"Kok kesannya aku nggak dihargain ya?"
Alen refleks mengepalkan kedua tangannya. Sebelum membalas ucapan Jayden, gadis itu menyempatkan diri untuk menghela napas dengan pelan, sebab dia takut jika dirinya langsung menjawab, dia bakalan langsung mencak-mencak ke cowok itu.
Bukan mencak-mencak, sih. Tapi dia malah takut nangis.
"Aku tau dari awal ini salah aku karena minta kamu buat nggak ngasih tau siapa-siapa soal hubungan kita. Aku minta begitu bukan karena pengen backstreet atau merasa malu karena kamu pacar aku, Je. Tapi karena aku nggak enak sama Bianca, aku takut dia sakit hati."
Lagi, Alen kembali menghela napasnya; berusaha untuk mengontrol diri. 'Kan nggak lucu kalau tiba-tiba dia nangis sekarang.
"Aku tau kalau dia suka sama kamu. Kamu juga pasti udah tau, 'kan? Waktu itu dia pernah nanyain ke aku tentang hubungan aku sama kamu, ya aku bilang nggak ada apa-apa karena aku merasa kamu ngelakuin hal yang sama ke semua temen perempuan kamu. Aku bahkan sempet nyemangatin dia supaya kalian jadian," Alen pun mengangkat sudut bibirnya, merasa lucu dengan adegan kala itu. "Terus kalau dia tau sekarang aku sama kamu jadian, jatuhnya aku kayak nusuk dia dari belakang nggak sih?"
Walaupun Alen terkesan cuek dan memiliki tampang yang garang, dia termasuk seseorang yang memikirkan orang lain terlebih dahulu. Padahal kalau dipikir-pikir, Alen tidak memiliki andil atas perasaan orang lain.
"Tadi kamu juga bercanda-canda sama Bianca, terus aku nggak boleh kayak gitu juga ke Fredy? Ke orang yang bahkan aku aja tau kalau dia nggak suka sama aku?"
Jayden hendak menyela, namun Alen kembali melanjutkan ucapannya.
"Lagian sebenernya aku juga nggak ada niat buat ikut jalan sama dia. Aku cuma pengen liat gimana reaksi kamu," jelas gadis itu sembari kembali menghela napas. "Tapi tadi pas rapat kamu anggep aku kayak orang asing, terus kamu sama Bianca ..." Alen sengaja menggantungkan ucapannya, lalu tersenyum tipis, "ya nggak papa sih. Aku menghargai pertemanan kalian, toh kalian emang satu departemen, 'kan? Satu kelas di prodi juga lagi? Ya 'kan?"
Setelah mendengar penjelasan Alen, pria itu dirundung rasa bersalah. Bukan merasa sih, tapi kayaknya ini memang salahnya sendiri.
Sebetulnya, Jayden juga nggak bermaksud untuk benar-benar mengabaikan presensi Alen. Menurut Jayden, mungkin bagi Alen perilakunya tersebut membuat gadis itu lebih nyaman---karena permintaan Alen untuk tidak mengumbar hubungan keduanya, sehingga Jayden terpaksa untuk menjauh. Namun ternyata pria itu malah kelewatan.
"Maaf," ucap Jayden sembari berusaha meraih tangan Alen, tetapi gadis itu langsung menghindar.
"Maafi---"
"Permisi, Mas, Mbak?"
Jayden langsung menoleh saat seseorang memotong ucapannya. Agak sebal sedikit, sih. Soalnya itu orang tiba-tiba nongol pas dia mau minta maaf ke pacarnya.
"Makannya udah selesai belum ya? Boleh gantian? Nggak ada tempat duduk yang kosong lagi nih."
Wes uasu tenan, batin Jayden dalam hati.
Sedangkan Alen bergegas langsung berdiri dan mempersilakan orang tersebut untuk duduk di tempatnya.
"Eh iya, udah selesai kok. Silakan."
Untuk memanfaatkan momen tersebut, Alen langsung berjalan cepat menjauhi Jayden; seakan-akan Alen tak mengenali pria itu.
"Al!" panggil Jayden yang merasa panik saat melihat pacarnya melengos begitu aja. Jelaslah dia langsung mengejar pacarnya tersebut. "Al! Sebentar!"
Padahal tadi selama rapat besar, Jayden cuekin Alen, bahkan pria itu juga bersikap layaknya tak saling mengenal. Eh giliran dicuekin balik begini, dia malah panik sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feelings [✔]
General FictionDipertemukan dalam suatu acara yang mengharuskan mereka untuk selalu berdiskusi berdua, Jayden dan Alen mulai menyadari bahwa mereka memiliki banyak sifat yang sama. *** Project iseng dan non-baku. Didedikasikan untuk aku yang kangen riwehnya kepani...