Chain 02

77 19 13
                                    

Hari Jumatnya, sepulang sekolah mereka bertiga langsung berangkat ke rumahku. Sebelumnya, aku sudah memberitahu mereka kalau Kiano sama sekali tidak tahu menahu soal hal ini dan tentu saja aku berharap kalau mereka tidak akan berisik di depan Kiano.

"Kita tahu, Kianaaa. Kita bukan anak kecil yang harus lo kasih tahu begituan!" protes Kayla yang persiapannya untuk menginap benar-benar lengkap.

Rencananya, mereka akan menginap selama dua malam. Malam Sabtu dan malam Minggunya. Mereka bertiga jomlo, kalau aku sih punya pacar, tapi ya ... gitu, deh.

Semingguan ini, aku bisa menyimpulkan kalau si hantu benar-benar ingin aku membaca pesannya bagaimanapun caranya. Walaupun, yah ... isi pesannya memang lumayan penting, sih. Dia pernah memberitahuku kalau pisang yang aku letakkan di dapur sudah hampir busuk, lumayan membantu karena besoknya sepulang sekolah aku langsung mengolahnya menjadi banana bread karena bahan-bahannya juga ada di rumahku. Herannya, seperti saran si hantu juga, seolah dia tahu aku memiliki semua bahannya.

Hari pertama, seperti yang kalian tahu cukup membekas di ingatanku. Siangnya, aku meminta Kiano untuk mengerjakan tugasnya di kamarku agar ada seseorang yang menemaniku membersihkan bekas darah semalam. Tapi yang aku temukan justru kaca kamar mandi biasa yang bersih tanpa bekas noda sedikitpun.

Besoknya, aku pikir aku sudah bisa tidur nyenyak walaupun rasa takut masih menggerogotiku, tapi justru terjadi lagi. Hari ketiga, aku memutuskan untuk bersih-bersih di kamar mandi di luar kamarku, masuk-masuk tulisannya malah ada di kaca meja riasku. Hari keempat juga sama, di meja riasku. Hari kelima, aku menumpang sebentar di kamar Kiano dan tulisannya malah muncul di kamar mandi kamarnya Kiano. Aku sempat merasa panik, takut kalau adikku akan ketakutan. Tapi Kiano justru santai-santai saja dan baru aku ketahui, saat Kiano masuk, tulisan tersebut sudah hilang.

Sepertinya si hantu memang hanya ingin aku membaca pesannya, setelah itu dia akan langsung menghapusnya, atau hanya aku sendiri yang berhalusinasi?

Hari-hari selanjutnya, aku jalani seperti biasa. Berusaha menerima pesan-pesan tersebut dengan lapang dada meskipun agak ketakutan.

"Eh, tapi nanti setannya nongol gak, ya? Gue udah bawa kamera, nih. Barang bawaan gue udah seberat ini dari pagi, mana keluar duit buat ongkos berempat lagi." Ngomong-ngomong, akhirnya kami pulang dengan GrabCar karena terlalu banyak bawaan yang mereka bawa—terutama Kayla—dan tentu saja susah kalau dibawa jalan kaki. Naik GoJek? Ongkosnya gak beda jauh sama GrabCar, sekalian aja pakai GrabCar berempat.

Mereka bertiga hanya membawa tas tambahan berukuran sedang yang bisa langsung aku tebak sebagai baju ganti mereka. Tapi pas aku coba angkat ternyata beraaaat banget, belum lagi ternyata ada beberapa barang yang justru diletakkan di dalam tas ransel berisi buku-buku sekolah.

"Iya, ya? Biasanya setan gak mau muncul kalau rame, cemen," ujar Tsania yang sedang duduk di atas kursi meja belajarku dan kelihatan banget masih tidak mau percaya dengan kisahku.

Aku berdecak. "Hantunya emang gak pernah nongol, kok. Yang ada cuman tulisannya aja."

Kayla sedang sibuk mempersiapkan kamera dan berbagai macam hal lainnya yang tidak aku mengerti. Sementara Sofia tiduran di atas kasurku, masih dengan seragamnya.

"Tsan, biasanya yang gak percaya justru yang mati duluan, lho," balas Kayla yang membuat Sofia terkekeh dengan wajah yang dia tenggelamkan di atas bantal.

"Nanti kalau lihat juga dia percaya, eh—makan siangnya indomie aja, ya? Pake telur, nanti gue bikinin." Aku bangkit dari posisiku yang sedang duduk di sebelah Sofia sambil menatap ketiga temanku, meminta persetujuan.

"Nanti malem makan mie ayam, nanti ditraktir sama tuan rumah," tambah Sofia dengan suara agak parau, entah karena kecapekan atau sedang malas saja.

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang