"Bianca keren, ya."
"He-em."
Alen menoleh. Sumpah, tadi itu dia lagi spontan dan nggak ngajak ngomong siapa pun. Alen memang punya kebiasaan ngomong sendiri, ngejawab sendiri pula. Makanya dia kaget pas ada yang nanggepin dia.
Saat ini, Alen dan Jayden lagi berdiri di barisan paling belakang, rada jauh dari delegasi. Biasa, anak acara kan selalu begitu. Kerjaannya diam-diam memerhatikan, kayak ... anu.
"Aku nggak bisa kayak dia," lanjut Alen. Yah, akhirnya dia ngajak ngobrol juga. Abis, kalau diem-dieman juga nggak enak.
"Nggak bisa gimana?" Jayden menanggapi, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Aish, ganteng banget si kamu, Je.
"Ya kayak gitu, nge-MC, nggak gugup pas ngomong di depan orang banyak, bisa ngambil perhatian peserta, nggak kaku juga pas ngomong, bisa ngelucu juga lagi, nggak garing."
Tadinya, Jayden tuh juga mau ngebuat Alen jadi MC. Tapi jelas aja Alen nolak. Dia juga ngancem-ngancem Jayden kalau Alen beneran dijadiin MC di salah satu sesi acara. Dia paling nggak bisa ngomong di depan banyak orang, sambil dilihatin gitu. Mau mati aja rasanya.
"Kamu nggak bisa karena belum coba."
"Nggak bisa, Je," keluh Alen. Sebenernya tuh dia pengen bisa kayak gitu, cuma gimana ya, deg-deg-an mulu gitu. Dan dia nggak suka perasaan kayak gitu. Mending dia deg-deg-an gara-gara ngejar deadline dibanding deg-deg-an karena dilihatin orang banyak. "Aku kayaknya emang cocok kerja di belakang layar aja."
"Kalau ngomong di depanku?"
Alen memutar bola matanya. "Yah di depanmu mah biasa aja."
"Masa nggak deg-deg-an?"
Deg-deg-an bahlul. Ah, denial aja kamu Len.
"Kalau di depan satu orang mah enggak, ini kalau di depan orang banyak, Jeje."
"Tapi kalau kamu terbiasa, lama-lama juga nggak, kok. Makanya kan butuh latihan yang sering biar bisa seluwes Bianca."
Kayaknya jadwal terbangnya Bianca buat nge-MC lumayan tinggi, deh. Nggak kelihatan gugupnya sama sekali itu orang.
"Ya kamu nggak tau aja, aku tuh ikut kepanitiaan baru pas kuliah doang. SMP? SMA? Mana pernah aku ikut osis. Nggak seneng aku ikut organisasi-organisasi formal begitu. Jadi, ya, aku mana punya pengalaman jadi MC kayak Bianca begitu," gerutu Alen.
"Terus, kamu ikut ekskul apa, dong?"
"Pas SMP nggak ikut ekskul apa-apa, paling pramuka sama tari karena jadi ekskul wajib sekolah. Kalau SMA, ikut ekskul musik," papar Alen.
"Wih, bisa main musik, dong?"
Alen terkekeh pelan. "Bisa, sedikit."
"Main alat musik apa?"
"Aku paling jago main suling sama pianika."
Jayden memicing ke arah Alen. Minta banget dicipok ini orang; ubun-ubunnya. Pikir ke mana kamu, heh?
"Ih, gini-gini aku mantan marching band tau, pas SD."
"Lah? Seriusan? Pas masih kecil begitu?"
Alen mengangguk. Akkkh jadi kangen mainan pianika bareng-bareng ama temen SD.
"Terus, pas SMA kamu mainin alat musik apa? Gitar?"
"Kok tau?"
"Kamu kan kalau dekan cup selalu main gitar, kan? Ya aku taulah. Aku kan nonton. Kamu lagi kamu lagi yang main. Kasih kesempatan temenmu yang lain dong."
"Ya kalau ada mah gua nggak bakalan ngeband, Jeeee."
Jadi, dekan cup itu adalah lomba di fakultas yang diadakan setiap setahun sekali. Pesertanya ya dari masing-masing jurusan. Nah, karena kebetulan jurusannya si Alen ini mahasiswanya cewek semua, ya pas lomba band dia yang maju jadi gitaris. Gitu aja terus karena jarang yang bisa main gitar di jurusannya.
"Kayaknya kamu juga ikut gebyar festival tari yang diadain unitantri, ya? Aku pernah liat kamu main gamelan. Eh, namanya gamelan bukan, sih?"
Alen mengernyit heran. Kapan si Jayden melihatnya bermain gamelan? Perasaan, setiap dia latihan di kampus selalu malem-malem, di mana mahasiswa tuh udah nggak ada. Jadwal jadwal mengajar pasti udah selesai semua sebelum magrib. Itu pun yang sampai magrib pasti jarang banget.
"Kamu pernah ngeliat aku?"
Jayden mengangguk. "Sekilas doang, kayaknya waktu itu aku lagi ada rabes di faal. Kalian kalau main selalu di faal, kan?"
Alen mengangguk. Ooooh. Pantesan. Tapi Alen nggak pernah ngeh kalau di rombongan pasca rabes itu ada Jayden.
"Kamu keren juga, kok."
Alen mendelik. Apaan nih?
"Iya, beneran. Kalau misalnya Bianca keren karena bisa luwes ngomong di depan banyak orang, kamu juga keren karena bisa main banyak alat musik. Kalian sama-sama keren di mataku."
"Aduh," Alen memegangi dadanya. "Aku tersunjang."
"Ter-san-jung."
Keduanya pun terkekeh. Ternyata, Jayden ini enak ya kalau diajak ngobrol. Nggak cuma tentang hal yang receh, tapi masalah yang agak serius juga jalan-jalan aja, dan bawaannya dia tuh tenang. Pantes aja dia banyak temennya dan juga banyak yang kagum. Nggak heran kalau Jayden banyak yang suka.
"Bakatnya tiap orang itu beda-beda. Kamu tak perhatiin emang lebih menonjol dalam perencanaan konsep, Al. Kamu keliatan jago di sana. Jadi, nggak usah merasa kecil karena kamu nggak bisa di bidang lain, karena kamu punya bakatmu sendiri."
Sekarang Alen jadi tenang. Nggak salah dia tadi ngomong sendiri, eh malah kelanjut sampai kena pencerahan begini.
"Kamu ngatain apa gimana?"
Jayden mengernyit, "Apanya yang ngata--oh, kamu kan emang kecil. Heheheh. Kalau itu takdir namanya. Bukan bakat."
"Aku mau mukul kamu, Je."
"Mukul kok bilang-bilang."
"Hzzzzzzz."
Tetep aja ujung-ujungnya ngeselin. Kapan si Jeje nggak ngeselin?
"Eh, kayaknya aku liat anak perkap ada yang bawa gitar buat tampil nanti. Gih main sana."
Divisi perlengkapan memang punya banyak needlist alat musik, termasuk gitar, karena ada sesi farewell party di mana masing-masing lokal bakal melakukan penampilan. Entah ngeband, nari, dll. Dan itu pun udah ditentukan secara acak sejak awal.
"Ogah. Nanti takut banyak yang terpesona."
Jayden mendelik. "Dih geer banget maemunah."
Ih beneran. Soalnya waktu itu, temennya pernah bilang, anggep aja dia si Mawar. Waktu itu sih Mawar juga dibilangin sama kakak tingkatnya, kita anggap Anggrek ya kakak tingkat ini. Jadi, si Anggrek ngomong sama si Mawar. Ada satu temennya si Anggrek nanyain namanya si Alen pas dia lagi ngeband.
Terus?
Ya udah, gitu doang. Kagak ada kelanjutannya lagi. Alen aja nggak tau siapa nama cowok itu. Hahahahah. Termasuk terpesona nggak ya orang itu?
"Kalau deg-deg-an main di depan banyak orang, ya udah, main gitarnya di depanku aja," lanjut Jayden.
"Rajin amat main di depan kamu," Alen berdecih.
"Sekali-kali biar ada yang romantisin gitu."
"Dih. Makanya cari pacaaaar!"
Jayden berdecak. "Ini juga lagi nyari. Pas ketemu, eh malah dapet yang nggak peka."
"Ya Allah, Je. Aku turut prihatin."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Feelings [✔]
General FictionDipertemukan dalam suatu acara yang mengharuskan mereka untuk selalu berdiskusi berdua, Jayden dan Alen mulai menyadari bahwa mereka memiliki banyak sifat yang sama. *** Project iseng dan non-baku. Didedikasikan untuk aku yang kangen riwehnya kepani...