Bagian 3

76.5K 5.8K 76
                                    

Happy Reading !!!

***

Siang, ketika Latisha masih mengemas barang-barangnya, Saga datang masih dengan seragam sekolahnya yang membuat Latisha yakin bahwa laki-laki itu langsung datang ke sini selepas pulang sekolah.

Sama sekali Latisha tidak memiliki keinginan untuk menyapa apalagi berbasa-basi kenapa pria itu tidak pulang ke rumahnya sendiri. Latisha malas. Lagi pula Saga pasti akan memiliki jawaban yang mana status pernikahan menjadi alasan. Latisha belum mampu menerima sepenuhnya bersuamikan seorang anak SMA. Menikah dengan berondong sungguh tidak ada di daftar hidupnya selama ini. Sayang saja nasib yang dirinya terima tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

“Masih banyak yang mau di kemas gak, Sha?” tanyanya begitu mengambil duduk di sisi lain ranjang.

“Kenapa, mau bantu? Gak perlu, aku bisa sendiri,” jawab Latisha tanpa menoleh ke arah Saga. Memilih tetap fokus pada barang-barang yang sedang dikemasnya untuk pindah ke rumah baru.

Sekembalinya ibu Saga tadi pagi, Latisha tidak lantas berniat tinggal lebih lama di rumah orang tuanya. Ia memutuskan untuk langsung membereskan pakaian dan barang lainnya agar bisa secepatnya tinggal terpisah. Latisha enggan tetap tinggal karena pasti sikapnya akan ayah dan bundanya komentari. Bukan ia berniat berlaku tak sopan pada suami sendiri hanya saja butuh waktu untuk Latisha menerima Saga dan pernikahan ini.

“Ya udah,” katanya mengedikkan bahu acuh, lalu mengambil posisi berbaring di ranjang. “Kalau udah selesai bangunin ya,” tambahnya sebelum memejamkan mata dan benar-benar tidur. Membiarkan Latisha berkemas sendiri.

Dua jam kemudian, semua yang niat Latisha bawa ke tempat tinggal baru selesai di kemas. Ada beberapa kardus berisi buku-buku beserta barang lainnya, di tambah dua koper besar berisi pakaian juga make up.

Sesuai apa yang Saga bilang tadi, Latisha membangunkan laki-laki itu dan memintanya untuk membawa barang-barangnya ke mobil. Mumpung hari masih terang, ia bisa langsung pindahan sekarang. Meskipun ibu mertua sudah bilang bahwa rumah sudah siap huni, tetap saja pasti ada yang mesti dibereskan. Termasuk barang-barangnya sekarang. Lagi pula Latisha ingin mendekor kamarnya sendiri agar ia nyaman meski kenyataan harus tinggal bersama Saga.

“Mau pindahan sekarang, Sha?” bundanya bertanya ketika Latisha dan Saga turun dari lantai dua dengan barang di tangan masing-masing.

“Iya, Bun, mumpung masih siang,”

“Kenapa gak nginap semalam lagi aja. Lagi pula kamu masih cuti kerja ‘kan?”

Itu memang benar tapi masalahnya Latisha hanya memiliki waktu sekarang. Besok ia akan berusaha mencari Gyan. Latisha masih butuh penjelasan pria itu meskipun semua sudah terlanjur dan ia juga belum tentu bisa menerima alasan kepergiaannya apalagi memaafkan pria itu. Tapi setidaknya Latisha harus tahu kenapa Gyan tidak datang ke hari pernikahannya sendiri.

“Biar capeknya sekalian aja, Bun.”

Latisha tidak sepenuhnya berbohong untuk alasan itu, karena nyatanya ia lebih suka merasa cape sekaligus dari pada harus menunda-nunda pekerjaan.

“Bunda gak bisa larang kamu,” terdengar helaan napasnya yang berat, membuat Latisha menoleh dan memberikan senyum tipis.

“Bunda baik-baik di rumah ya, jangan terlalu kecapean dan mikirin banyak hal. Tisha sayang bunda,” memeluk erat wanita berjasa dalam hidupnya yang meski tidak selalu menunjukkan kepeduliannya, Latisha tetap menyayangi bunda-nya. Ia tidak pernah membenci keluarganya meskipun mereka lebih memikirkan nama baik dari pada anaknya sendiri. Sampai kapan pun Latisha tidak bisa membenci mereka. Ayah, bunda adalah sosok yang membuatnya ada. Dan ia tahu mereka menyayangi dirinya meskipun kepedulian itu tidak pernah mereka perlihatkan. Tak apa, itu sudah cukup untuk Latisha.

Setelah berpamitan kepada ayah dan bundanya, serta bibi yang sejak lama bekerja di rumah ini, Latisha pergi bersama Saga menuju rumah baru yang mulai hari ini akan mereka tempati berdua. Menjalani biduk rumah tangga yang entah bagaimana nasibnya ke depan.

Latisha sudah memiliki rencana dalam menjalani kehidupan baru ini, namun bukan bersama Saga. Rencana yang Latisha susun terpatri atas nama Gyan. Tapi karena suaminya bukan pria sialan itu, mau tidak mau Latisha harus merubah segalanya. Termasuk impian yang dulu dirinya dan Gyan bicarakan.

Sesak. Itu yang Latisha rasa setiap kali menyebut namanya. Ia kecewa, marah, dan juga benci. Namun rasa bencinya belum ada apa-apanya dibandingkan rasa cinta yang dirinya miliki.

Latisha bersyukur karena memiliki jiwa yang kuat sehingga tidak menyebabkan ia hilang kewarasan setelah di tinggal di hari pernikahan. Tapi tetap saja Latisha tidak sekuat itu. Jika harus jujur ia ingin menangis sejadi-jadinya. Ia ingin meraung melampiaskan kesedihan ini, tapi ia tidak bisa. Dirinya bukan tipe orang yang seperti itu. Ia bukan orang yang pandai mengeluarkan ekspresi.

Sebut saja ia sosok yang membosankan. Jangankan untuk berteriak kegirangan atau justru melampiaskan kekecewaan, untuk mengeluarkan ekspresi bahagia ketika Gyan melamar saja tidak lebih dari sekedar senyum yang tak begitu lebar. Latisha memang sekaku itu. Dan memiliki kekasih seperti Gyan adalah keberuntungan untuk Latisha. Pria itu mengimbanginya dalam berekspresi. Dia sosok yang hangat dan menyenangkan.

Latisha pernah berpikir bahwa menikah dengan Gyan akan memberinya warna yang begitu indah. Sayangnya lagi-lagi Latisha harus kecewa oleh harap yang dulu terlalu ia agungkan. Namun siapa yang tahu bahwa sosok itu akan mengecewakan?

Gyan tidak memiliki tampang berengsek, dan selama ini Gyan memang tidak pernah berlaku tak baik. Dia begitu menghormati perempuan dan ramah kepada siapa pun. Tapi Latisha lupa bahwa paras malaikat tidak menjamin terbebas dari perilaku iblis. Hati manusia tidak pernah ada yang tahu. Dan sepertinya ia pun belum benar-benar mengenal Gyan meski lima tahun mereka habiskan untuk saling mengenal pribadi masing-masing sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

“Turun Sha, udah sampai,” ucap Saga begitu berhasil menghentikan laju mobilnya di pekarangan yang tak begitu luas.

Latisha menoleh ke kanan kiri demi memastikan apa yang Saga bilang, setelah itu barulah ia turun menyusul suaminya. Namun bukannya membantu Saga menurunkan barang-barang dari bagasi, Latisha malah justru melangkah masuk ke dalam rumah lebih dulu, melihat-lihat hunian baru yang akan ditempati mulai hari ini.

Rumah ini tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Halamannya tidak begitu luas tapi cukup asri dengan beberapa macam tanaman juga bunga yang mulai bermekaran. Ini nyaman, tapi entah ketika ia menghuninya dengan Saga. Memang tidak ada yang salah dengan pria itu, hanya saja Latisha tidak mencintainya. Ia juga belum bisa menerima pernikahan ini meskipun tidak berusaha menolak.

“Bantu dulu kali, Sha. Dikira barang kamu sedikit apa!” dengus Saga ketika menyusul masuk dengan beberapa kardus di tangannya.

“Barangku gak banyak. Gak akan buat kamu encok juga. Toh gak turun naik tangga,” protes Latisha seraya melengos, melanjutkan langkah melihat-lihat keadaan rumah. Tanpa memedulikan gerutuan Saga yang tidak begitu jelas.

Hunian ini memang tidak bertingkat. Orang tua Saga sepertinya sengaja memberikan rumah sederhana ini karena hanya akan ditinggali berdua. Di tambah lagi Latisha yang juga akan jarang berada di rumah karena harus bekerja, sementara Saga sekolah. Tidak masalah baginya, yang penting ia nyaman dengan lingkungannya.

Lagi pula sepertinya di sini akan lebih baik dari pada tinggal bersama orang tua yang akan membuat mereka canggung. Selain itu Latisha juga ingin membuat Saga tahu bahwa pernikahan tidak sesederhana yang ada di benaknya. Mungkin.

Latisha tidak tahu alasan Saga bersedia menggantikan kakaknya dengan mengambil alih ijab kabul atas namanya, yang terpenting sekarang dia tahu bahwa kehidupannya tidak akan sama lagi. Bagaimanapun Saga sudah berstatus sebagai suami dari seorang perempuan dewasa bernama Latisha Arshavina. Diluar dari usianya yang masih begitu muda, Saga tetap imam untuk istrinya.

***

Tbc ...

My Brondong HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang