Chain 17

58 9 54
                                    

Hari itu, aku hanya bisa terus memejamkan mata sambil menggumamkan doa di dalam hati hingga tubuhku mulai terasa ringan. Sosok itu sudah mulai tidak lagi terlihat di mataku, aku juga sudah bisa menggerakkan tubuhku dengan bebas.

Setelahnya hari-hariku terasa begitu berat dijalani. Jika sebelumnya setelah orang yang katanya pintar itu membersihkan rumahku dan malah membuatku bisa melihat sosok-sosok seperti itu sekilas mata, sekarang keadaanku jauh lebih parah. Berawal dari hanya melihat sekelebatan atau sosok-sosok seperti manusia yang membuatku kaget hingga sekarang rasanya aku bisa melihat yang macam-macam.

Setelah keadaan Kiano jauh lebih baik, akhirnya kami sama-sama bisa masuk ke sekolah. Berita buruknya, sekarang aku merasa kalau aku yang tidak enak badan.

Ada banyak sosok yang aku lihat di sekolah. Sesosok anak laki-laki berseragam dengan wajah pucat di pojok kelasku, anak kecil dengan wajah menyeramkan yang duduk di kantin, pocong yang berdiri di samping gerbang sekolah. Sekarang aku baru tahu, ternyata mereka tidak hanya muncul di malam hari saja, tapi di sepanjang hari.

Mungkin ada total dua minggu aku tidak masuk sekolah di minggu-minggu ulangan harian ini. Ada beberapa ulangan harian yang harus aku kerjakan nyaris setiap hari. Untungnya sebagian besar kisi-kisinya sudah diberikan oleh teman-temanku.

Ada beberapa guru yang menyuruhku untuk mengerjakan ulangan di dalam kelas serta duduk di pojok belakang kelas dan membuatku mati-matian harus berpura-pura cuek dengan sosok cowok pucat yang duduk tepat di sebelahku. Namun sebagian lagi menyuruhku ke kantor guru untuk mengerjakan ulangan dan ternyata itu jauh lebih buruk.

Tubuhku bergetar hebat ketika harus mengerjakan soal-soal ulangan yang sudah aku pelajari mati-matian sebelumnya dengan sesosok wanita berseragam guru namun matanya mengeluarkan darah dan memancarkan kekosongan dari bola matanya, wanita itu duduk tepat di hadapanku dengan kedua tangan pucat di atas meja. Akan jauh lebih baik jika seorang guru killer yang mengawasi daripada sosok dengan tatapan kosong namun seperti memperhatikanku tersebut.

"Kiana, abis ini kelas kamu pelajaran sejarah, ya?" Aku mendongak ke arah Bu Putri yang sekarang berdiri tepat di sampingku. "Kalau belum selesai, kamu di sini aja dulu, ya? Nanti ibu yang minta izinin, kamu udah ulangan sejarah, 'kan?" Aku mengangguk saja sambil tersenyum. "Boleh, 'kan, Pak?"

Guru sejarahku yang ternyata sejak tadi duduk di belakang wanita berair mata darah itu langsung tersenyum sambil mengangguk. "Gak apa-apa. Nanti kalau udah selesai langsung masuk ke kelas, ya, Kiana?" Pak Surya berujar sambil menatapku yang hanya aku balas dengan anggukan kepala.

Sekarang aku sedang ulangan untuk mata pelajaran matematika. Bayangkan. Aku mengerjakan ulangan matematika dengan hantu yang jadi pengawas di hadapanku.

Aku kembali berusaha untuk memfokuskan pandangan ke kertas ujian yang ada di hadapanku meskipun detak jantungku tidak bisa diajak bekerja sama. "Kiana, muka kamu pucet banget. Kamu juga keringetan, kamu lagi sakit?" Bu Putri sekarang duduk di sampingku dan berujar dengan nada khawatir. "Jaga kesehatan, Nak. Sekarang lagi musimnya orang-orang pada sakit, kemaren juga adekmu masuk rumah sakit, 'kan? Kamu jangan sampe sakit juga, kasihan adekmu."

"Iya, Bu," jawabku sekali lagi tersenyum memamerkan gigi-gigiku. Akhir-akhir ini, lebih tepatnya, setelah Kiano keluar dari rumah sakit, memang rasanya tubuhku jadi lemas sekali. Seolah ada sesuatu yang menarik energiku entah dari mana.

Tapi sebenarnya alasan dari perasaan tidak enakku hari ini karena ulangan diawasi oleh sosok wanita di hadapanku ini.

Sebenarnya aku sendiri bukan anak yang memiliki nilai yang bagus serta peringkat tinggi. Sejak dulu, prestasiku di sekolah biasa-biasa aja, orang tuaku juga sebenarnya tidak pernah menuntut macam-macam seperti harus peringkat tiga besar paralel atau semacamnya. Dari SD, aku sudah masuk ke sekolah favorit dan beruntungnya aku juga masuk ke sekolah favorit di SMP dan SMA sekarang. Walaupun aku juga gak berkontribusi apa-apa untuk mengharumkan nama sekolah, sih. Mungkin itu juga yang jadi alasan orang tuaku untuk tidak terlalu menuntutku. Persaingan di sekolah favorit kan gak main-main.

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang