Sudah satu minggu berlalu sejak malam Leo menceritakan kisahnya. Hubungan Leo dan Lila pun semakin dekat sudah seperti pasangan suami istri tapi belum sah. Lila selalu mengirim makan siang untuk Leo bahkan juga makan malam saat Leo tugas malam.
Masih ada waktu satu bulan lagi, ia masih membutuhkan pendekatan dengan Kevin dan masih mencari cara untuk meminta persetujuan anaknya, Lisa.
Leo sudah mengajak Lila untuk menikah dan sudah mendapat persetujuan Oma, tetapi Leo masih menunggu jawaban Lila dan besok merupakan harinya.
"Kamu masih waras kan, Kal?" Tanya Hans yang melihat Lila terus tersenyum melihat ponselnya. Lila hanya mengangguk, ia tidak mengalihkan dari padangannya dari pesan masuk itu. Tentu saja itu dari Leo yang sedang mencoba menggombal.
"Kal, kamu masih mau bantuin aku gak?"
Lila menatap Hans dan mengelengkan kepalanya, "Gak"
"Please sekali ini aja," mohon Hans.
"Bantu apa?"
"Majalah lagi"
"Gak gak gak mau aku."
Hans dengan wajah memelasnya kembali memohon, "Ini kliennya yang minta Kal, please sekali ini aja."
"Oke, ini terakhir ya Hans. Setelah itu kamu mohon-mohon pun aku gak bakal mau lagi."
"Thanks sekali lagi Kal"
"Ini jadinya mau ketemu sama klien kamu itu?"
Hans megangguk, "Iya Kal, tapi ini perempuan kok. Gak kayak Varel waktu itu." Hans terkekeh mengingat Lila yang mengomelinya sepulang dari pertemuannya malam itu.
Tidak lama seorang perempuan yang sepertinya sedang hamil datang dan duduk tepat di meja mereka. Pasti klien yang di bilang Hans tadi. Hans memperkenalkan dirinya.
"Caca," kata perempuan itu memperkenalkan dirinya. Lila menerima uluran tangan Caca dan tersenyum, "Kalila"
"Senang bertemu kamu secara langsung," kata Caca
"Saya juga"
"Maaf ya bikin kamu jadi cover majalah lagi, saya yang paksa Hans. Ini temanya gaun pernikahan dan karena liat majalah sebelumnya kamu bakal cocok sama gaunnya."
"Gaun pernikahan?", tanya Lila terkejut
"Iya Kal, kan siapa tau bisa jadi pilihan kamu buat nikah besok." Ucap Hans dengan senyum sumringahnya. Sejak kapan Lila bilang mau menikah?
"Wah kebetulan ya, jadinya rasa bersalah saya berkurang sedikit"
Lila mengelengkan kepalanya, "Tidak usah merasa bersalah, saya bantuinnya tulus kok. Dan untuk nikah itu juga Hans mengarang saja, tidak perlu didengarin."
Setelah mengobrol sebentar mereka mulai menikmati makanan yang sudah si sediakan. Caca jika di lihat lama makin terlihat cantiknya, rambut pendeknya membuat Caca lebih kelihatan lebih dewasa.
—————————————
"Kal kamu beneran belum nerima Leo?" Tanya Hans ketika mereka baru saja sampai di rumah Lila. Sebelumnya Lila juga sudah menceritakan bahwa Leo mengajaknya menikah, tapi Lila belum memberi jawaban pastinya.
"Belum, Hans. Menurut kamu gimana?"
"Kal yang mau nikah itu kamu, kenapa malah nanya pendapat aku si," Hans mengelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya ini, "Oke. Kamu mau dengar pendapat aku kan? Kalo menurut aku kamu terima aja."
"Alasannya?"
"Gak perlu alasan, Kal. Hanya orang yang gak bisa melihat aja yang perlu alasan buat kamu terima Leo."
"Berarti aku gak bisa lihat?"
"Kal lama-lama aku jambak rambut kamu ya," kata Hans kesal melihat tingkah Lila. Hans menghela nafasnya dan menunjuk kalung yang dipakai Lila, "Gunanya kamu simpan itu apa Kal? Cincin yang kamu bilang hilang tapi malah kamu jadiin kalung."
Cincin pemberian Leo yang masih utuh masih tergantung di leher Lila. Lila berbohong ke Leo perihal cincinya yang hilang karena ia tidak mau mengbalikannya ke pemiliknya. Lila hanya ingin menyimpanya saja, tidak lebih.
Lila memegang cincin itu, "Ini aku simpan"
"Kal jangan bohongin diri kamu lagi. Sebenarnya kamu juga butuh Leo kan? Seperti Leo butuh kamu. Kalian itu saling melengkapi, Kal"
Lila selalu menyangkal hal yang seharusnya tidak perlu ia sangkal. Lila hanya takut di tinggalkan lagi. Hanya itu.
"Dia gak bakal ninggali kamu seperti yang lainnya, yang hanya bisa memisahkan kalian itu takdir Kal. Kematian."
Lila mengangguk cepat, "Iya Iya iya Hans. Aku turun dulu yaa, makasih Hans atas sarannya."
Lila turun dari mobil Hans, ia hanya tidak mau mendnegar Hans mengoceh lebih lama lagi.
Saat sampai di depan pintu rumahnya, ia melihat orang sangat ia kenali sedang duduk. Lila menghampirinya, "Papi"
Papinya mendongak dan menatap Lila.
Deg!
Jantung Lila berdebar kuat, orang yang selama ini ia rindukan berada tepat di hadapannya. Wajah Papi yang tampak sudah menua. Lila tersenyum hangat walaupun perbuatan Papinya dulu menyakitkan, ia tetaplah Papinya.
"Kalila!" Panggil Papi sembari memeluk Lila. Pelukan yang Lila rindukan.
"Ayo masuk dulu Pi" ajak Lila namun Papinya langsung menggelengkan keplanya, "Gak usah, disini aja. Papi cuma sebentar doang."
Lila mempersilahkan Papinya duduk.
"Papi kangen sama aku?" Tanya Lila to the point karena Lila sangat kangen dengan Papinya.
"Iya"
"Oh iya, Papi ada perlu apa?"
"Papi mau pinjam uang"
"Oh iya, boleh Pi. Mau pinjam berapa? Nanti Lila kirim ke rekening Papi."
"100"
"Kalo 100 kenapa pinjam? Minta aja ke Lila Pi"
"100 juta"
Wah rasanya tertusuk sampai jantung mendengar itu. Seakan ia dibutuhkan hanya ketika butuh uang banyak.
"Ha buat apa Pi? Kalo segitu Lila gak punya Pi"
Papinya tampak marah, "Dasar kamu udah kaya lupa sama orang tua!" Teriak Papinya tepat di depan muka Lila. Sakit.
"Kalo gak mau pinjamin, gak usah belagu."
Tidak berubah sama sekali, masih pemarah dan seenaknya. Karena tidak ingin mendengar perkataan yang lebih menyakitkan lagi, Lila pun mengiyakannya.
"Nanti aku kirim"
Setelah mendengar itu tanpa berpamitan, Papinya meninggalkan rumahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Single Mom
Short StoryLila seorang ibu muda yang sudah menjadi single mom di usia 21 tahun.