Happy Reading !!
***
“Saga, mana wali kamu?” tanya seorang paruh baya ketika melihat Saga masuk ke ruangannya seorang diri. Sementara beberapa orang lain yang juga dipanggilnya sudah duduk bersama wali masing-masing.
“Gak bisa datang Pak, sibuk,” jawab Saga santai, lalu mengambil duduk di kursi yang masih kosong, bergabung dengan teman-temannya yang juga ada di sana. Tatapan Saga kemudian tertuju pada sosok yang membuatnya harus berada di sana karena alasan sebuah perkelahian.
“Apa tidak bisa menyempatkan diri sebentar?”
Saga hanya mengedikkan bahu singkat, tidak berniat memberikan tanggapan lain. Saga tidak mungkin melibatkan orang tuanya untuk urusan ini. Ia tidak mau membuat ibunya kecewa. Lagi pula pertengkaran kemarin bukan sepenuhnya salahnya. Saga tidak akan membuat keributan jika tidak didahului.
“Pantas saja kelakuannya kasar, orang tuanya saja tidak bisa meluangkan waktu. Seharusnya kamu tidak melampiaskan kemarahan kamu pada anak saya. Marah pada orang tuamu, bukan malah membuat keributan di luar! Sudah Pak, saya minta agar anak itu di keluarkan saja. Dia sudah melakukan tindak kekerasan pada anak saya,” ujarnya seraya melirik sinis pada Saga yang masih duduk tenang. Saga malah terlihat begitu malas mendengar ocehan sosok glamor di depannya.
“Luka segitu aja lebay banget,” cibir Saga seraya memutar bola mata. Dan hal itu memancing kemarahan orang tua dari lawannya berantem kemarin.
“Kamu kira itu tidak sakit? Anak saya sampai harus ke rumah sakit untuk mengobati lukanya, dan apa kamu menanggung biayanya? Tidak! Saya tidak akan mempermasalahkan soal biaya, asal kamu keluar dari sekolah ini.”
“Tenang dulu, Bu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Untuk keputusan Saga dikeluarkan atau tidak, kita tunggu lebih dulu wali dari Saga. Lagi pula pihak sekolah tidak bisa begitu saja mengeluarkan murid. Terlebih belum ada kejelasan mengenai kejadian kemarin.”
“Kejelasan apa maksud Anda? Sudah jelas-jelas anak saya terluka gara-gara di keroyok oleh mereka!” tunjuknya pada Saga dan teman-temannya. Membuat mereka yang mendapat tuduhan itu membulatkan mata dengan kepala menggeleng dan hendak melayangkan bantahannya, namun sebelum itu terjadi suara ketukan pintu dari luar lebih dulu mengalihkan mereka yang ada di sana.
“Permisi Pak, saya wali dari murid bernama Sagara Bayanaka Pranaya. Maaf terlambat,”
Saga membelalak mendapati kedatangan Latisha. Tidak menyangka bahwa istrinya itu akan datang, padahal sejak semalam Latisha sudah melontarkan keengganannya.
“Sha?” panggil Saga pelan, namun Latisha mengabaikannya, dan memilih duduk di kursi yang masih kosong. Langsung menanyakan masalah apa yang di perbuat Saga sampai surat panggilan sampai kepadanya.
Bukan guru BK yang menjelaskan masalahnya, melainkan orang tua dari remaja cowok yang terlihat babak belur di sana sini yang mengambil suara, menyampaikan ketidak terimaannya atas perlakukan Saga dan teman-temannya yang mengeroyok sang putra. Perempuan glamor yang terlihat angkuh itu kukuh meminta Saga dan teman-temannya untuk di keluarkan dengan ancaman bahwa pihaknya akan melaporkan Saga ke pihak berwajib jika dari sekolah tidak juga mengambil tindakan.
Latisha yang sejak tadi mendengarkan tanpa menyela menghela napasnya pelan, lalu melirik ke arah Saga yang duduk anteng di tempatnya. “Bisa jelaskan bagaimana kejadiannya?” pinta Latisha pada Saga.
“Kenapa harus minta anak itu menjelaskan? Sudah jelas-jelas anak saya terluka karena ulahnya!” sambar wanita itu terlihat marah dan tidak terima.
“Apa Anda sudah bertanya kronologis kejadiannya? Jangan mudah menyimpulkan hanya karena anak Anda yang terluka,” ujar Latisha tenang dan terlihat begitu berwibawa, berbeda dengan respons yang lawannya berikan. Wanita angkuh itu terlihat makin berang dan menatap Latisha dengan pandangan meremehkan.
“Anak saya tidak pernah membuat keributan!”
“Anda yakin? Apa Anda mengawasinya selam dua puluh empat jam?”
Bungkam. Tidak ada bantahan yang diberikan wanita angkuh itu. Sedangkan Latisha kembali bertanya mengenai kronologis masalahnya.
Saga menjelaskan bagaimana awal mula perkelahian itu ada, dan cerita Saga diperkuat oleh kesaksian teman-temannya yang semula di tuduh melakukan pengeroyokan sementara kejadian asli justru pihak lawan yang melakukan pengeroyokan.
“Luka-luka Ezhar sudah ada sebelum kejadian kemarin,” ungkap Saga yang kemudian di angguki semua temannya.
“Benar itu?” Latisha tidak bertanya pada Saga dan teman-temannya, melainkan pada teman-teman Ezhar yang sejak tadi hanya bungkam.
Latisha juga dapat melihat bahwa lebam itu ada di teman-teman Ezhar sementara teman-teman Saga tidak satu pun memilikinya hanya Saga yang memiliki, itu pun tidak begitu ketara. Latisha sampai tidak menyadarinya sejak kemarin. Hari ini ia baru tahu ada luka si sudut bibir pria itu.
Salah satu dari mereka mengangguk ragu-ragu, tapi hal itu cukup membuat Latisha puas. “Sekarang Anda tahu siapa yang salah, bukan? Anak Anda terlihat baik di rumah, tidak menjamin mereka tidak bertingkah di luar. Saga, saya akui dia tidak jarang membuat keributan, tapi dia memiliki alasan. Lain kali jangan suka berkoar tanpa mengantongi bukti. Sudah seperti ini siapa yang malu?” jeda Latisha menaikan sebelah alisnya. “Saya bisa menuntut balik Anda karena masalah barusan!” tambahnya, kemudian bangkit dari duduk dan pamit pada semua yang ada di sana, terlebih guru BK yang sejak tadi diam menyaksikan perdebatan antara wali muridnya yang bermasalah.
“Sha, tunggu!” teriak Saga menyusul langkah Latisha. “Thanks udah datang dan ngasih pembelaan,” ucap tulus Saga ketika langkahnya sudah sejajar.
Latisha yang tidak berniat menghentikan langkah, melirik sekilas ke arah Saga lalu kembali menatap lurus ke depan, melangkah di sepanjang koridor menuju parkiran. “Aku gak membela, cuma meluruskan kebenaran.”
Ya, Saga tahu, tapi tetap saja ia berterima kasih kepada istrinya itu. Saga tidak menyangka bahwa Latisha akan datang. Jadi boleh bukan Saga mengartikan bahwa istrinya itu peduli? Apa pun alasannya Saga tetap tersentuh dan semakin mengagumi perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya itu.
“Mau langsung pulang?” tanya Saga begitu mereka tiba di parkiran, tepat di depan mobil Latisha.
“Gak. Aku mau nyari Gyan,” jujur Latisha tanpa sama sekali menoleh ke arah Saga yang memaku di tempatnya. “Takutnya aku pulang sore, kunci ada di rak sepatu. Makanan sudah aku siapin juga, kamu tinggal hangatkan nanti,” tambahnya seraya membuka pintu mobil dan berniat untuk masuk, namun lebih dulu Saga mencekal tangannya, membuat Latisha menoleh dengan satu alis terangkat.
“Mau cari ke mana?”
Latisha mengedikkan bahunya singkat. Ia sendiri belum tahu ke mana akan mencari Gyan.
“Aku ikut kalau begitu,”
Cepat-cepat Latisha menepis tangan Saga yang hendak merebut kunci mobil di tangannya. Tatapannya tajam tertuju pada Saga. “Kamu sekolah Saga! “
“Gak apa-apa aku bolos sehari,” ujarnya ringan. Saga tidak masalah tidak masuk kelas dan mendapat keterangan alpa di absensinya.
“Masuk dan belajar yang benar! Berhenti main-main, Saga! Kamu sudah kelas tiga.”
“Nanti aku kebut belajarnya,”
Mata Latisha semakin menyorot tajam, benar-benar kesal pada remaja di depannya yang sial berstatus sebagai suaminya. “Gak ada namanya belajar kebut. Sekarang kamu masuk kelas dan belajar. Kamu tentu tidak lupa statusmu sekarang bukan, Saga? Aku tidak ingin memiliki suami yang tinggal kelas.” Berusaha lembut untuk menghadapi Saga, Latisha berharap bocah itu paham.
“Kalau begitu jangan pergi ke mana pun untuk mencari Bang Gyan. Aku suamimu bukan? Dan aku ingin kamu tetap di rumah.”
“Gak bisa begitu dong, Sa! Aku harus mencari Gyan. Aku butuh penjelasan dia!”
“Apa pun itu, pada kenyataannya Bang Gyan sudah meninggalkan kamu di pernikahan kalian. Dan perlu kamu tahu, bahwa aku tidak akan pernah melepaskan kamu seandainya Bang Gyan kembali dan alasannya masuk akal. Kamu istri aku. Dan selamanya akan tetap seperti itu!” tegas Saga, menatap serius istrinya itu. Membuat Latisha mengerang pelan lalu masuk ke dalam mobilnya begitu saja, meninggalkan Saga di sana.
***
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Brondong Husband
General FictionLatisha tidak pernah menyangka bahwa calon suaminya akan melarikan diri di hari pernikahannya, membuat Saga yang seharusnya menjadi adik ipar, mengambil alih tanggung jawab kakaknya. Sejujurnya Latisha lebih memilih batal menikah, sebab menikahi seo...