Chain 06

57 13 11
                                    

PUTUSIN PACAR KAMU

Sepertinya semakin lama aku semakin terbiasa dengan pesan-pesan ini. Maksudnya ... toh, si hantu juga tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Beliau baik, walaupun caranya salah. Aku berusaha memikirkannya dengan otak yang jernih, mungkin si hantu tidak memiliki media apapun selain darahnya untuk menulis pesan? Terdengar masuk akal, 'kan?

Setelah kejadian tadi siang, Kiano akhirnya tidur di kamarku. Beruntung, si hantu tidak menuliskan pesan apapun saat Kiano masuk ke kamar mandi. Pesan tersebut baru muncul sekitar jam sepuluhan—aku sendiri juga tidak terlalu yakin—ketika aku hendak buang air besar.

Rasa mulasku tergantikan dengan rasa penasaran. Ini ... darah beneran gak sih? Iya, waktu pertama kali mendapatan pesan ini, aku sempat mencium bau anyir darah, tapi setelahnya aku tidak mencium apa-apa lagi. Aku sempat berpikir mungkin saat itu aku hanya sedang ketakutan serta kelelahan jadi aku merasakan hal yang tidak-tidak.

Aku menoleh sebentar ke kamarku hanya untuk memastikan kalau Kiano benar-benar sudah tertidur. Anak itu seharian ini sangat menempel denganku, setelah aku sudah bisa menenangkan diriku sendiri, barulah kemudian aku bisa menenangkannya.

"Salah lihat aja kali. Kita tinggal di sini sejak kamu lahir gak pernah ada apa-apa, 'kan? Mama sama papa juga gak pernah kenapa-napa dulu. Lagian ada kakak di sini, gak bakal ada apa-apa," ujarku saat itu yang akhirnya tetap mengizinkan Kiano untuk tidur di kamarku juga.

Setelah memastikan kalau adikku sudah benar-benar lelap, aku menutup pintu kamar mandiku. Berjaga-jaga saja agar dia tidak tiba-tiba masuk.

Kesempatan itu aku gunakan untuk menyentuh tulisan di atas kaca. Jantungku berdegup kencang, seperti bisa saja lepas dari tempatnya sewaktu-waktu. Aku akui, aku emang sok berani sekali. Padahal aslinya aku ketakutan setengah mati, gimana kalau sewaktu-waktu sosok itu menunjukkan dirinya? Dengan segala kejadian yang pernah terjadi selama ini, aku harap si hantu juga cukup pengertian untuk tahu kalau aku aslinya memang penakut.

Dan ... yap. Ini darah asli. Hanya menciumnya sedikit dari tangan memang tidak terlalu membantu, jadi aku mencondongkan tubuhku agar bisa lebih leluasa menciumnya. Lupakan saja kenyataan kalau tanganku sedang bergetar, yang terpenting aku bisa memastikan kalau ini merupakan darah asli.

Aku mengambil ponselku yang sejak tadi aku pegang. Awalnya aku ingin buang air besar sambil bermain ponsel, tapi rasa mulasku langsung hilang ketika menemukan pesan tersebut sudah berada di tempatnya.

Tidak. Aku tidak ingin mirror selfie, kok. Aku hanya membuka group WhatsApp yang anggotanya hanya diriku sendiri dan mengetikkan pesan si hantu di sana. Sudah kuputuskan, aku akan menyelidiki ini sendirian. Walaupun terdengar agak bodoh, tapi aku juga mencatat komentar-komentar netizen soal sosok si hantu. Nenek-nenek lah, ibu-ibu lah, cogan lah, semuanya aku tulis!

Aku kembali ke kamarku tanpa menyelesaikan hajatku. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Aku menunggu dengan jantung yang terus berdebar, dalam hati terus menghitung hingga enam puluh—iya, jadinya satu menit—kemudian kembali membuka pintu kamar mandiku.

Tulisannya sudah hilang.

***

"Kata gue, undang dukun aja gak sih ke rumahnya Kiana? Biar gimana-pun, kita gak punya kemampuan buat komunikasi sama si hantu, 'kan? Main jelangkung juga yang masuk malah tetangga sebelahnya." Sofia berujar panjang sambil membalas pesan ini-itu melalui ponselnya. Ingat, 'kan, Sofia itu yang mengurus online shopku?

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang