Bab 17 Kepergian Aisyah

1.2K 36 0
                                    

Dengan perasaan yang hancur, Aisyah beranjak dari rumah besar itu. Matanya begitu bengkak. Sudah banyak air mata yang tumpah tanpa diminta dari pelupuk matanya. Senyuman yang begitu tegar, ia coba tampilkan. Membuat orang pun tak sadar akan kesedihan yang dimiliki olehnya.

Jam dua seperti ini, sulit untuknya menemukan sebuah taxi. Sehingga, dengan memantapkan hatinya, ia coba melangkah demi menemukan angkutan yang bisa membawanya pergi ke tempat tujuannya. Beberapa menit ia sudah berjalan sambil menyeret koper dan tas besar yang di taruh diatas koper, serta satu tas handbag yang sedang yang ia pakai di lengannya.

Angin malam yang begitu dingin, menusuk pori-pori hingga membuat tubuhnya nampak menggigil. Mencoba ia tahan sekuat tenaga. Gamis dan blazer panjangnya tidak mampu menutupi tubuhnya dari angin yang begitu dingin ini. Namanya hidup di daerah pegunungan, yang super dingin, di tambah suasana yang masih gelap gulita, membuat suhu disekitar tambah dingin.

Ekor matanya menangkap sebuah warung. Yang nampak sedikit ramai.

Sesampainya, Aisyah mencoba memberanikan diri untuk bertanya.

"Pak, saya ingin tanya, kalau jam segini apakah ada angkutan yang lewat untuk pergi ke Jakarta?"

Bapak paruh baya yang sedang sibuk memanggang jagung itu menoleh, "kalo jam segini mah jarang ada neng, memang si Eneng mau kemana malam-malam begini?" tanya bapak pedagang jagung itu dengan nada khawatir.

"Em, begini pak. Saya mau pulang ke rumah orang tua saya," jawab Aisyah dengan nada bergetar. Tubuh Aisyah nampak menggigil serta wajahnya pucat. Bibirnya juga nampak membiru, diperhatikannya oleh si bapa penjual jagung bakar tersebut, "neng, Eneng kedinginan banget sepertinya! Sebentar neng, saya akan buatkan api unggun!"

Bapa paruh baya itu dengan cepat membuat api unggun. Ia ambil beberapa batang kayu dari gerobaknya yang cukup besar. Lalu ia susun dengan di bantu oleh beberapa pembeli yang duduk di tenda pojok dekat pinggir got itu.

"Alhamdulillah, sudah jadi!" ujar bapak paruh baya itu, "neng ayok! Sini duduk disini, sebentar bapak alaskan dulu dengan kardus agar baju eneng tidak kotor,"

"Ma-makasih, ya, pak." Seraya mengembangkan senyum yang tulus. Bapak paruh baya itu mengangguk dengan mimik wajah yang sangat khawatir terhadap wanita yang ia tolong ini.

Perlahan, Aisyah menggosokkan tangannya lalu meniupnya perlahan. Dan mulai menghangatkan tubuhnya lewat api unggun itu.

"Permisi, maaf sebelumnya jika sayang lancang. Saya tadi dengar pembicaraan kamu dengan pak Asep, si penjual jagung bakar itu. Kalau kamu ingin pulang ke rumah orang tuamu di Jakarta, apa betul?" tanya seorang pria yang duduk bersebrangan denganya.

"Iya betul," jawab Aisyah seadanya sambil terus fokus untuk menghangatkan dirinya.

"Neng, minum dulu ini, tehnya. Biar Eneng hangat,"

"Makasih banyak ya, Pak!" ujar Aisyah begitu lembut.

"Saya bisa antar kamu," ujarnya membuat Aisyah terkejut.

Tatapan mengintimidasi yang pria itu dapatkan.

"Tenang, saya nggak akan macam-macam kok! Kamu bisa tanya saja sama Pak Asep!"

"Iya, bener Neng, Aden Vito tuh orangnya baik sekali, dia juga sering bantu orang-orang yang kesusahan!"

"Pak Asep ini, itu hal biasa, jangan dilebihkan!"

"Ih si kasep Aden, nggak atuh! Bener neng, pak Asep jamin Eneng akan selamat sampai tujuan!"

"Em terima kasih atas tawarannya, tetapi ... Saya tidak biasa untuk pergi berdua dengan orang yang bukan mahram saya," tolak Aisyah halus.

Keteguhan Hati Seorang Bidadari [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang