[21]

5.3K 298 0
                                    

Ketika sampai di apartemen Nazar, Asya disuruh duduk dan menceritakan kehidupannya setelah lulus SMA tiga tahun yang lalu. Tampak keduanya duduk di sofa seraya menonton televisi kartun yang volumenya sangat kecil, bahkan bisa dikatakan mereka menonton televisi itu dengan keadaan sunyi.

Asya menghela nafas panjang. Meminum air putih yang sudah disediakan oleh Nazar untuknya. Matanya mendelik, mengamati ruangan apartemen milik temannya.

“Lo tinggal sendirian di apartemen segede ini?" tanya Asya agak heran dengan kehidupan Nazar yang terbilang tertutup.

Nazar tersenyum tipis mendengar pertanyaan Asya barusan. Tangannya bergerak, hendak mengambil handphone yang berada di dalam jaketnya. Tetapi Asya menahan pergerakannya dengan menanyakan pertanyaan yang sama.

“Gue tanya, lo tinggal sendirian di apartemen segede ini?" Ulang Asya mendengkus kesal.

“Iya-iya, gue tinggal sendirian ... kenapa? Takut gue apa-apain? Tenang aja Sya, gue nggak seburuk yang lo pikirin, kok," jawabnya terkekeh pelan.

Asya melipat kedua tangannya di depan dada, seraya menatap Nazar jengkel. “ Ihh bukan gitu, gue takut orang tua lo nanti marah kalau gue disini tengah malem main ke apartemen lo.”

“Nggak bakalan ada yang larang, orang tua gue juga nggak ada," celetuk Nazar tersenyum tipis.

“Hah? Orang tua lo nggak ada? Emang mereka kemana?"  tanya Asya membuat Nazar terdiam kaku ditempatnya.

Nazar menundukkan kepalanya seraya menatap langit-langit apartemen. “Lo nggak perlu tau, Sya. Lagian gue bukan siapa-siapa lo, dan lo bukan siapa-siapa gue."

Asya terdiam mendengar balasan dari Nazar. Anehnya Asya merasa sakit ketika Nazar mengatakan hal itu. “Tapi gue temen lo, Zar. Gue berhak tau tentang keluarga lo."

Nazar menggeleng. “Keluarga gue nggak penting. Udah lah, dari pada ngomongin soal keluarga gue. Mending ngomongin soal permasalahan lo, ohh iya. Gue mau tanya, tangan lo luka-luka gitu kenapa? Kena poligami?"

Bugh.

Asya melempar bantal sofa yang berada di pangkuannya. “Sembarangan aja lo, kalau ngomong. Gue tuh marah sama suami gue, karena dia selingkuh sama karyawan ceweknya. Ihhh kesel deh gue, pengen bunuh tuh orang."

Nazar mengembungkan pipinya menahan tawa. “Emang modelan kayak gimana sih suami lo? Sampe dideketin karyawan segala.”

“Kayak pangeran,” ucapnya cengar-cengir membuat Nazar menganga lebar.

“Hah? Pangeran? Jadi lo nikah sama anak raja gitu?" Pertanyaan konyol itu terlontar begitu saja dari mulut Nazar.

Senyuman Asya pudar, dan tergantikan dengan wajah datarnya. “Nggak raja juga ihhh, dia tuh kayak ... ahhh pokoknya dia itu ganteng, tapi ngeselin.”

Nazar menggaruk-garuk tengkuk lehernya yang tidak gatal. “Aneh, katanya ganteng. Tapi ngeselin,” cibirnya pelan.

Keduanya sama-sama bertukar cerita hingga larut malam. Sedangkan disisi lain Adam kebingungan mencari istrinya yang tidak ada dimana-mana. Adam sudah menelponnya beberapa kali, tetapi handphone Asya tidak aktif sedari tadi sehingga rasa khawatir Adam kian bertambah.

“Pak, lihat istri saya keluar rumah nggak?" tanya Adam kepada satpam rumahnya yang tengha berjaga-jaga di dekat gerbang.

“Nyonya Asya tuan?” tanyanya balik.

Adam menganggukkan kepalanya, ssmangat. “Iya, istri saya. Asyana, apa bapak melihatnya?”

Tampak satpam itu mengetuk-ngetuk dagunya, berpikir. Lama mengunggu satpam itu mengeluarkan suara, akhirnya satpam itupun berucap. “Aha! Saya ingat Tuan.”

“Ingat apa?” tanya Adam to the point.

“Yang saya ingat, Nyonya Asya bawa makanan. Terus pas saya tanya mau kemana? Nyonya Asya jawab, katanya mau ke kantor Tuan buat nganterin makan siang. Emangnya selama di kantor, kalian nggak ketemu gitu? Padahal tadi siang berangkatnya,” ucap satpam tersebut menceritakan apa saja yang ia ingat sewaktu Asya akan berangkat ke kantor suaminya.

Adam terdiam kaku. Sekujur tubuhnya menegang, setelah mengetahui Asya membawa makan siang yang hanya diberikan untuknya. Rasa bersalah semakin menguasainya, hingga suara notifikasi dari handphonenya mengalihkan segala pengamatan Adam.

Trisna: Dam, gue lihat Asya tadi dibawa sama anak pembalap motor. Di kompleks perumahan rajali, dia masuk ke apartemen bareng cowok itu. Mending sekarang lo datangin dia, sebelum semuanya terlambat.

Trisna: Maaf gue nggak bisa ngikutin mereka sampai dalem. Mamah gue nyuruh balik karena udah malem.

Dua pesan dari teman dekat istrinya — Trisna, jantung Adam berdetak dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Nafasnya memburu setelah melihat kiriman foto dari Trisna yang menampilkan seorang gadis yang ia kenali adalah Asya — istrinya, bersama seorang lelaki yang memakai helm berwarna hitam khas pembalap.

'Siapa pria itu, penampilannya tampak tidak asing bagi saya?'

________________________________________

Bersambung ....

Adam, Ajari Aku Hijrah. [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang