[25]

5.7K 318 1
                                    

Sesudah bangun tidur Asya shalat subuh terlebih dahulu, sedangkan Adam pergi ke masjid. Asya berinisiatif untuk membuatkan Adam kue, mumpung hari libur. Asya akan meminta Adam untuk menemaninya jalan-jalan di taman, sekitaran kompleks perumahannya.

Selesai membuat kue Asya beres-beres rumah. Sesekali Asya terkekeh, mengingat dulu ia jarang sekali memegangi alat-alat pembersih rumah seperti sapu dan lap pel. Karena biasanya Adam sendiri yang membersihkan rumah. Sedangkan Asya? Hanya bermain dan bersenang-senang dengan Darren.

Untung saja hubungan mereka tidak berselang lama. Dan kini, keduanya telah mempunyai keluarga masing-masing. Asya mengusap keringatnya yang bercucuran, lalu duduk di sofa ruang keluarga yang sudah dibersihkan olehnya.

“Huffhhhh capek juga ternyata," keluh Asya pelan.

Saat Asya memejamkan matanya, tiba-tiba pintu rumahnya terbuka, menampakkan kepulangan suaminya dari masjid. Asya yang tadinya ingin tidur pun langsung berdiri, menghampiri Adam, menyalami tangan suaminya seraya berkata. “Kok nggak ngucapin salam dulu?”

Adam tersenyum tipis. “Sudah dari tadi, kamu saja yang tidak mendengarnya. Lagipula saya lihat kamu tadi tiduran di sofa. Kenapa? Ngantuk?”

Asya menggeleng-gelengkan kepalanya, mengelak. “Nggak kok, cuma kecapean aja. Ohh iya, aku buatin kamu kue loh, tunggu ya ... aku ambilin dulu kuenya.”

Adam duduk di sofa, menunggu Asya yang mengambil kuenya dari dapur. Tidak lama setelahnya, Asya kembali dengan nampan berisi kue-kue yang dibuatnya khusus untuk Adam, mungkin.

“Tara ... ini kuenya!” seru Asya bersemangat.

Adam yang melihat kue bikinan Asya pun mengerjap-ngerjapkan matanya, takjub. Sejak kapan istrinya itu suka memasak? Apalagi membuat kue seperti ini? Padahal melihat alat-alat dapur pun Asya selalu ogah-ogahan, tetapi sekarang, itu sangat bertolak belakang. Sungguh wanita ajaib bukan?

“Kamu buat sendiri?” tanya Adam sedikit tidak percaya.

Asya mengerucutkan bibirnya, karena suaminya itu seperti tidak yakin kalau kue itu memang bikinan istrinya. “Iyalah buat sendiri, masa iya buat sama tetangga? Emang kenapa? Aneh ya, aku bikinin kamu kue-kue kayak gini?”

Adam menggeleng-gelengkan kepalanya. “N-nggak ... bukan begitu Asya, tetapi saya heran saja sama kamu. Sejak kapan kamu suka membuat kue? Padahal dulu, kamu sangat anti berdekatan dengan alat masak.”

Asya memutar bola matanya malas. “Itu 'kan dulu, lagian aku pengen berubah. Aku pengen ngerasain capeknya jadi istri juga, 'kan nggak selamanya aku bergantung sama kamu. Iya 'kan?”

Adam menganggukkan kepalanya. “Subhanallah ... baru kali ini saya mendengar ucapan tulus seperti ini  perkataanmu tadi, Sya. Sungguh, saya bersyukur telah mempunyai kamu sebagai tulang rusukku.”

Asya menundukkan kepalanya, ia tersipu malu oleh perkataan Adam barusan. “Udahan ah muji-mujinya. Mending sekarang kamu duduk, dan cobain kue bikinan aku. Kamu harus tahu loh, ini kue bikinan pertama aku.”

“Ohh ya?” Adam mengambil sendok yang berada di atas nampan tersebut. Menyicipi kue-kue buatan Asya.

Baru saja satu suapan, Adam terdiam lama. Rasanya seperti bukan kue, melainkan makanan yang setengah gosok. Bahkan rasanya pun hambar.

Melihat kening Adam yang berkerut membuat Asya menggigit bibir bawahnya gelisah. Sialnya, tadi Asya tidak sempat untuk mencicipi kuenya karena saking semangatnya menyapu rumah.

“G-gimana? Enak nggak?” tanya Asya sedikit canggung.

Adam menelan kue itu hingga melalui tenggorokannya, meminum air putih yang dibawakan oleh Asya barusan. Adam menoleh ke arah Asya yang masih menundukkan kepalanya.

“Lumayan,” balasnya singkat.

Asya mendongakkan kepalanya, menatap manik mata Adam. “Lumayan?” Ulang Asya yang di angguki oleh Adam.

“Nggak enak ya? Makanya kamu ngomong lumayan,” ucap Asya menarik nampan kuenya untuk ia makan.

Ketika Asya ingin memakan kue buatannya, tangan Adam menghalangi pergerakannya. “Jangan dimakan!”

“Hah? Kenapa jangan? Ini 'kan buatan aku, kok jangan dimakan sih, aneh.” Asya mendengkus sebal, menatap suaminya kesal.

Adam menggaruk-garuk kepalanya bingung. “Emmm, anu itu nya ..."

“Alah, lama.” Tanpa mendengar larangan Adam. Asya segera memakan kuenya, setalah dikunyah beberapa saat, Asya memuntahkan kue itu. Lalu mengambil minuman di kulkas.

“Huekk ... kuenya kok pahit, mana tengahnya hambar lagi,” ujar Asya tidak suka dengan rasa kue yang baru saja dimakannya.

Adam berlari menghampiri Asya. “Kamu nggak papa 'kan?”

Asya menatapnya sinis. “Kok kamu nggak bilang sih, kalau kuenya nggak enak? Malah bilang lumayan lagi. Aku kira enak, ehh ternyata, mirip roti kadaluarsa.”

Adam terkekeh geli melihat ekspresi Asya yang kesal dengan kue bikinannya sendiri. Adam menghela napas panjang. Kemudian duduk di kursi meja makan. “Nggak kok, kuenya enak. Buktinya aku makan tadi.”

“Gila. Enak dari mananya? Pahit gitu, aku yakin kue bawahnya gosong. Jadi pahit, aghhh ... aku gagal! Aku nggak mau masak lagi,” gerutu Asya kesal.

Terdengar helaan napas panjang dari Adam. Laki-laki itu memegangi pundak istrinya seraya menatapnya penuh ketegaran. “Itu hanya percobaan pertama, kalau kamu tetap mencoba, tetap belajar, pasti nanti kuenya akan enak. Bukan pasal kue saja. Tetapi semua yang kamu lakukan, pasti akan bisa dengan seiring berjalannya waktu, dibiasakan saja, nanti juga terbiasa. Aku yakin percobaan yang berikutnya pasti kue itu enak. Tetapi mencoba dan terus semangat.”

Asya tersipu malu mendengar ucapan Adam yang  menyemangatinya secara terang-terangan. Tiba-tiba ia merasa gugup, ditatap oleh Adam sedalam itu. “I-iya, aku akan mencobanya lain waktu.”

Adam tersenyum tipis. Mencium kening Asya, seraya berbisik, “Semangat belajar masaknya, istriku.”

'Aaaaa Mamaa ... Asya baper!' --- jerit Asya di dalam hati.

_______________________________________

Bersambung ...

Adam, Ajari Aku Hijrah. [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang