Suara ketukan pintu membuat Lila membuka matanya. Ia merenggangkan tubuhnya.
"Masuk"
Pintu terbuka dan memperlihatkan mbak Atik (ART) membawa nampan yang berisi makanan. "Ini sarapan buat mbak"
"Makasih mbak, letak disana aja mba", Lila menunjuk meja makan kecil di dekat jendela kamarnya. Mbak Atik meninggalkan kamarnya. Lila membersihkan dirinya dulu sebelum makan, hari ini ia akan bertemu doketr kandungannya.
Setelah selesai sarapan, Lila memeriksa ponselnya namun pesan yang ia tunggu tidak ada. Lila menghembuskan nafasnya. "Mas Ardhan bahkan gak nyariin aku"
Ponselnya berdering, Lila pikir Ardhan yang menelepon ternyata bukan. Kenapa ia masih mengharapkan Ardhan? Bodoh sekali pikirnya.
Lila mengangkat telepon dari Bunda Kia, Ibu mertuanya.
"Halo, assalamualaikum bunda"
"Waalaikumsalam Kalila, kamu apa kabar?"
"Baik bunda, bunda gimana kabarnya?"
"Alhmadulillah baik"
Lila bingung ingin bertanya tentang apa, karena ia jarang sekali mengobrol dengan Bunda Kia. Hanya hening di antara mereka, sampai Kia membuka suaranya.
"Maaf ya bunda ganggu kamu pagi-pagi begini. Bunda mau nanya sesuatu, hm apa boleh?"
Lila tidak enak, bahkan mertuanya mau bertanya harus izin dulu. "Boleh dong bun, tanya aja bun apapun. Lila gak keberatan kok, sebisa mungkin Lila jawab Bun"
Lila sangat yakin ini pasti tentang perceraiannya.
"Kalila lagi ada masalah sama mas Ardhan ya?"
"Iya bun"
"Karena permasalahan itu Lila gugat cerai mas Ardhan?"
Lila mengangguk dan menjawab, "Iya bun, bisa dibilang karena itu"
"Kesalahannya sangat fatal ya? Sampa Lila mau menceraikan mas Ardhan?"
"Sangat sangat fatal menurut Lila bun", Lila berdehem dan melanjutkan omongannya, "Maaf sebelumnya bunda, kalo buat Bunda kecewa sama keputusan Lila. Tapi Lila sudah tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan ini bun."
"Kenapa kamu minta maaf? Jika Ardhan memang melakukan kesalahn fatal itu, bunda gak akan marah sama kamu. Bunda marah besar ke Ardhan jika tau apa kesalahannya"
"Iya bunda, Lila udah sabar selama 5 bulan ini. Lila kira mas Ardhan bakal berubah, mungkin dia khilaf. Namunya nyatanya tidak, sampai sekarang ia tidak pernah berubah bun. Maaf bunda."
Diseberang telepon terdengar suara isakan, sepertinya Kia menangis. Lila semakin merasa bersalah, apa keputusannya salah?
"Bunda, jangan nangis. Lila jadi makin merasa bersalah"
Namun tidak ada balasan dari seberang sana, hanya terdengar suara isak tangis. Lila bingung harus bagaimana. Udah tiga menit, Kia tidak juga berbicara diteleponnya.
"Halo Kalila, ini gue. Gue matiin ya" suara Leo terdengar dari seberang sana. Sebelum Leo mematikan teleponnya, Lila berteriak.
"TUNGGU LEO"
"Astaga Lila, suara kamu bisa buat telinga aku budeg", kekeh Leo
"Eh sorry sorry"
"Kenapa?"
Lila bingung mau berkata apa, karena tiba-tiba saja kepalanya terasa kosong. Semua yang ingin ia katakan, terlupakan.
"Bukan salah kamu, jangan merasa bersalah", kata Leo yang lagi-lagi membuat Lila berpikir Leo adalah dukun yang bisa membaca pikirannya.
"Bunda nangis bukan karena kamu cerain Ardhan, tapi karena merasa bersalah sama kamu. Bunda kira selama ini hubungan kamu baik-baik aja, karena Ardhan orangnya baik dirumah. Bunda gak tau kenapa Ardhan bisa buat kesalahan fatal yang buat kamu terluka"
Perkataan Leo membuat Lila terisak, ia tidak tau masih ada orang yang memperdulikan perasaannya. Ia bahkan selama ini tidak pernah menghubungi Kia karena Ardhan yang melarangnya.
Leo terkekeh, "Loh kok jadi adu nangis ini, Bunda ini mantunya juga nangis ni"
Lila mematikan teleponnya sepihak. Ia takut nangis kejar kalo dengar suara Kia lagi.
"Bahkan papi saja tidak pernah mempedulikan perasaanku, orang lain yang bahkan tidak mengenal aku seutuhnya bisa memahami perasaanku", gumam Lila.
———————————————————
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, Lila keluar dari ruangan dokternya dan duduk sebentar di depan ruangan dokter tersebut.
Kehamilannya sudah masuk minggu ke tiga belas. Ia mengelus perutnya. Harus kuat demi anaknya, dan dokter juga menyarankan agar ia tidak terlalu stress. Ketika berdiri dan ingin pergi, ia melihat orang seperti Bella keluar dari ruangan dokter.
"Ah mungkin salah lihat", gumamnya
Lila berjalan keluar rumah sakit, dan mengecek ponselnya. Namun tidak ada pesan atau telepon dari Ardhan. Ia mencoba menelepon Ardhan, berdering namun tidak ada jawaban.
"Kalila", Panggilan seseorang yang sangat ia kenal. Lila menoleh dan mencari sumber suara tersebut.
Ia berlari dan langsung memeluk omanya, "Oma, Lila kangen"
"Oma juga kangen kamu"
Lila melepaskan pelukan Ratu, dan tersenyum sumringah. "Oma kok gak ngabari kalo mau pulang"
"Mau suprisien cucu oma dong" Ratu mencubit pipi Lila dan menggandeng Lila berjalan menuju mobilnya, "Cucu Oma gimana kabarnya?"
"Baik Oma"
"Gimana kata dokternya tadi?"
Lila membukakan pintu mobil untuk Ratu, "Sehat bayinya Oma, cuma aku disuruh jangan stress"
"Stress mikirin perceraian ya?"
Lila hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia memang stress, memikirkan gimana kedepannya. Gimana ia akan menjelaskan ke anaknya kelak tentang papanya. Gimana jika orang-orang berpikiran negatif tentang perceraiannya. Lila memikirkan semua hal yang belum pasti kedepannya.
"Kalila, you deserve a better man" Ratu berbicara dan menatap mata Lila.
"You deserve someone who love you with all his heart dan treats you with respect. Kamu harus tau masih ada orang yang seperti itu di dunia ini Lila. Yang kamu pikirkan sekarang hanya kebahagian kamu dan anak kamu"
Ratu memeluk Lila yang sedang menangis, "You should be with someone that know how to make you happy"
"Menurut Oma keputusan kamu menceraikannya udah tepat, Lila. Bahkan mau seburuk apapun masalahnya, tapi jika sudah perselingkuhan itu tidak bisa dimaafkan. Selingkuh itu bukan pilihan tapi kemauan dirinya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Mom
Historia CortaLila seorang ibu muda yang sudah menjadi single mom di usia 21 tahun.