46 - For an Picture

3.1K 156 10
                                    

Vote please 😇
Happy reading!

"There is something lost in the longing that I can't say"

-Farid-

Farid menatap pintu berwarna putih didepannya. Menimbang apakah hatinya siap untuk kembali ke apartemennya atau tidak. Tapi setelah hampir sepuluh menit mematung disana, akhirnya tangannya memilih bergerak untuk mendorong pintu besar itu hingga terbuka.

Matanya langsung disuguhkan dengan pemandangan white and gray khasnya. Tidak ada yang berbeda dari terakhir kali Farid meninggalkan apartemennya dan sore ini kali pertama dia kembali kesana setelah memutuskan untuk tinggal dirumah orangtuanya.

Menghela nafas pelan tujuan utama Farid adalah ruang kerjanya. Matanya melirik sebuah benda persegi diatas meja kerja. Sebuah kotak yang dia temukan empat bulan yang lalu diatas tempat tidurnya.

Letak kotak itu masih sama seperti sebelumnya. Kotak berisi barang-barang yang pernah Ia berikan kepada Fani dengan sebuah sketsa wajahnya yang Fani gambar.

Farid mengambil sketsa wajahnya, membingkainya dengan bingkai yang sudah ia beli dalam perjalanan dan menaruhnya diatas almari disamping buku-bukunya.

Tangannya bergerak menyentuh permukaan gambar, disana wajahnya terlihat tampan dengan senyuman. Farid bahkan tidak pernah merasa tersenyum selebar itu dikehidupan nyata.

Dulu saat Farid pertama kali melihat gambar itu, Farid merasa benar-benar bodoh karna baru mengetahui bahwa Fani ternyata pandai menggambar, tak heran gadis itu sangat tertarik dengan seni. Tapi bukan itu masalahnya,karna beberapa hari kemudian Farid baru tau bahwa Fani mengambil sekolah desiner ke London.

Farid memang bodoh.

Memang apa yang Farid ketahui tentang Fani kecuali bahwa gadis itu adalah cucu pemilik rumah sakit tempatnya bekerja atau gadis itu seorang gadis manja yang hidup dibawah bayang-bayang kekayaan keluarganya?

Tapi Farid benar-benar menyesali prasangkanya itu setelah Fani pergi.

Dari berbagai sumber informasi yang Farid ketahui, ternyata Fani adalah seorang gadis yang cerdas. Gadis itu lulus dengan nilai terbaik disekolah, diterima tanpa tes di Central Saint Martin London dan hidup seorang diri disana. Padahal dengan kekayaan keluarganya, gadis itu sangat bisa membiayai orang lain untuk menemaninya tinggal disana.

Tangan Farid mengambil sebuah cincin yang pernah ia berikan kepada Fani saat dirumah sakit. Cincin sederhana dengan beberapa permata kecil diatasnya. Gadis itu juga mengembalikannya. Cincin yang menjadi saksi janji mereka untuk tidak saling meninggalkan. Nyatanya cincin itu ada ditangannya dan entah kapan menemukan kembali pemiliknya.

Ponsel Farid berdering, tangannya menggenggam erat cincin itu sedang sebelahnya lagi merogoh ponsel di kantung celananya. Benda persegi itu menampilkan nama sang ibu sebagai penelponnya. Tak ingin membuat sang ibu menunggu, Farid segera mengangkatnya.

"Iya Bu"

"Rid. Akhirnya lamaran kakakmu diterima"

Farid tersenyum kecil, ikut bahagia dengan ucapan ibunya. Beliau terdengar sangat bahagia sampai lupa berbasa basi terlebih dulu kepadanya.

"Syukurlah Bu. Mereka saling mencintai" balas Farid tulus.

"Makasih ya Rid, semua ini karna kamu yang bersedia melapangkan hatimu memaafkan Clara. Kamu hebat nak, Ibu bangga" Suara ibunya menyenduh.

"Farid hanya melakukan sesuatu yang menurut Farid benar Bu. Ini juga karna Ibu"

"Nggak Rid, kamu itu sudah banyak berkorban dan bersabar. Ibu doakan kamu selalu bahagia ya nak. Oh iya, malam ini kamu pulang kan? ada makan malam keluarga"

Step By DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang