[18]

5.1K 275 0
                                    

“Lo nggak ada kelas, Sya?” tanya Trisna yang baru saja keluar dari ruang kelasnya.

Sebetulnya Trisna akan pulang ke rumahnya, tetapi saat ingin ke parkiran. Ia tidak sengaja melihat Asya yang hanya berdiam diri di taman dekat kelasnya, dan karena itulah Trisna menghampirinya.

Asya menoleh ke arah Trisna dengan tatapan datar. “Dosennya nggak dateng, katanya sih ada acara keluarga. Syukur deh, jadi gue bisa tunda tugas skripsi.”

Trisna menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang selama Asya berkuliah, ia tidak suka dengan pelajaran yang dosen-dosennya berikan. Padahal waktunya berkuliah hanya beberapa tahun lagi, setelah itu mereka akan lulus dan menjalankan cita-citanya masing-masing.

“Aneh lo, Sya. Buat apa kuliah kalau ujung-ujungnya jadi pengangguran,” ketus Trisna menemani Asya yang kini duduk di kursi taman.

“Nggak papa pengangguran, yang kerja juga suami gue, yang bayarin semua biaya kampus juga suami gue. Kenapa gue harus ribet?”

“Tapi nggak harus ngandelin suami lo juga, Sya. Kasihan tau, dia nafkahin lo, terus kuliahin lo tinggi-tinggi. Dia mau yang terbaik buat lo kedepannya.”

Asya memutar bola matanya malas. “Suami sama nyokap gue udah kaya, ngapain gue harus puyeng mikirin masa depan. Udah tau masa depan gue cerah.”

Trisna menepuk jidatnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir. “Astagfirullah Asya ... Asya, kalau seandainya perusahaan mereka bangkrut. Lo bisa apa?”

“Oma sama Oppa gue kaya, kalau mereka bangkrut tinggal minta bantuan sama mereka. Gampang 'kan?” ceplos Asya beranjak dari duduknya.

“Mau sampai kapan lo ngandelin mereka? Lo itu harusnya bersyukur bisa kuliah di fakultas sebesar ini, diluaran sana. Banyak orang yang mau kayak lo, tapi dengan kegigihannya masing-masing. Sedangkan lo? Jauh banget dari kata bersyukur.”

Asya mengepalkan tangannya kuat-kuat. Perkataan Trisna mampu membuat hatinya goyah. Ia tertohok oleh perkataan sahabatnya sendiri, dan menurutnya Trisna terlalu merendahkannya walau dengan perkataan yang halus.

Asya meluangkan kakinya, meninggalkan Trisna yang menatapnya datar. “Mau kemana, Sya!” teriak Trisna terheran dengan sikap Asya yang kian berubah.

“Nyamperin suami!” balasnya sedikit menyentak.

*****

Sesudah pulang dari kampus. Asya segera membuatkan makanan siang untuk Adam di kantor. Meskipun Adam melarang, Asya akan tetap ke kantornya dan memberikannya suapan makanan agar pekerjaannya cepat selesai.

Sengaja juga Asya tidak memberi kabar kalau dirinya akan datang ke kantor, karena ia ingin melihat reaksi Adam ketika ia mengetahui Asya datang ke kantornya dengan cara sembunyi-sembunyi.

“Jadi nggak sabar lihat mukanya dia hihi ...” Asya turun dari taxi online. Dan mulai memasuki ruangan Adam yang berada di lantai atas.

Semua para karyawan yang melihat Asya datang secara tiba-tiba pun menundukkan kepalanya, memberi hormat. Sedangkan Asya hanya membalasnya dengan anggukan kepala saja, lalu berjalan lurus hingga memasuki lift yang menunju ke ruangan suaminya.

“Siang Nyonya,” sapa salah satu karyawan wanita yang berjalan beriringan dengannya.

Asya tersenyum kecil. “Siang juga.”

“Tumben Nyonya datang ke kantor? Kangen Tuan muda ya?” Godanya membuat kedua pipi Asya memanas.

“E-nggak. Apaan sih kamu,” ucap Asya salah tingkah.

Wanita itu tertawa renyah. “Haha ... Nyonya ini, sangat lucu sekali jika sedang malu-malu seperti itu.”

“Hmm ya sudah Nyonya, saya duluan ya. Selamat bertemu Tuan muda,” ucapnya membelokkan tubuhnya ke arah kanan.

Asya melanjutkan langkahnya, hingga sampai ke ruang kerja Adam yang tertutup rapat oleh pintu kokoh yang berwarna hitam, kaca. Asya menghela nafas panjang. Lalu membuka pintunya lebar-lebar.

“SURPRISE!!”

Prank!

________________________________________

Bersambung....

Adam, Ajari Aku Hijrah. [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang