Bagian 14

54.4K 4.6K 49
                                    


Happy Reading !!!

***

"Mama perhatikan kalian sudah dekat," kata Vena - ibu Saga dan Gyan. "Mama senang lihatnya," tambahnya dengan seulas senyum hangat keibuan. Membuat Latisha ikut menarik senyumnya.

"Terima kasih, Sha, terima kasih sudah menerima anak Mama yang masih kekanakan itu. Terima kasih karena tidak membenci kami atas apa yang sudah terjadi. Mama minta maaf sekali untuk kepergian Gyan yang sudah melukai dan mengecewakan kamu. Mama..."

Menarik mertuanya ke dalam pelukan, Latisha memberikan tepukan-tepukan lembut di punggung mertuanya demi menenangkan wanita paruh baya itu. Setelah di rasa Vena tenang, barulah Latisha melepaskan pelukannya.

"Tisha baik-baik aja, Ma. Tisha gak apa-apa," itu benar. Pada awalnya Latisha memang terluka dan sampai sekarang masih kecewa dengan kepergian Gyan di hari pernikahannya. Tapi Latisha tidak ingin larut di kesedihan itu. "Lagi pula Saga tidak terlalu buruk," tambahnya menarik kedua sudut bibir membentuk senyum tipis. "Sejauh ini Saga menjadi suami yang baik. Meskipun kadang menjengkelkan."

"Anak bungsu Mama memang ngeselin, apalagi kalau di suruh belajar," timpal Vena seraya mendengus pelan. Dan untuk satu hal ini Latisha mengangguk setuju. Saga memang semengesalkan itu jika urusan belajar. Terkadang Latisha berpikir bagaimana laki-laki itu di kelasnya. Mungkinkah guru-guru di sana tahan dengan kemalasan Saga? Atau Saga tidak semengesalkan ini di sekolah? Entahlah, Latisha belum pernah mengecek buku-buku sekolah suami brondongnya itu.

"Tapi Saga tidak merepotkan kamu kan, Sha?" tanya Vena terdengar cemas. Sebagai orang tua Vena tahu bagaimana Saga. Dan sepanjang hari tingkah anak bungsunya itu yang ia khawatirkan, takut membuat Latisha kerepotan dan terganggu, mengingat bagaimana cintanya Latisha pada ketenangan.

"Gak, kok, Ma. Pagi tadi Saga bahkan bantu aku bersih-bersih rumah. Mama gak perlu khawatirin Saga. Aku pasti jaga Saga dengan baik."

"Seharusnya Saga yang jagain kamu, dia kan laki-laki, kepala keluarga pula," ucap wanita paruh baya itu terdengar sedikit kesal.

Latisha sendiri hanya menarik kedua sudut bibirnya, tak lagi menanggapi. Lagi pula tanpa di jaga Saga, ia bisa menjaga dirinya sendiri. Toh selama ini ia terbiasa melakukan apa pun seorang diri.

"Oh ya, Mama sama Papa istirahat aja, ya, aku mau masak dulu."

"Mama bantuin," ucap cepat Vena seraya bangkit dari duduknya. Namun segara Latisha menggelengkan kepala.

"Mama temenin Papa aja istirahat, atau lihat-lihat sekeliling. Saga tadi udah janji mau bantu aku masak," kata Latisha menolak halus bantuan sang mertua. Lalu menarik diri dari duduknya dan melangkah menuju teras depan dimana suami dan ayah mertuanya berada.

"Pa, ngobrol sama Saga-nya udah selesai?" dengan sopan Saga bertanya pada sang ayah mertua.

"Udah kok, Nak, silahkan kalau mau di ambil,"

"Dih, di ambil," delik Saga tak suka. "Memangnya aku barang titipan!" dengusnya kemudian. Membuat Ariz -sang ayah tertawa karenanya.

"Udah sana, ikut istri kamu," usir Ariz mendorong pelan lengan anaknya itu. Membuat Saga lagi-lagi mendengus, namun tak urung menurut juga.

"Kalau gitu Tisha sama Saga ke dalam dulu, Pa," dan anggukan menjadi jawaban yang Ariz berikan.

Setelahnya Latisha mengayun langkah kembali masuk ke dalam rumah, di ikuti Saga di belakangnya.

"Ada apa sih, Sha?" tanyanya penasaran. Pasalnya ia sedang bicara serius dengan ayahnya itu, meskipun, ya, pokok pembicaraannya sudah di sampaikan dan jawaban sudah Saga dapatkan tapi tetap saja, masih ada hal yang ingin Saga bicarakan dengan ayahnya itu.

"Kamu tadi udah janji mau bantuin aku masak."

"Sha, kamu yakin anggap kalimat aku tadi serius?" Saga terkejut. Pasalnya tadi ia hanya basa-basi saja. Sialnya Latisha malah menganggap serius ucapannya. "Ada Mama loh, Sha, kenapa gak minta bantuin aja?"

"Mama biar istirahat, Sa. Lagi pula kamu yang tadi bilang mau bantu."

"Tapi aku gak bisa masak, Sha!"

"Gak apa-apa, kamu bisa bantu aku potong-potong bawang sama sayurannya, yang masak biar aku aja," jawab Latisha ringan, lalu mengeluarkan bahan apa saja yang akan dimasaknya untuk makan siang ini.

"Di kupas dulu, Saga!" beri tahu Latisha begitu melihat Saga yang langsung memotong bawang putih yang sudah Latisha siapkan di depannya.

"Susah, Sha."

"Biar mudah, di geprek dulu, setelah itu ambil kulitnya baru cincang. Gini," mengambil satu buah bawang putih yang masih utuh, Latisha memberikan contoh kepada suaminya itu. Sampai kemudian ...

"Aww ..."

"Astaga, Sha!" seru panik Saga seraya meraih jemari Latisha yang teriris. "Ceroboh banget sih, Sha!" geramnya sambil membawa perempuan itu menuju wastafel untuk mencuci darah yang mengalir cukup deras padahal lukanya tidak seberapa. Tapi tetap saja Saga merasa jantungnya kini berdebar begitu cepat. Ia begitu cemas.

"Luka kecil doang, Sa. Gak usah berlebihan," memutar bola mata, Latisha berusaha menarik tangannya dari genggaman Saga. Namun dengan cepat laki-laki itu melayangkan delikan tajamnya dan meminta untuk Latisha diam selama dirinya mencuci darah yang menetes dari jemari sang istri.

Kesal karena tak juga berhenti, Saga memasukan jari lentik Latisha ke dalam mulutnya, menghisapnya pelan sebelum kemudian kembali dikeluarkan dan ... berhasil, darah yang sejak tadi keluar berhasil dihentikan.

Tindakan Saga barusan tentu saja membuat Latisha syok, otaknya tiba-tiba mati dengan segala saraf yang tak berpungsi untuk beberapa detik. Latisha tidak percaya Saga akan melakukan hal itu tanpa rasa jijik sedikit pun. Membuat dadanya berdebar hebat dengan rasa hangat yang menjalar keseluruh tubuhnya, terlebih bagian wajah yang sudah dapat di pastikan bagian itu memerah sekarang.

"Kita punya kotak obat 'kan?"

Anggukan menjadi jawaban yang Latisha berikan lalu menunjuk lemari di dekat lorong menuju ruang tengah.

Tanpa kata, Saga membawa istrinya duduk di kursi meja makan sedangkan dirinya sendiri melangkah ke arah yang di tunjuk sang istri, dan kembali dengan salep antibiotik juga perban.

"Sa, ini cuma luka kecil. Gak perlu berlebihan!"

"Diam!" serunya tajam, lalu kembali memfokuskan diri pada luka di jemari Latisha, mengolesinya dengan salep sebelum membalutnya dengan perban. Sepanjang melakukan itu, Saga tak hentinya meniupi luka Latisha. Tidak ingin membuat istrinya merasakan sakit selama dirinya memberi penanganan.

"Sa--"

"Jangan bikin aku jadi suami yang gak becus lindungi istrinya, Sha!"

"Tapi ini luka kecil Saga!" jengah Latisha memutar bola mata. Suaminya benar-benar berlebihan.

"Sekecil apa pun itu, aku tetap gak suka kamu terluka, Latisha!"

Tatapan tajam dengan raut cemas Saga, membuat Latisha menghela napa pelan. Ia tidak mengerti kenapa Saga harus bereaksi berlebihan seperti ini hanya karena ia teriris pisau dengan luka yang tidak seberapa. Tapi melihat wajah sedih bercampur khawatir milik suaminya, Latisha memilih mengalah. Toh, jarinya pun sudah berhasil laki-laki itu obati.

"Oke, terima kasih," ucapnya seraya menarik senyum tulus. Namun tiba-tiba saja Latisha di buat terkejut oleh pelukan Saga yang tanpa aba-aba. Membuatnya yang hendak bangkit dan kembali melanjutkan acara masaknya urung karena tertahan pelukan Saga.

"Jangan terluka lagi, please!" cicitnya begitu lirih.

Alis Latisha terangkat satu, tak pahan dengan apa yang dikatakan suaminya. Tapi tak urung Latisha mengagguk walau kebingungan memenuhi benaknya.

"Ada apa dengan Saga?"

***

Tbc ...

My Brondong HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang