Bagian 23

50.9K 4.1K 54
                                    

Happy Reading !!!

***

"Kamu yakin mau ngajar?" Saga masih cemas dengan kondisi Latisha meski istrinya sudah bilang berkali-kali mengenai keadaannya yang baik-baik saja. Tapi Saga tetap saja rewel akan hal itu.

"Aku sudah sehat, Saga. Lagi pula aku kerjanya gak berat. Aku bisa memberi materi sambil duduk kalau memang kamu takut aku tiba-tiba pingsan," kata Latisha berusaha menghentikan kecemasan suaminya. "Lagi pula kamu udah mastiin sendiri kalau demamku sudah turun."

Saga menghela napasnya pelan, pasrah dengan ke keras kepalaan istrinya itu. "Tapi aku yang antar kamu ke sekolah, ya?" tanpa menunggu jawaban, Saga merebut kunci mobil yang ada di tangan Latisha lalu melangkah lebih dulu menuju kendaraan roda empat kesayangan istrinya.

Latisha tidak langsung mengikuti Saga menuju mobil karena harus mengunci pintu rumah dan juga pagar, setelah itu barulah menyusul Saga, duduk di kursi penumpang, bersampingan dengan Saga yang siap melajukan mobilnya meninggalkan kompleks perumahan, menuju sekolah tempat Latisha mengajar.

"Pulangnya nanti bareng teman kamu ya, ajak dia ke café. Bang Jay mau lanjut kenalan katanya," ucap Saga tanpa mengalihkan fokus dari jalanan di depannya. Sementara Latisha yang semula sibuk dengan ponsel mengalihkan atensi pada suaminya.

"Dia serius mau kenalan sama Agni?"

"Bilangnya sih gitu," Saga sedikit mengedikkan bahunya.

"Aku gak janji ke sana. Tapi kamu bilang ke dia, kalau gak punya niat serius mending gak usah."

"Kenapa?" Saga melirik sekilas, menatap sang istri dengan sebelah alis terangkat. Namun Latisha hanya memberikan kedikan bahu singkat. Tidak memberi jawaban yang harus Saga ucapkan untuk alasan kepada Jay andai sepupu sahabatnya itu bertanya.

Sisa perjalanan, mereka habiskan dengan kebisuan karena Latisha sudah kembali sibuk dengan ponsel dan juga kertas ulangan yang ada di tangannya. Hingga tak lama kemudian Saga menghentikan mobil Latisha tepat di depan gerbang yang hanya terbuka sedikit sebab ternyata di depan gerbang sedang berjalan sebuah razia kelengkapan atribut.

Awalnya pak satpam yang ikut berjaga di sana akan membantu membuka gerbang begitu mengenali mobil Latisha, tapi segera Latisha cegah dengan menyembulkan kepalanya dari jendela mobil. Setelah itu Latisha melirik ke samping, mengulurkan tangan ke arah suaminya.

"Tumben tanpa di suruh?" ledek Saga, tapi tak urung mengulurkan tangannya juga, dan di detik selanjutnya, sebuah kecupan ringan Saga rasakan di punggung tangannya. Memberi gelenyar aneh yang menyenangkan sekaligus mengharukan. Rasanya berbeda dengan sebelumnya.

"Hati-hati di jalan," ucap Latisha tanpa membalas sindiran Saga, lalu setelahnya turun dari mobil dan langsung di kerubungi oleh murid-muridnya yang memang berkumpul di depan gerbang hendak masuk ke sekolah, namun harus melewati sebuah pemeriksaan lebih dulu.

Sambil memperhatikan Saga yang kembali melajukan mobilnya membelah jalanan yang cukup padat, Latisha membiarkan tangannya di jadikan rebutan siswa dan siswi yang menyalaminya. Tapi begitu Saga dan kendaraannya sudah tidak terlihat lagi, barulah Latisha melangkah menuju gerbang yang hanya bisa dilewati satu orang, membuat murid-muridnya yang ada di sana mundur lebih dulu, memberi jalan untuk Latisha.

"Cie, yang di anter suami," bisikan berupa ledekan itu membuat Latisha sontak menoleh, dan langsung mendapati keberadaan temannya yang mengambil langkah di sampingnya.

"Iri!" Latisha menyahut cuek. Terus berjalan menuju ruang guru.

"Nyebelin sumpah!" dengus Agni mengentakkan kakinya sebal. Tapi tak henti mengikuti langkah Latisha karena bagaimana pun tujuan mereka sama. "Btw, kemarin lo ke sekolah Saga mau apa?" tanyanya ingin tahu, pasalnya tidak pernah Agni melihat Latisha secemas kemarin, sampai membuat perempuan itu pergi dengan terburu.

"Biasa berantem," Latisha menghela pelan. "Rencana jadi wali murid adalah lima atau enam tahun lagi. Gue gak nyangka kalau itu justru terjadi secepat ini."

Agni tertawa mendengar keluhan sahabatnya, lalu memberikan tepukan pelan di pundak Latisha sebagai bentuk simpati. "Akhirnya kehidupan nyaman lo terusik. Sumpah, Sha, gue bahagia," kata Agni dengan senyum terukir lebar, karena memang benar Agni merasa bahagia dengan perubahan Latisha. Sahabatnya itu terlihat lebih manusiawi belakangan ini. Tidak seperti biasanya yang lurus dan kaku.

"Selama ini kehidupan lo terlalu sempurna,"

"Sempurna dari hongkong!" dengusnya tak terima. Latisha tidak merasa menjalani hidup seperti apa yang sahabatnya itu ucapkan. Sempurna? Omong kosong!

"Selama ini kehidupan lo terencana, tersusun apik dan selalu sesuai dengan apa yang lo harapkan,"

"Pernikahan gue gak sesuai. Gyan pergi ketika ijab kabul akan terlaksana," sela Latisha cepat, wajahnya berubah sendu ketika kembali mengingat itu.

"Itu karena Tuhan memang pengen lo bersanding sama Saga. Brondong itu yang akan mampu membuat hidup lo berwarna walaupun tidak masuk rencana. Tuhan pengen lo keluar dari zona nyaman lo yang tidak menggairahkan," Agni menjeda kalimatnya demi melihat respons Latisha.

"Lima belas tahun gue kenal lo, jarang banget gue temuin ekspresi lo selain datar dan dingin. Ada senyum, tapi tidak pernah gue lihat itu sampai ke mata lo. Pengakuan lo bahagia, lo cerita bahwa lo bersyukur memiliki Gyan di hidup lo, tapi jarang banget gue lihat lo seringan belakangan ini," kali ini Agni menggelengkan kepala pelan. Selama ini Agni memang selalu memperhatikan Latisha sampai ia hapal ekspresi apa saja yang sahabatnya itu miliki.

"Hidup lo tidak ada perubahan meskipun Gyan memberi lo kebahagiaan dengan cintanya yang besar dan tulus. Hubungan lo sama Gyan bahkan begitu jauh dari liku."

"Itu karena pemikiran gue sama Gyan sejalan,"

Namun Agni dengan cepat menggeleng, tak setuju dengan jawaban yang Latisha lontarkan. "Bukan sejalan, tapi perencanaan lo terlalu sempurna hingga tidak membiarkan sedikit pun celah untuk masuk. Lo menyusun segala langkah untuk menghindari sebuah masalah yang kemungkinan akan timbul seiring berjalannya hubungan lo sama Gyan. Lo sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terjadi kesalahpahaman yang mana akan membuat kehancuran dalam hubungan lo sama Gyan. Lo menghindari semua itu dengan sempurna, hingga di rasa bahwa di hubungan lo dan Gyan tidak pernah ada keretakan, dan lo menganggap bahwa itu karena pikiran kalian sejalan,"

"Nyatanya itu adalah kebodohan!" sahut seseorang di belakang, yang membuat Latisha juga Agni menoleh, dan satu lagi teman Latisha yang super sibuk menampakkan diri di depan mereka, dengan senyum yang terulas tak begitu lebar. "Sadar atau tidak, nyatanya banyak hal yang sudah lo korbankan. Lo hanya sering mengalah demi menghindar sebuah percekcokan," ucapnya seraya melirik ke arah Agni, meminta sebuah persetujuan. Dan ya, Agni menganggukkan kepalanya, karena memang begitulah pada kenyataannya. Agni mengamati setiap kali mereka jalan bersama.

"Hubungan lo sama Gyan gak memiliki emosi. Lurus dan membosankan. Beda ketika bersama Saga sekarang. Saat di café tempo hari gue perhatiin lo banyak ngeluarin ekspresi tanpa lo sadari, dan itu kemajuan menurut gue. Lo jadi terlihat lebih manusiawi."

"Lo pikir selama ini gue hidup seperti robot!" ujar Latisha memutar bola mata.

"Nah, itu lo tahu!" Nabila menjentikkan jarinya.

"Gue senang, Sha, akhirnya lo gak jadi nikah sama Gyan," ucapnya mengulas senyum lebar. Namun beda hal dengan Latisha yang terlihat tak suka dengan kalimat sahabatnya itu. Membuat Nabila cepat-cepat meralat kalimatnya, "Gyan memang baik. Tapi bukan terbaik buat lo. Tuhan tahu mana yang tepat untuk lo, Sha. Suatu saat nanti lo akan bersyukur dengan semua yang lo terima sejak hari pernikahan itu."

***

See you next part!!

My Brondong HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang