Minho dan Changbin baru saja pulang setelah mencari angin malam. Berniat untuk menenangkan pikiran, angin malam adalah solusi terbaik bagi mereka.
Melewati kamar demi kamar, hingga terdengar teriakan dari salah satu kamar inap. Mereka saling bertatap sejenak, siapa yang bising di pukul 3 dini hari? Tanpa pikir panjang, Minho dan Changbin menghampiri kamar inap itu.
Langkahnya terhenti disumber suara, kamar 159.
"Dedek?"
Minho memasuki kamar itu, mendapati Jisung yang sedang sibuk menangis dengan kaki yang gemetar berusaha memanggil bantuan dari seorang dokter maupun suster yang ada disekitar,
Dan Felix yang terlihat seperti tidak bernafas.
Changbin bergegas berlari memanggil bantuan, sehingga datangnya Seungmin dan beberapa suster untuk menangani Felix saat ini.
Keheningan disana, Minho memilih untuk diam terlebih dahulu sampai mengetahui keadaan adiknya didalam sana. Begitu pula Changbin dan Jisung yang melamun.
Keadaan Jisung sekarang sedikit menarik perhatian dari Changbin, ia mendekati yang lebih muda. Menduduki dirinya dikursi sebelah milik Jisung.
"Waktu lo dateng, Felix udah begitu?" Tanya nya.
Jisung masih terdiam, sibuk meremat ujung bajunya. Ia bahkan tak tahu apa yang dilakukannya tadi, seakan seseorang mendorongnya untuk melakukan kejahatan itu.
"Gue nanya."
Yang lebih muda mengalihkan pandangannya,
menggeleng pelan sambil terisak, "Nggak."Changbin mengangkat kedua alisnya, "Terus?"
"Gue yang-"
Kret...
Seungmin keluar dari ruangannya, membuat Minho dan Changbin reflek berdiri menghampiri untuk mengetahui apa yang terjadi.
Ia memberikan sebuah tepukan pelan pada pundak keduanya,
"Gapapa. Detak jantungnya sempat melemah tadi, nyaris gak ada. Sekarang sudah kembali normal, kok."
Minho bernafas lega. Baru saja ia merasa tenang, sekarang sudah dibuat serangan jantung mendadak melihat keadaan adiknya yang terlihat tak bernafas.
"Mungkin butuh waktu beberapa hari untuk sadar. Tekan belnya aja kalo ada apa-apa, Minho. Aku tinggal ya." Senyuman terukir dibibir milik Seungmin sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka semua didepan kamar inap.
Minho mengangguk, memperhatikan kepergian Seungmin dengan seksama. Pandangannya beralih pada yang paling muda disana saat dokternya sudah tak terlihat.
"Ulah lo?"
Jisung yang sedari tadi menghadap lantai, mengangkat pandangannya pada Minho. Melihat tatapan mengintimidasi itu membuatnya mengangguk tanpa sadar.
"Tau gak, Ji? Yang lo mainin nyawa. Sadar gak?"
Yang lebih tua mendekati Jisung, berusaha menahan amarahnya untuk tidak teriak diarea rumah sakit ini.
"Sorry, kak. Aku gak sadar-"
"Gak sadar apanya, Ji? Jelas-jelas lo sekarang aja masih seger tuh mata. Apanya yang gak sadar, hah?" Potong Minho.
Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Minho sangat anti menangis didepan orang-orang seperti ini, namun kejadian sekarang sebuah pengecualian untuknya.
Minho hampir saja kehilangan adik yang sangat ia cintai, bahkan lebih dari seorang kakak. Ia bahkan tak bisa membayangkan jika itu benar-benar terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Sunshine.
Fiksi Penggemar{Revisi} • Beberapa part di unpub sementara untuk perbaikan. "Dan untuk kesekian kalinya kakak bilang, dedek berhasil jadi mentari kakak yang paling cerah sekalipun dengan cara yang berbeda. Rest In Peace, dedek." - Lee Minho. - siblings, brothersh...