50 - Trying

1.4K 86 19
                                    

Gadis manis itu membuka matanya. Rasanya seperti ia baru saja terbangun dari tidur panjang yang begitu nyenyak.

Gadis itu menggeliat pelan, ia sadar sudah tak ada lagi orang lain yang berada di sampingnya seperti semalam. Tentu saja gadis itu mengingat semuanya, kejadian semalam yang jujur saja kembali membangkitkan getaran aneh dalam dadanya. Dimana lengan kokoh pria yang pernah begitu ia cintai memeluknya, sementara dirinya tertidur begitu nyenyak dalam pelukan itu.

Sia-sia jika Fani menyangkal. Kenyataannya saat pria itu mendekapnya, jiwa tamak Fani kembali mendominasi. Jiwa yang tak ingin membiarkan Farid pergi dan ingin selalu merasakan kehangatan dari pria itu. Sayangnya, kesadaran Fani kembali saat sedetik lagi Fani hendak membalas Farid semalam.

Gadis dengan rambut sepunggung itu beranjak menuju kamar mandi. Dia tak ingin berandai-andai dan semakin membuat move on-nya gagal. Dia akan menemui Farid nanti.   Meski pria itu tak lagi ada disampingnya saat ia membuka mata. Tapi Fani yakin semuanya nyata, dokter Farid berada disini dan pria itu masih ada di apartemennya pagi ini.

Selesai dengan ritual paginya, Fani telah siap dengan setelan blouse hitam. Rambutnya ia gerai dengan wajah polos tanpa make up, ia hanya menyapukan Lipgloss cherry pada bibir agar wajahnya terlihat lebih fresh. Tak ada yang istimewa dari tampilannya, terlihat sederhana dan tidak berlebihan.

Untuk sejanak Fani mengatur nafas dan ekspresinya. Dia tak ingin menampakkan apapun didepan Farid nantinya. Sebisa mungkin dia akan mengontrol emosi dan raut wajahnya didepan mantan kekasihnya itu.

Gadis itu membuka pintu kamarnya, berjalan dan sesuai dugaannya Farid berada disana. Punggung tegap pria itu yang pertama kali menyapanya. Pria itu terlihat sibuk didapur apartemennya.

Fani tak bersuara, gadis itu hanya memperhatikannya. Siapa sangka kejadian seperti ini akan terjadi?

Seolah menyadari tatapan Fani, pria itu menoleh kemudian tersenyum dengan dua piring di tengannya.

"Duduklah, kita bicara setelah sarapan"

Fani tak membantah, mereka memang butuh bicara setelah ini.

Dua piring roti bakar dengan telur mata sapi diatasnya, segelas susu dan secangkir kopi yang masih mengepul tersaji tanpa suara didepannya.

Fani tak berniat mengamati ataupun menegur aktivitas Farid selanjutnya. Hanya saja, saat salah satu kursi terdengar bergeser, Fani mengerti bahwa mereka memang harus mengisi tenaga terlebih dahulu sebelum menyelesaikan semuanya.

Hening. Waktu berjalan dan Fani yakin sudah lebih dari tiga puluh menit keduanya terdiam menyelesaikan sarapan yang bahkan tak berkurang setengahnya. Fani dengan pikirannya, sementara Farid yang diam-diam menatap Fani dengan lamat.

"Apa tidak enak?"

Fani mengangkat kepalanya sejenak. Akhirnya ada yang memecah kebisuan diantaranya.

"Sarapannya" Sambung Farid saat melihat Fani kebingungan.

Fani menggeleng. Rasanya seperti biasa. Hanya suasananya yang tidak biasa. Fani tersenyum miris mendengar gejolak hatinya. Gadis itu kembali menggigit rotinya dengan enggan.

"Hanya roti dan telur yang Mas temukan. Maaf karna mas mengacaukan dapur kamu" suara Farid terdengar menyesal di telinga Fani.

Fani tak bergeming, gadis itu menyelesaikan sarapannya dengan tenang tanpa menghiraukan ucapan Farid.

Setelah selesai dengan sarapannya, tangan Fani bergerak menggeser piring dan meraih gelas di depan nya. Gadis itu mengangkat wajahnya karena ia sadar bahwa sedari tadi Farid telah menunggunya.

Step By DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang