[23]

5.6K 327 1
                                    

Pagi harinya Asya terbangun dengan sendirinya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mengatur nafasnya sejenak. Lalu mengumpulkan kesadarannya sehingga ia benar-benar sadar, kalau sekarang ia berada di kamarnya. Bukan kamar Nazar ataupun ruang tamu, apalagi apartemen.

Asya berlonjak kaget ketika melihat suaminya yang sudah siap akan berangkat kerja. Laki-laki itu tersenyum tipis, seraya berjalan menghampiri istrinya. Asya meneguk salivanya gelagapan. "K-kok aku bisa disini sih? Bukannya semalem--."

"Saya yang bawa kamu pulang." Potong Adam dengan cepat. "Semalam kamu ketiduran di apartemen teman SMA mu dulu. Ya, aku ke sana karena aku khawatir dengan keadaan kamu. Asya, maafkan atas kejadian kemarin. Tetapi, semua yang kamu lihat, itu nggak bener."

Asya berdecih, membuang wajahnya ke arah lain, menghindari tatapan Adam yang benar-benar ingin meyakinkan dirinya. Adam yang mengetahui perubahan sikap Asya pun menghela napasnya gusar.

"Sya--."

"Jelasin!" sentak Asya memotong kalimat Adam yang hendak berbicara empat mata kepadanya.

Adam berdiam diri dihadapan Asya. Dan kini, ia berjongkok di hadapan Asya yang berada di atas ranjangnya. Tangan mungilnya Adam genggam dengan nyaman. Asya menolak? Tidak. Jujur saja, Asya nyaman dengan sentuhan lembut yang Adam berikan kepadanya pagi ini.

Sebelum menjelaskan masalah yang kemarin, Adam sempat bertanya. "Maaf kalau saya lancang, tetapi ini sangat mengganjal untuk hati saya dan mungkin kamu juga seperti itu. Jadi saya mau kamu jujur ... ada hubungan apa kamu sama Nazar? Saat Darren pindah ke luar negeri."

Asya melotot kaget. Mengapa Adam tahu soal Darren dan Nazar? Darimana lelaki itu mengetahuinya? Aneh.

"A-aku nggak ada hubungan apa-apa. Aku sama Nazar cuma temen, nggak lebih. Kalau soal Darren ... Kayaknya aku nggak perlu ceritain deh, karena kamu pasti tahu tentang seluk beluknya dia gimana."

Adam menganggukkan kepalanya, mempercayai. "Ya sudah ..."

"Hah? Sudah?" beo Asya menganga lebar.

Adam menggaruk-garuk tengkuk lehernya. "Iya udah, emangnya apa lagi?"

Asya melototi Adam horor. "Apa maksudnya udah? Kamu belum jelasin tentang kejadian kemarin. Kenapa kamu peluk-peluk cewek lain, hampir ciuman lagi. Iwuhhh ... Dasar cewek kurang belaian."

"Asya! Jaga bicaramu!" tegur Adam dengan nada rendahnya. Ia takut hal semalam terulang lagi. Tujuannya hanya satu, ingin memperbaiki masalahnya dengan kepala dingin. Tanpa melibatkan siapapun, hanya mereka berdua. Asya dan Adam.

"Kenapa sih? Kenapa kamu belain dia daripada istri kamu sendiri? Apa aku kurang cantik? Kurang seksi? Kurang menggiurkan? Apa perlu aku jadi kayak karyawan kamu itu, biar jadi prioritas kamu? Apa per---."

Cup.

"Stop ngomongnya. Saya nggak mau kamu jadi siapapun. Menurutku, kamu yang terbaik. Kamu segalanya Asya, kamu lebih cantik dari wanita-wanita manapun. Kamu nggak perlu rubah wujud kamu seperti mereka, kamu adalah wanita sempurna yang pernah aku temui, Asyana." Tepat di daun telinga Asya Adam berbisik. Tadi Adam sempat mencium bibir istrinya agar ucapankannya itu dihentikan.

Jujur saja Adam tidak menyukai istrinya yang dibanding-bandingkan dirinya dengan karyawan seksinya itu. Meskipun memang benar adanya, tetapi Adam tidak mau. Karena Asya jauh lebih menggoda dari mereka.

Asya seperti permata yang disembunyikan. Indah, tetapi tidak dilihat banyak orang. Cukup Adam saja yang memilikinya. Cukup dia, jangan orang lain.

"Tapi kamu belain dia," ketus Asya kesal.

Adam menghela napasnya panjang. Mungkin firasatnya benar selama ini, kalau Asya benar-benar cemburu kepadanya. Tentu, karena Asya sudah mulai mencintai Adam walupun dengan cara tidak sadar.

"Sya, dengarkan aku. Dia hanya karyawan biasa, Zeni hanya menggantikan sekertarisku yang lagi hamil. Lagian, aku tidak tertarik dengannya. Hanya kamu yang bikin saya tertarik. Hanya kamu Asya, tidak dengan orang lain. Termasuk Zeni."

Asya mengerucutkan bibirnya kesal. "Aku nggak percaya."

Adam menggeembuskan napasnya lelah. "Ya sudah, terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang terpenting saya sudah menjelaskannya bahwa Zeni itu siapa."

Asya terlihat geram dengan jawaban singkat dari suaminya. "Kalau hanya karyawan. Kenapa kemaren kamu lebih ngebentak aku daripada dia? Kamu seakan-akan berpihak sama dia, Dam ... bukan aku."

Asya menundukkan kepalanya, hendak mengeluarkan air mata. Adam menarik tangan tubuh Asya ke dalam pelukannya hangatnya, mengecup keningnya beberapa kali. Berharap Asya tidak menjatuhkan butiran air beningnya itu.

"Jangan nangis, Sya. Dengan kamu begini, itu membuat dada saya sesak. Entah kenapa, saya tidak menyukai air mata kamu. Soal kemaren saya minta maaf sebesar-besarnya. Bukan ingin membela Zeni. Tetapi saya hanya memihak keadilan, kamu terlalu kasar sama Zeni sehingga saya kehilangan kontrol dan menampar kamu begitu saja. Maafkan saya." Kecupan singkat di dahi Asya telah membangunkan desiran aneh yang tumbuh di dalam tubuhnya.

Asya menganggukkan kepalanya. "M-maaf? Harusnya aku yang minta maaf. Maaf karena telah berburuk sangka kepadamu, aku hanya takut. Kamu berpaling dengan yang lain karena status kita yang kurang jelas."

Adam menganggukkan kepalanya, mengecup wajah Asya beberapa kali dan beranjak dari duduknya, berniat bekerja.

"Saya kerja dulu, ohh ya. Saya sudah siapkan sarapan dari subuh, dimakan ya. Nanti siang, sopir saya yang akan jemput kamu untuk datang ke kantor, membawakan makan siang untuk saya. Jujur Asya, saya melakukan ini karena tidak mau hal semalam terulang lagi."

Asya menganggukkan kepalanya. Adam langsung berpamitan untuk pergi bekerja ke kantornya. Asya mengikutinya dari belakang, mengantar suaminya hingga depan pintu rumahnya.

"Saya kerja dulu, hati-hati di rumah." Pamitnya melangkahkan kakinya menuju mobil berwarna hitam pekat.

Ketika Adam memegangi pintu mobil, dengan cepat Asya memeluknya dari belakang. "Dam ... boleh nggak aku minta sesuatu dari kamu? Sebagai rasa maaf kamu ke aku waktu kejadian malam itu."

Adam menautkan kedua alisnya bingung. Membalikkan badannya, menghadap Asya. "Sesuatu? Sesuatu apa, Sya?"

Asya mengigit bibir bawahnya seraya berkata, "Aku mau kamu pecat Zeni. Atau perlu kamu pindahkan dia ke kantor rekan bisnis kamu. Apa bisa?"

Tidak ada ekspresi terkejut di wajah Adam. Laki-laki itu menggulum senyum manisnya. Mengacak rambut Asya yang sudah berantakan karena baru saja bangun tidur.

Keheningan yang Asya dapatkan membuatnya bersalah, apakah permintaan Asya keterlaluan? Apakah Adam tidak rela jika ia kehilangan karyawannya, sekaligus sekertaris keduanya?

Lama menunggu, akhirnya Adam pun menanggapinya. "Apapun itu, akan ku lakukan."

Asya mengerjap-ngerjapkan matanya polos. "Beneran kamu mau pecat dia?"

Adam kembali mengecup bibir Asya singkat. "Tidak perlu kamu tanyakan lagi, apapun yang kamu mau, pasti akan saya turuti. Termasuk untuk mengalihkan pekerjaan karyawanku.

Asya tersenyum senang mendengar balasan suaminya. "YE!!!" serunya memeluk tubuh Adam erat.

"Makasih udah ngertiin aku," ucap Asya tersipu malu.

________________________________________

Bersambung...

Adam, Ajari Aku Hijrah. [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang