Bibirku bahkan tidak bisa berteriak untuk sekedar meminta pertolongan ketika wanita itu membenturkan kepalaku ke tembok kamar mandi. Rasa takut dan kesakitan melebur menjadi satu, diiringi dengan suara tawa keras wanita itu yang aku harap tidak akan membangunkan Kiano.
Apa aku akan mati hari ini? Bagaimana dengan Kiano? Dia masih terlalu kecil untuk hidup sebatang kara.
Tatapanku mulai memburam karena air mata, tapi aku tetap bisa melihat darah yang mengucur keluar dari dahiku di lantai dekat WC. Perasaan nyeri yang menjalar di sekitar dahiku membuatku terus berprasangka bahwa hari ini memang hari terakhirku di dunia. Aku sendiri kagum dengan kenyataan bahwa aku masih sepenuhnya sadar dan melihat sekeliling termasuk wajah bahagia wanita itu.
Di sisa-sisa kesadaranku, aku merasakan sebuah tangan menarik rambutku dari arah yang berlawanan dengan kencang. Entah itu tangan wanita tadi, atau tangan siapapun, aku tidak ingat lagi.
Aku hanya tahu, setelahnya aku tidak sadarkan diri dan terbangun di sofa dekat kasur Kiano. Awalnya aku sempat berpikir kalau barusan hanyalah sebuah mimpi buruk saja, tapi rasa pening luar biasa yang aku rasakan tetap tidak bisa berbohong. Saat aku mencoba untuk memegang kepalaku, ada perban yang mengelilinginya.
Siapa yang melakukannya?
Aku buru-buru menoleh ke berbagai arah hingga menemukan buku catatanku di atas meja dekat sofa yang sedang aku tiduri. Lampu di kamar Kiano masih menyala, jadi aku tidak perlu repot-repot berjalan menyalakan sakelar lampu yang ada di dekat pintu.
Buku catatan ini baru saja aku beli saat aku ke minimarket tadi siang, niatnya ingin aku gunakan untuk mencatat hal-hal penting yang berhubungan dengan online shop-ku karena buku catatanku tertinggal di rumah. Seingatku, aku bahkan belum membuka plastiknya dan meletakkannya di atas tas baju-baju, tapi yang terjadi justru buku itu berada di sampingku dengan rapi. Seolah memang ada yang dengan sengaja meletakkannya di sana.
Dengan gerakkan yang terburu-buru, aku langsung membuka halaman pertamanya. Aku tebak, ini pasti kerjaannya Sihan.
Dan benar saja, di halaman pertama buku itu tertulis, 'JANGAN KE KAMAR MANDI DI ATAS JAM SEPULUH, JANGAN BEGADANG. DIA MAU KAMU.'
Seperti biasa, menggunakan darah. Bedanya, kali ini darahnya sudah mengering. Mungkin itu juga yang jadi alasan mengapa bukunya barusan dalam keadaan tertutup, kalau tidak kan pasti sudah menjiplak ke kovernya karena Sihan menulisnya benar-benar di halaman pertama. Mungkin dia menunggu hingga darahnya mengering dulu sebelum menutupnya.
Lagi-lagi, jantungku berdegup dengan sangat kencang mengingat kejadian barusan. Sudah hampir jam setengah dua belas, yang berarti kejadian barusan belum lewat dari satu jam. Memikirkannya lagi-lagi membuatku merinding. Wajah wanita itu masih terukir jelas di ingatanku, rasa sakit dan ketakutan yang aku rasakan masih bisa aku rasakan hingga sekarang.
Dia menginginkanku? Sebenarnya kenapa hidupku seperti ini, sih?!
***
Di pagi harinya, aku terbangun lebih dulu dari Kiano. Jika Sihan melarangku untuk pergi ke kamar mandi di malam hari—di kamar mandi sini juga tidak ada kaca, sih—itu berarti dia membutuhkan media lain untuk berkomunikasi denganku. Karena buku catatanku sudah jadi korbannya, jadi aku relakan saja buku itu menjadi media komunikasiku dengan Sihan dan membeli buku catatan lainnya.
Ngomong-ngomong soal Sihan, tadi pagi aku penasaran banget, bagaimana cara Sihan menghapus jejaknya di kertas. Kalau di kaca, kan, tinggal dia hilangkan saja, apa kalau di kertas sama juga? Atau malah dia robek kertasnya?
Tapi yang aku temukan di pagi harinya justru tulisan yang sama masih tertulis rapi di sana. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menyembunyikan buku tersebut dari Kiano. Toh, aku sembunyikan dimanapun pasti Sihan bisa menemukannya.
Tepat ketika aku kembali masuk ke kamar rawat Kiano, anak itu membuka matanya sambil berkedip beberapa kali, berusaha mengembalikan kesadarannya.
"Udah enakan?" tanyaku sambil meletakkan tanganku di atas dahinya. Kiano hanya mengangguk sebagai jawaban sementara aku memperhatikan selang infusnya. "Infusnya udah mau habis, tadi kakak udah bilang ke susternya, abis ini diganti, ya?" Dia kembali mengangguk dan aku hanya tersenyum saja sambil mengeluarkan beberapa belanjaanku.
Tidak lama kemudian, seorang suster dan dokter datang untuk mengganti cairan infus Kiano serta memeriksa kondisinya. Nanti siang, teman-temanku bilang akan datang sepulang sekolah untuk menjenguk Kiano. Karena itu, aku berusaha untuk membereskan kamar Kiano walaupun sebenarnya kamar Kiano juga tidak terlalu berantakan, hanya saja barang kami ternyata lumayan banyak juga.
"Kakak kepalanya kenapa diperban?" tanya Kiano yang tentu sudah bisa aku tebak akan dia tanyakan.
Aku tersenyum kikuk. "Semalem sempat kejedot di kamar mandi, keras, sampai berdarah." Aku tidak berbohong, hanya tidak menceritakannya secara lengkap saja.
Kiano masih menatapku lama sebelum akhirnya kembali melanjutkan sarapannya. Dia mendapatkan sepotong roti dengan selai cokelat dari rumah sakit, aku juga sarapan dengan roti, tapi roti kemasan yang ada di minimarket.
Ngomong-ngomong, aku juga penasaran di mana Sihan mendapatkan perban dan bagaimana dia membalut lukaku. Aku tidak menemukan apapun setelahnya, tapi aku langsung berinisiatif untuk membelinya sendiri di apotek yang berada di lantai bawah.
Siangnya, sekitar jam setengah dua-an, ketiga temanku datang. Ditambah Atha sebenarnya.
"Ki? Kepala lo kenapa?" Aku menjawab pertanyaan Tsania dengan jawaban yang sama persis dengan yang aku katakan ke Kiano tadi pagi. Jujur, tapi tidak menceritakannya secara lengkap.
Mereka membawa satu plastik berisi cemilan yang pada akhirnya mereka-mereka juga yang memakannya sambil mengobrol.
"Ada dua ulangan harian minggu ini yang harus lo susul, Ki. Tapi tenang aja, soalnya gak susah-susah banget, kok. Ada di buku semua, nanti gue kasih tahu." Kayla berujar sambil memakan wafer yang barusan dibawanya. "By the way, lo sendirian jagain Kiano?" Aku langsung tahu maksud kata sendirian yang ditekankan oleh Kayla.
"Um ... ya. Sendirian. Sama siapa lagi?" jawabku sambil mengalihkan wajahku ke arah lain.
Tapi mungkin memang dasarnya aku yang tidak bisa berbohong. Wajah penuh kecurigaan dari teman-temanku tertangkap dengan jelas olehku.
"Lo gak apa-apa, 'kan, sendirian?" Tsania kembali bersuara yang aku jawab sambil mengangguk dan tersenyum. Atha di sini hanya diam saja sambil memainkan ponselnya.
Sofia menatapku khawatir. "Nanti setiap hari abis pulang sekolah gue ke sini, deh," ujarnya kemudian.
"Gue juga," sambung Kayla yang diangguki oleh Tsania.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Mereka jelas tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja.
***
okeee, tetap double up ternyata. haha😅😅
kalau minggu ini nulisnya lancar, semoga minggu depan bisa double up lagi, ya. lagi agak-agak stuck dan gak bisa maksain diri, wkwk, gitu deh.
see you next week!
23.04 // 22 November 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
Slip Stitch [COMPLETED]
Teen FictionMimpi buruk Kiana dimulai ketika pesan bertuliskan darah itu muncul di kamar mandi pada suatu malam. Kejadian-kejadian mengerikan yang dia alami-entah pesan berdarah di kamar mandinya atau suara-suara di tengah malam-membuatnya bingung antara harus...