Chain 23

47 9 6
                                        

Rasa kantukku langsung hilang begitu saja ketika mendapati foto tersebut. Untuk pertama kalinya, aku mencari-cari ke sekelilingku untuk menemukan makhluk yang sudah meletakkan kedua foto ini dan memberikan sebuah fakta yang baru aku ketahui. Bukan manusia tentu aku tahu, makhluk itu juga yang pastinya barusan mengajakku naik ke lantai atas yang sudah lama tidak aku datangi.

"Kiano?" panggilku kemudian. Bukan Kiano adikku, tapi Kiano kembaranku.

Tidak ada jawaban. Aku menghembuskan napas dengan kesal kemudian turun ke lantai bawah. Aku berjalan dengan cepat menuju kamarku dan mengambil sampel darah serta rambut yang semalam kami siapkan untuk dibawa ke laboratorium. Teka-tekinya sudah selesai, aku sudah tidak lagi membutuhkan bukti. Entah Sihan itu mama atau Kiano, tes DNA tidak akan menyelesaikan masalah.

Entah karena mendengar suara langkah kaki yang terburu-buruku atau suara plastik diremas-remas saat aku mengambil kedua sampel dari meja belajarku, tapi tepat setelah aku memasukkan keduanya ke dalam tempat sampah, Sofia dan Tsania terbangun secara bersamaan.

"Lo ... ngapain? Buang apaan?" tanya Tsania dengan mata yang masih belum terbuka sepenuhnya. Di sisi lainnya ada Sofia yang sudah terduduk namun matanya masih terpejam.

Aku tidak menjawabnya, melainkan berjalan ke arah mereka dan memberikan dua buah foto USG yang aku temukan beberapa menit yang lalu. Tsania terlihat bingung ketika aku memberikannya, kemudian aku memintanya untuk melihat tulisan di balik foto tersebut. Sofia ikut mendekat karena penasaran dan tanpa bisa dicegah keempat mata itu langsung melotot tidak percaya.

"Terus yang barusan lo buang itu ...." Tsania menggantung kalimatnya, tapi tentu aku tahu maksudnya. Kepalaku mengangguk sebagai jawaban hingga dia mulai memekik tidak percaya sekali lagi, "Lo gila?! Belum tentu Sihan itu kembaran lo!"

"—atau bisa juga nyokap gue. Ada juga kemungkinan kalau dia bokap gue," lanjutku berusaha untuk melengkapi kalimat Tsania. "Yang manapun itu, sekarang udah gak penting. Tiga-tiganya keluarga gue, gak ada gunanya, Tsan. Tes DNA-pun gak bakal ngebantu apa-apa." Aku memejamkan mata sebentar ketika sudah selesai dengan kalimatku.

Tsania tidak menjawab, sekarang giliran Sofia yang angkat bicara. "Terus selanjutnya lo mau gimana? Lo udah usaha buat nyari tahu, ngusir, dan sekarang ... gimana? Apalagi yang mau lo cari?" tanyanya banyak.

Aku mengangkat bahuku sebagai jawaban, tidak lama kemudian Kayla ikut terbangun karena keributan yang kami perbuat. "Gue gak tahu, kadang ... gue mikir, buat apa gue cari tahu? Toh, selagi dia gak gangguin gue, gue harusnya bersyukur ada yang bantuin gue. Gara-gara ngelakuin ini-itu buat nyari tahu hal yang harusnya gak perlu gue cari tahu, gue malah jadi kayak sekarang. Gak enak banget, Sof. Tiap gue jalan gue ngeliat makhluk-makhluk aneh yang gak pernah bisa gue bayangin. Gue capek, tapi gue gak tahu lagi harus apa. Selama ini juga kalian udah banyak banget bantuin gue, Kiano udah jadi korban karena ngelihat kunti sampe demam kemaren. Gue takut kalian bakal jadi korban juga kayak Kiano." Aku yang sedang terduduk di kursi meja belajarku, mulai menunduk saat kalimat panjang itu selesai aku ucapkan.

Kayla yang biasanya banyak bicara tidak mengucapkan sepatah kata-pun, walau wajahnya sudah terlihat sangat kebingungan.

Kepalaku secara otomatis menoleh ke arah nakas yang berada di seberangku, tepat di samping tempat tidur. Boneka beruang biru yang katanya menjadi tempat Sihan berada, sumber masalah. Kalau sumber masalahnya dihilangkan, berarti masalahnya juga akan selesai, 'kan?

Aku berdiri dan meraih boneka itu kemudian melemparnya begitu saja ke tempat sampah. Seperti orang yang sudah kehilangan akalnya, aku bicara, "Aku ... takut. Ma, Pa, atau Kiano. Aku bisa jaga diri. Aku ... bakal jagain Kiano, aku gak bakal begadang lagi, aku bakal makan yang bener mulai sekarang. Jadi tolong ... berhenti. Aku udah gak kuat lagi. Maaf kalau aku bikin kalian gak bisa pergi dengan tenang, mulai sekarang tolong pergi ke tempat kalian seharusnya berada. Pergi ... dengan tenang." Terdengar seperti monolog, tapi aku sedang bicara dengan arwah yang berada di dalam bonekaku. Entah perasaanku atau karena sejak awal aku sudah diwanti-wanti soal boneka ini, tapi aku bisa merasakan sesuatu memang ada di dalamnya.

***

Walaupun aku bahkan tidur tidak sampai empat jam semalam, tapi rencanaku untuk berkencan dengan Atha hari ini tetap terlaksana. Aku sudah bertekad untuk menyelesaikan semua urusanku satu persatu.

Iya, diselesaikan. Aku dan Atha akhirnya putus.

"Kamu masih marah soal yang kemaren? Kiana, kita kan udah janji mau sama-sama perbaikin hubungan kita. Iya, 'kan?" Masalahnya, aku tidak lagi punya tenaga untuk memiliki sebuah hubungan romantis ketika masalahku sendiri sudah membuat kepalaku mau pecah.

Masalahnya ada di aku, bukan Atha. Hari ini diakhiri dengan aku yang berusaha untuk memberikan pengertian kepada Atha bahwa aku benar-benar tidak bisa lagi melanjutkan hubungan kami dan dia sama sekali tidak memiliki kesalahan apapun. Mungkin terdengar egois, tapi aku pikir akan lebih egois lagi jika aku menarik lebih banyak orang ke dalam masalahku.

Sudah berapa hari sejak olshop-ku tutup? Tiga hari? Lima hari? Seminggu? Apa Sihan tidak begitu memperhatikannya dan terus membantuku merajut? Karena bantuannya sama sekali tidak menghilang, atau dia yang tidak tahu kalau aku sudah lama tidak merajut untuk beristirahat.

Ah, bukan. Bukan istirahat. Aku sedang menyelesaikan masalahku satu persatu sebelum memulainya lagi.

Aku pulang pukul tujuh malam diantar oleh Atha—dia yang bersikeras untuk mengantarku pulang—dan membawakan makan malam untuk Kiano. Kepalaku pusing sekali, aku duduk sejenak di kursi meja belajarku sambil memegangi kepalaku. Ada sebuah bandana rajut berwarna biru muda dengan sedikit warna putih yang menyebar, bagian depannya berbentuk sedikit twist. Bukan buatanku, mungkin mama yang membuatkannya sebagai hadiah perpisahan.

Tanpa sadar air mataku keluar dengan tangan yang meremas bandana itu kuat-kuat. Ternyata memang sejak awal aku tidak pernah merasa sembuh setelah ditinggakan mama, aku masih merindukannya. Setelah puas dengan sesi perpisahan yang sesungguhnya—mungkin—aku membuka lemariku dan menarik sepasang piyama yang akan aku gunakan tidur nanti. Mataku menangkap si beruang biru yang masih berada di tempat sampah. Sekali lagi, aku menguatkan diri dan memasukkannya semakin dalam ke tempat sampah.

Tapi, seperti tidak ada gunanya, hari itu aku tetap menerima pesan tersebut.

SATU MINGGU LAGI. BOLEH? :)

***

wkwk tumben bgt up pagi nichhh. tapi kayak yg aku bilang sebelumnya, hari ini triple up—krn kmrn aku ketiduran dan gak jadi double up—ya! tungguin aja :D

ketemu lagi ntar siang atau ntar sore okeee

06.11 // 17 Januari 2022

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang