[16]

5.3K 320 3
                                    

Adam tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. “Sangat diperlukan, Sya. Salah satu kewajiban bagi seorang perempuan adalah menutup auratnya hingga tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya, kecuali suaminya yang sudah menjadi muhrimnya.”

Asya beranjak dari duduknya. “Hmm sudah, akan aku coba sekarang.”

Adam menganggukkan kepalanya, menatap Asya yang tengah mencari kerudung dibalik lemari hitamnya. Ketika Adam melihat Asya dibalik cermin, sungguh auranya sangat berbeda. Bahkan jantung Adam terus berdetak tak karuan.

Ketika Asya membalikkan badannya, Adam segera melihat ke arah kolam renang untuk menghilangkan kagumnya terhadap sang istri. “Pakai hijab kayak gini 'kan?”

Adam meneguk salivanya gelagapan. Jarak antara Asya dengannya sangat dekat, bahkan Asya menatapnya dengan mata berbinar. “I-iya, seperti itu.”

“Maaf, saya harus ke ruangan kerja sekarang. Ada banyak hal yang belum saya kerjakan, permisi.” Adam berpamitan untuk pergi ke ruangan kerjanya. Padahal kenyataannya, ia tidak bisa mengontrol jantungnya bila berdekatan dengan Asya.

Dan kini, hanya Asya sendirian di kamarnya. Gadis itu membuka buku hitam yang tidak jauh darinya, lembaran demi lembaran telah Asya baca begitu khidmat. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman manis.

“Ternyata, hijrah itu tidak semudah yang aku bayangkan,” gumam Asya menutup bukunya dan mulai melaksanakan kegiatan seorang istri, bagaimana dijelaskan dalam buku yang ia baca 'bahwa seorang istri wajib melayani suaminya, kapanpun dan dimanapun dia berada.'

Asya berjalan menuruni tangga, menghampiri Adam yang sedang membereskan meja kerjanya yang cukup berserakan. Tanpa meminta izin kepada suaminya, Asya segera mengambil alih semua barang-barang yang berada di tangan Adam, membuatnya menautkan kedua alisnya bingung.

“Loh---.”

“Udah diem, sekarang kamu duduk dan istirahat. Beres-beresnya biar aku aja. Kamu pasti cape 'kan?”

Adam mengerjap-ngerjapkan matanya polos. “Sya, udah biar saya aja yang beresin. Biasanya juga begitu, bukan.”

Mendengar perkataan Adam barusan, Asya pun menaruh buku-buku yang berada di genggaman tangannya. “Maka dari itu, aku ingin merubah kebiasaan kamu, Dam. Kamu janji bakalan bimbing aku untuk menjadi istri yang sesungguhnya. Tetapi, kamu sendiri yang larang aku untuk menjalankan kewajiban bagi seorang istri.”

Adam yang hendak mengambil alih aktivitas asya pun berhenti oleh kata-katanya. “Memang benar apa yang dikatakan saya waktu itu, tetapi saya tidak mau membuat kamu Kecapean, Asya.”

Keadaan tiba-tiba menjadi hening, Asya menatap Adam dengan tangan yang dilipatkan di depan dada, menatap suaminya sinis. “Kalau aku duduk terus kayak ratu. Gimana mau berubah? Gimana mau melayani suaminya dengan baik? Gimana mau move-on dari Darren? Please, Dam. Aku udah dewasa. Aku tahu mana yang terbaik untukku.”

Setelah mengucapkan itu, Asya berlari menuruni tangga, meninggalkan Adam yang termenung di kursi kerjanya.

“Sya ... saya tidak bermaksud buat kamu marah seperti ini, tolong dengarkan dulu penjelasan saya!” teriak Adam berusaha mengejar istrinya yang sudah keluar dari rumah.

Adam semakin mempercepat langkahnya, hingga ia bisa menangkap Asya di halaman rumahnya, dengan tangan yang memeluk tubuh Asya erat. Adam menaruh kepalanya dipundak sang istri, menyilang tangannya di ceruk leher Asya yang tertutup oleh jilbab berwarna hitam.

“Dengarkan saya dulu, saya tidak bermaksud untuk kamu marah. Saya tidak akan larang kamu, saya hanya tidak ingin membuat kamu tertekan, Asya. Maafkan aku,” bisik Adam mencium puncak kepala Asya dari belakang.

Dengan cepat Asya memutar tubuhnya sehingga Adam tidak sengaja menempelkan bibirnya di dahi sang istri, Asya memejamkan matanya, menikmati debaran jantungnya yang selama ini ia rasakan jika berdekatan dengan Adam.

Begitupun sebaliknya, mereka sama-sama memejamkan matanya rapat-rapat, meresapi setiap alunan angin yang menyapanya di sore hari seperti ini. Hingga pada akhirnya para tetangga yang melewati rumahnya cekikikan akibat melihat kemesraan mereka yang dilakukan di halaman rumahnya sendiri.

“Aduh ustadz Adam ... udah ganteng, soleh, pekerja keras, istrinya cantik lagi, sosweet sekali mereka ya, Bu,” ucap ibu-ibu yang baru saja pulang dari pengajian, menyenggol salah satu ibu-ibu yang berada di sampingnya.

Spontan ibu-ibu itu menoleh ke objek yang dibicarakan. “Heh, iya yah. Romantis banget mereka, jauh banget sama suamiku.”

Adam meneguk salivanya gelagapan, mendengar cibiran ibu-ibu itu, ia langsung menjauhkan dirinya dari Asya. Menuntun istrinya ke dalam rumah kembali.

“Sebaiknya kita bicarakan hal ini di dalam, tidak enak dibicarakan diluar. Banyak para ibu-ibu yang bergosip di sebelah sana,” ujar Adam melirik ibu-ibu yang kini memperhatikannya.

Ketika Asya ingin menengok ke belakang, Adam segera menariknya memasuki rumah, membuat Asya berdecak sebal. “Mana ibu-ibu gosipnya? Nggak ada.”

“Udah pergi,” ucap Adam singkat.

Asya memanyunkan bibirnya ke bawah. “Idih pirgi. Bilang aja, lo mau berduaan terus sama gue, iya 'kan?”

Adam menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan senyuman tipisnya, ia menjawab. “Bagaimana saya ingin merubahmu dengan perilaku yang baik, bahkan saat berbicara pun, kamu masih labil dengan panggilan kata yang lembut.”

Asya menautkan kedua alisnya. “Hah? Maksudnya.”

Adam menghembuskan nafasnya pelan. Berjalan mendekati Asya dan mencolek hidung mungilnya dengan gemas. “Pakai aku-kamu, bukan lo-gue lagi, sayang.”

Blam...

_________________________________________

Bersambung...

Adam, Ajari Aku Hijrah. [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang