Chain 27

63 11 14
                                        

Semingguan ini hidupku benar-benar berjalan dengan sangat lancar. Tulisan dari Sihan—yang bagiku sudah tidak penting lagi siapa dia—tidak lagi muncul, walaupun berbagai gangguan lainnya masih muncul.

Hanya saja sudah tidak separah sebelum-sebelumnya. Entah perasaanku saja atau tidak, tapi selama ini juga aku merasa kalau Kiano mengawasiku dengan tidak ramah. Dia saudara kembarku, tapi auranya benar-benar memuakkan. Walaupun aku tidak bisa melihat wujudnya, tapi aku tetap bisa merasakan kehadirannya melalui perasaan tidak nyaman dan ketakutan yang terkadang bahkan muncul jika aku bersama Kiano atau teman-temanku. Rasanya seperti diburu oleh sesuatu, seperti ... dia akan melakukan sesuatu yang buruk kepadaku. Tapi berhubung sejauh ini, dia tidak pernah melakukan apapun yang berbahaya, jadi aku diamkan saja.

Hari ini, hari Sabtu, akhirnya Kiano menginap di rumah Milan yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumah kami. Dia terlihat sangat bersemangat hingga aku tidak tega untuk melarangnya pergi. Gimana, ya, aku tiba-tiba jadi takut sendirian. Mau meminta teman-teman buat menginap, mereka sedang ada acara masing-masing. Lagian aku juga merasa tidak enak jika minta tolong terus.

"Pulangnya besok?" tanyaku sambil merapikan pakaian Kiano. Anak itu sudah rapi dengan segala perlengkapannya untuk menginap satu malam. Banyak banget yang dia bawa, padahal tinggal jalan aja kalau ada yang ketinggalan.

"Iya! Besok aku pulang abis makan siang kali?" Aku tersenyum, kemudian menggandeng tangannya dan mengantar dia hingga ke depan rumah Milan.

"Baik-baik, ya, di sana? Jangan bandel. Kalau ada apa-apa, minta Mamanya Milan hubungin kakak aja. Jangan ngerepotin tante di sana, oke?" Kiano mengangguk sekali lagi masih dengan senyum lebarnya. Sementara aku menungguinya hingga akhirnya dia masuk ke dalam rumah Milan.

Akhirnya aku ditinggal sendirian. Ini masih jam sepuluh pagi, setelah jam makan siang nanti, aku ingin menjenguk kak Darel karena sedang tidak ada kerjaan juga. Kak Darel sendiri masih dirawat di rumah sakit karena dia masih dalam proses pemulihan juga.

Saat aku masuk ke dalam rumah, hawanya sudah tidak enak. Dan dalam sekejap aku sudah tahu kalau aku tidak sendirian. Mengabaikan segala perasaan tidak enakku, dengan cepat aku langsung mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Aku hanya akan makan roti sebagai makan siang karena keuanganku juga sudah mulai menipis.

Setelah siap, aku langsung berjalan ke luar rumah dan duduk di sana untuk memesan taksi online. Setidaknya di hari Sabtu ini lumayan ramai. Pemandangan ibu-ibu mengobrol di tukang sayur, atau bapak-bapak yang sedang mencuci kendaraan, hingga anak kecil berlarian kesana kemari, sukses membuatku merasa lebih baik.

Sambil menunggu si driver datang, aku hanya diam saja sambil menatap perban di jari telunjukku.

"Jangan sembarangan ngelap darahnya, Ki. Sama aja lo ngasih tumbal ke si boneka kalau isinya beneran arwah jahat." Kalimat Kayla kemarin secara tiba-tiba muncul di otakku. Saat itu, kami sedang kerja kelompok dan tanpa sengaja tanganku terkena cutter. Sakit banget, mana darahnya juga lumayan banyak kan. Otomatis, tanpa berpikir panjang, aku langsung mengelapnya sementara di boneka beruang biru—yang sebelumnya jatuh dari atas TV ke lantai—tersebut. Hari itu aku lagi memakai baju putih, kan susah nyucinya kalau dibersihkan pakai baju.

Waktu itu, aku hanya tertawa saja mendengar omelan Kayla. Tapi hanya aku saja yang tertawa, Tsania dan Sofia sepertinya menanggapi kalimat Kayla dengan serius. Sekarang sih, aku beneran jadi menanggapinya dengan serius.

Jadi ceritanya, sebelum kerja kelompoknya dimulai, aku dan teman-temanku juga menonton sebuah video YouTube horror yang disambungkan ke televisi, hingga kami bisa menontonnya bersama-sama.

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang