Aku kesal sekali. Aku jelas-jelas sudah mengatakan kalau aku tidak ingin mengusir si hantu, tapi kenapa teman-temanku jadi kembali ikut campur begini? Aku tahu niat mereka baik, tapi tetap saja, kan ini rumahku!
"Halo ... mbah?" Aku menyapa dengan ragu-ragu, masih berusaha untuk bersikap sopan.
Aku sudah bilang, 'kan, kalau Sofia adalah salah satu temanku yang berharga? Di antara mereka bertiga, jelas aku paling dekat dengan Sofia karena kami bersekolah di SMP yang sama sebelumnya. Tidak hanya membantu soal online shop-ku saja—sebenarnya Kayla dan Tsania juga terkadang banyak membantuku, sih—Sofia sering pula menghubungiku hanya untuk memastikan kalau aku dan Kiano baik-baik saja setelah kedua orang tua kami meninggal secara bersamaan. Kelemahannya hanya satu dan aku yakin semua orang juga tahu, dia terlalu penakut.
Sofia hari ini menunjukkan perhatiannya dengan cara yang menurutku menguntungkanku dan dia. Tentu dia tidak mau lagi mengalami hal horor seperti saat dia terakhir kali mampir ke rumahku, apalagi ada Mbah Dukun juga di sini. Jadi, Sofia berjalan menghampiri Kiano dan berjongkok agar bisa sejajar dengan adikku tersebut.
"Kiano temenin kakak Sofia, yuk? Kakak mau beli-beli, nanti Kiano juga kakak jajanin. Mau, ya?" Kiano langsung menatapku, meminta persetujuan, yang tentu saja langsung aku angguki. Masalahnya bakal panjang, aku yakin Sofia bisa dipercaya dalam hal ini.
Setelah Kiano pergi, aku masih berusaha untuk bersikap sopan. Anggap saja, teman-temanku hanya berniat baik agar aku bisa hidup tenang lagi seperti dulu.
Setelah Sofia dan Kiano pergi menggunakan motor milik Sofia, aku mempersilakan tamu-tamuku untuk duduk. Aku juga sempat menawarkan minuman, tapi ditolak oleh si Mbah dan dua orang lainnya juga ikutan menolak. Jadilah kami berempat duduk di ruang tamu yang hanya memiliki dua sofa kecil ini. Aku duduk dengan Kayla di sampingku, sementara si Mbah duduk di sebelah kanan Tsania.
"Jadi, begini ... teman-temanmu sudah cerita soal masalah yang kamu alami ...." Si Mbah yang sampai sekarang tidak kuketahui namanya itu kini mulai bicara. "Sekarang, saya boleh lihat-lihat rumah kamu?" Aku mengangguk saja, kemudian berjalan memimpin rombongan ini.
Rumahku memiliki dua lantai. Pertama, tentu saja kami menjelajahi lantai satu. Ada tiga kamar di rumahku. Kamarku—yang dulunya merupakan kamar kedua orang tuaku—serta kamar Kiano—sebelumnya kamarku—berseberang-seberangan. Di antara itu, ada dapur yang juga tersambung dengan ruang televisi. Tidak ada sofa di ruang televisi, biasanya kami hanya duduk di karpet jika sedang menonton. Di seberang dapur ada ruang makan dengan empat tempat duduk yang dua tempat duduk lainnya sudah jarang digunakan. Di sebelah kamar Kiano ada kamar mandi, ingat kan kamar mandi yang aku gunakan ketika aku pertama kali menemukan pesan berdarah itu?
Lantai dua sejak dulu jarang digunakan. Ada kamar lama Kiano yang sekarang dijadikan kamar tamu. Dulu juga Kiano lebih sering tidur bersama kedua orang tuaku atau denganku, jadi memang kamar itu bisa dibilang hanya menyimpan barang-barang Kiano saja. Kemudian ada juga teras yang dulu suka digunakan papa untuk bekerja sambil memandang ke arah luar. Setelah itu ... tidak ada lagi. Ruangannya terlihat agak kosong, ruangan di lantai dua mama gunakan sebagai gudang dadakan. Beliau menyusun rapi barang-barang kami di sana, katanya biar tidak kelihatan kosong. Kebiasaan yang akhirnya aku ikuti.
Tapi berhubung aku tidak serajin mama, lantai dua jadi agak berdebu karena jarang aku hampiri. Anehnya, hari ini, lantai dua terlihat lebih ... bersih dan rapi? Mungkin aku saja yang lupa kalau aku baru saja membersihkannya.
Setelah tour singkat tersebut, si Mbah langsung geleng-geleng kepala. "Di setiap sudut rumahmu itu ada penghuninya." Tuh kan! Itulah kenapa aku tidak mau melakukan hal-hal aneh seperti ini, pasti akan ada saja fakta baru yang sebenarnya lebih baik untuk tidak aku ketahui.
Aku menghembuskan napas tidak rela ketika si Mbah mulai meminta aneh-aneh. Air lah, bawang lah, apalah itu yang mau tidak mau aku turuti. Untung semuanya ada di dapur.
"Ini, Mbah." Aku memberikan semua request si Mbah dengan nampan. Tadinya mau aku campur saja sekalian karena aku pikir nanti semuanya juga bakal dicampur, tapi karena takut salah, jadi aku berikan satuan saja.
Setelahnya ... ya gitu. Aku dan Tsania sama-sama menempel di sisi Kayla sementara si Mbah terlihat sibuk dengan urusannya sendiri. Dia membaca mantra-mantra—atau doa-doa?—kemudian menyiprat-nyipratkan air tersebut ke sisi rumahku. Kamarku, kamar mandiku, semuanya pokoknya diciprat. Tiba-tiba aku langsung merasa takut kalau si hantu akan benar-benar pergi.
Badanku sudah jadi jauh lebih segar setelah 'mengenal' si hantu. Aku jadi jarang begadang karena si hantu banyak membantuku menyelesaikan pesanan di online shop-ku. Belum lagi pesan-pesannya yang berfaedah hingga aku merasa seperti ada seseorang yang mengurusku.
Aku beneran gak rela, nih.
Mana si Mbah itu lama banget lagi di kamar mandiku—iya, kita ngikutin pergerakan si Mbah terus—itu kan markasnya si hantu! Air yang dicipratkan si Mbah di kamar mandiku juga sepertinya lebih banyak dari tempat-tempat lainnya, membuat kepanikanku semakin memuncak saja.
Aku dan Tsania saling berpandangan dari balik punggung Kayla. Kami merasakan sesuatu yang aneh, tapi sepertinya kami berdua sama-sama tidak bisa mendeskripsikannya.
Si Mbah keluar dari kamar mandiku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Secara tiba-tiba, dia membuka lemari pakaianku. Isinya bukan pakaian milikku sebenarnya, itu adalah pakaian rajut hasil desainku yang aku simpan dengan ukuranku. Untuk foto-foto produk tentu saja. Tepat di bagian bawahnya, ada sebuah boneka teddy bear berwarna biru tua yang sudah lama aku simpan di sana.
"Oalah, ngumpet di sini kamu toh?" Aku meneguk ludahku dalam-dalam saat melihat si Mbah bicara dengan boneka tersebut.
Jangan. Jangan suruh aku untuk membuang atau membakar boneka tersebut. Boneka beruang itu sudah menemaniku sejak aku masih berusia delapan tahun, diberikan oleh cinta pertamaku—cinta monyetku lebih tepatnya, hehe.
Dari dulu aku sudah sangat menyayangi boneka tersebut, boneka itu kadang aku peluk jika aku sedang mengalami hari yang buruk. Walaupun lebih sering aku simpan begitu saja di dalam lemari pakaian rajutku. Entahlah, aku hanya—
"HAHAHAHAHAHAHA." Aku dan Tsania secara kompak menoleh ke arah Kayla yang tiba-tiba tertawa. Dengan gerakan yang teratur, kami sama-sama mundur dan menatap satu sama lain dengan tatapan khawatir.
Kayla kembali tertawa, bukan suara tawanya tentu saja. Aku dan Tsania saling mendekatkan diri dan berpegangan tangan, sementara si Mbah langsung menghampiri Kayla dan memegang bahu gadis itu.
Seperti yang sudah bisa ditebak, dia keserupan.
***
hari ini double up, ya! tapi yg satu lagi nanti malem, hehe. makasih udh bacaaa~
18.19 // 8 November 2021
![](https://img.wattpad.com/cover/285227866-288-k119727.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Slip Stitch [COMPLETED]
Fiksi RemajaMimpi buruk Kiana dimulai ketika pesan bertuliskan darah itu muncul di kamar mandi pada suatu malam. Kejadian-kejadian mengerikan yang dia alami-entah pesan berdarah di kamar mandinya atau suara-suara di tengah malam-membuatnya bingung antara harus...