampai mereka rela disibukkan dengan segala macam persiapan pernikahan. Naas semua kebahagiaan itu harus berakhir dengan kekecewaan.

Latisha dapat melihat jelas bayang sesal dan rasa bersalah mertuanya, membuat Latisha tahu bahwa bukan hanya dirinya yang merasa dicurangi oleh Gyan yang tiba-tiba pergi, nyatanya Ibu pria itu pun merasakan hal yang sama, lebih-lebih beliau harus merelakan anak bungsunya yang masih kecil untuk menanggung semua kesalahan yang kakaknya lakukan. Ini pasti tidak mudah. Karena untuk Latisha sendiri pun tidak mudah menerima kenyataan ini.

"Mama benar-benar minta maaf, Sha. Maaf atas nama Gyan. Mama tidak tahu sudah benar atau justru salah mengenai apa yang Mama lakukan ini, tapi Mama mohon, tolong terima Sagara. Anggap ini sebagai bentuk penebusan dosa kami yang tidak bisa menjaga Gyan. Mama tahu Saga jauh jika harus dibandingkan dengan Gyan, tapi Mama akan menjamin Saga mampu menjadi suami untukmu di kemudian hari."

Ucapan itu terdengar meyakinkan. Tapi Latisha ragu melihat bagaimana sikap Saga yang tengil dan kadang kekanakan. Jangan lupa bahwa sebelum hari ini ia sudah mengenal bocah itu berkat Gyan yang selalu saja membanggakan adik manjanya. Ya, perlu di ketahui, bahwa sosok yang Latisha nikahi adalah pria remaja yang masih senang dikeloni ibunya. Sagara juga tidak jarang merengek jika menginginkan ini itu. Bukankah Latisha lebih cocok sebagai babysitter-nya dibandingkan istrinya.

Oh, Tuhan, kenapa nasibku harus seperti ini?

"Dan karena Saga masih sekolah, kami yang akan menanggung semua kebutuhan kalian sampai Saga memiliki pekerjaan nanti," lanjut ibu Saga seraya mengulurkan sebuah kartu ke arah Latisha.

"Ma ...."

"Tolong di terima, Sha. Ini sebagai bentuk tanggung jawab kami atas pernikahan kalian. Kami tidak mungkin meminta Saga bekerja sekarang. Dia akan segera menghadapi ujian, dan lagi belum ada kemampuan yang Saga miliki sekarang. Kami bukan bermaksud merendahkan kamu, tapi bagaimanapun juga sekarang kamu adalah menantu keluarga Pranaya. Kami berhak menjamin kehidupan kamu. Ini Mama serahkan pada kamu karena tahu bahwa Saga bukan sosok yang pantas memegangnya untuk saat ini. Dia boros, kamu pasti tahu itu bukan?"

Sekilas Latisha mengangguk. Ia tahu bagaimana bocah itu karena tidak sekali dua kali Gyan menjadi pelarian Saga meminta uang tambahan untuk hal-hal yang tidak begitu diperlukan.

"Mama sama Papa juga sudah menyiapkan rumah untuk kalian. Bukan bermaksud apa-apa, Mama sama Papa hanya ingin agar Saga juga bisa belajar mandiri. Kamu boleh melakukan apa pun pada Saga jika dia kelewatan, tapi Mama minta tolong satu hal, boleh 'kan, Sha? Tolong bantu dan bimbing Saga untuk menjadi suami yang kamu harapkan. Mungkin itu akan menyulitkan kamu, tapi bagaimanapun Saga memang masih butuh bimbingan untuk mencapai kedewasaannya."

Itu benar, dan ini yang menjadi alasan Latisha keberatan. Menikah dengan Sagara bukan solusi yang baik. Latisha memilih batal nikah sebenarnya dari pada harus Saga yang menjadi penggantinya. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Mau tidak mau Latisha harus menyetujui apa yang diminta orang tua dari suaminya.

Mengingat kata suami, haruskah ia memperlakukan Saga sebagaimana statusnya? Cepat-cepat Latisha menggeleng, tidak setuju jika harus melakukan hal itu untuk seseorang yang sama sekali tidak dirinya cintai. Di tambah lagi usia Latisha dan Saga terpaut cukup jauh. Rasanya amat canggung jika ia harus berlaku hormat pada sosok yang lebih muda darinya. Tapi ...

Ah sudahlah, lihat saja bagaimana nanti. Sikapnya tergantung sikap bocah itu sendiri. Latisha bukan seseorang yang gila hormat, tapi dirinya tidak akan menghormati siapa pun yang tidak menghormatinya.

***

Tbc ..

My Brondong HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang