"Wajar, Minho. Wajar kok, tenang ya. Lo udah anggap Lix kayak adek kandung sendiri, wajar kalo lo khawatir."
Minho menggelengkan kepalanya, kembali tertawa seperti orang gila.
"Nggak, Bin. Gue kelewatan, dari jaman dedek kecil sampe sekarang dia udah bisa handle masalahnya sendiri tanpa bantuan gue, itu bikin gue sedih banget." Ucap yang lebih tua.
Changbin memijat pelipisnya, "Hey, Lix berhak punya dunianya sendiri, tapi lo juga berhak buat khawatir. Jangan gini, gue gak suka."
Minho menyandarkan punggungnya pada kursi yang ia duduki, "Gue sedih, mana dedek yang dulu selalu manggil gue setiap saat? Yang kalo abis jatoh aja ngadu nya ke gue. Gue gak siap liat dia dewasa."
"Oke, cukup. Lo mabuk, gak bener ini. Gue anter pulang ayo." Changbin berusaha menyangkal apa yang Minho katakan.
Mengambil beberapa barang dan kunci mobilnya, lalu menarik lengan temannya agar bangkit dari duduknya.
Minho masih menahan dirinya untuk tetap duduk, "Abin, dengerin gue dong."
"Gue sayang dedek Lix, Abin. Sayangggg banget." Sambungnya sambil tertawa.
Ah, kali ini bukan hanya Minho yang merasa sakit, Changbin juga sama begitu, namun ia tak ingin menunjukkannya sekarang. Mengurus temannya yang mabuk ini bahkan jauh lebih penting sekarang.
"Kalo posisi gue diganti sama Hyunjin brengsek itu, gimana? Siapa sih Hyunjin?! Gak kenal gue. Sepantes apa dia buat dedek." Minho masih sibuk menggerutu.
Semua perkataan itu terucap diluar kendalinya, mengucapkan tentang betapa sayangnya ia kepada Felix, tentang mengesalkannya Hyunjin yang mengambil Felix darinya, tentang khawatirnya saat Chan yang tiba-tiba datang menghampirinya. Semua ia curahkan saat itu.
"Gue-"
"Udah, jangan dilanjutin. Kalo lo lanjutin nanti berhari-hari gue gak tidur dengerinnya." Potong Changbin.
"Ih nggak!"
"Denger ya, Ho. Lo ngulang perkataan yang sama lebih dari tiga kali, lo mabuk. Udah, gue anter pulang ya."
Yang lebih tua tertawa mendengarnya, "Banyak ya? Bisa gak sih idup tuh jangan ribet, gue capek."
"Belum urusan cinta-cintaan, ribet." Sambungnya.
Changbin mendekati yang lebih tua, memeluknya singkat sambil menenangkannya,
"Shut udah, jangan gini. Lo kalo ada apa-apa bilang gue, lo gak pernah sendiri. Gue pasti bantu, Ho. Pasti." Ucapnya.
Minho tak menjawab, hening disana. Changbin yang merasa aneh melepas pelukannya, sudah tidur ternyata.
"Capek ya ngadepin orang mabuk."
•••
Felix tertidur disofa ruang tamu. Semalam ia sibuk menunggu kakaknya yang tak kunjung datang. Padahal saat bertanya pada temannya, Jisung sudah sampai dirumah sejak jam 8 malam.
Ponsel Minho mati sehingga tak bisa di telepon, menghubungi Changbin pun tak dibalas. Hingga akhirnya ia ketiduran.
Perlahan Felix membuka matanya, masih dengan posisi yang sama. Ponsel yang tergenggam dengan kaki yang sedikit meringkuk.
"Kak Minho?" Teriaknya saat bangun.
Tak ada jawaban, "Belum pulang juga." Ucap Felix lagi.
Ia sedikit meregangkan tubuhnya, melihat kearah jam. Menunjukkan pukul 8 pagi disana, Felix memukul jidatnya pelan.
"Mampus gue gak sekolah." Ucapnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Sunshine.
Fanfiction{Revisi} • Beberapa part di unpub sementara untuk perbaikan. "Dan untuk kesekian kalinya kakak bilang, dedek berhasil jadi mentari kakak yang paling cerah sekalipun dengan cara yang berbeda. Rest In Peace, dedek." - Lee Minho. - siblings, brothersh...