EPILOG

90 12 22
                                    

"Kamu inget ciri-ciri orang nusuk kamu?" tanya polisi itu dengan sebuah buku dan pulpen di tangannya.

Dia saudara kembarku. "Gak inget, aku lupa," jawabku sambil terduduk dan memainkan jariku dengan asal.

"Di rumah kamu ada barang yang hilang?" Aku menggeleng, kemudian meringis sedikit. Leherku masih terlalu sakit.

Polisi itu masih berusaha mengorek informasi dariku, namun hanya aku jawab begitu-begitu saja. 'Gak tahu', 'aku lupa', 'gak inget' Begitu terus hingga interview itu berakhir. Setelahnya, polisi itu sempat berbicara dengan Tante Dian di luar kamar rawatku hingga akhirnya pergi. Aku sama sekali gak dengar apa yang mereka bicarakan, dan aku juga tidak tertarik membawa kasus konyol ini ke meja hijau.

"Ki, lo bisa ngomong yang sejujurnya sama kita. Kita gak bakal ngetawain lo." Kali ini giliran Tsania yang berbicara.

Oh, ngomong-ngomong, thanks to Tsania yang sudah menyelamatkanku. Sesaat tadi, aku sempat berpikir kalau aku akan mati, rasanya seperti rohku ditarik paksa dari tubuhku kemudian kembali lagi dengan aman. Aku gak ingat apapun karena aku memang tidak sadarkan diri, tapi Tante Dian yang menginap semalaman untuk menemaniku sempat menceritakannya sedikit.

Aku kehilangan banyak darah, tapi untungnya tidak ada drama kekurangan kantung darah dari rumah sakit sehingga aku bisa dengan cepat diselamatkan. Tsania yang setelah mendapatkan telepon dariku langsung meminta untuk diantarkan ke rumahku oleh mamanya, juga bergerak cepat untuk membawaku ke rumah sakit dengan ambulans saat melihat kondisiku.

Singkatnya, aku memang hampir mati, tapi aku berhasil diselamatkan.

"Ki ... Kiano," bisikku pelan yang berhasil ditangkap oleh Tsania dan Kayla-Sofia tidak bisa datang karena sedang berada di luar kota.

Tsania terdiam sejenak tapi kemudian menjawabnya dengan tidak nyambung. "Oh, nanti Kiano dianterin ke sini agak siang-" Kalimatnya terputus saat Kayla menyenggol lengannya, dan dengan cepat Tsania langsung mengetahui maksudnya.

"Oh, sorry. Is it Sihan?" Aku menggeleng. Bukan. Kiano itu bukan Sihan. "So, he is not Sihan?" Kali ini aku mengangguk.

Keduanya terdiam kemudian saling memandang. Kasus ini tidak akan bisa dipolisikan, kan gak mungkin juga kalau saudara kembarku yang sudah lama meninggal itu dipenjarakan.

Tapi kalau tidak segera dilenyapkan, tetap ada kemungkinan dia akan terus melakukan percobaan pembunuhan kepadaku, 'kan?

***

Sepulangnya dari rumah sakit, aku memeluk boneka beruang biru kesayanganku itu sambil mengusap-usap kepalanya. Aku masih belum diperbolehkan untuk sekolah, padahal minggu ini sedang ujian akhir semester. Tante Dian memaksa kami untuk segera pindah ke rumah beliau sesaat setelah ujian akhir semester nanti selesai. Iya, jadi kami juga disuruh untuk pindah sekolah.

Saat ini, masih dengan memeluk boneka tersebut, aku yang sedang duduk di depan pintu rumahku, menimang-nimang. Apa aku harus membakarnya, atau ... memberikannya ke orang lain.

Wajah Kiano-saudara kembarku-masih terekam dengan jelas di otakku sedang memegang boneka ini. Jika mengingat ucapannya hari itu, aku juga merasa sakit hati. Tentu aku tahu dan sudah menerima fakta kalau aku merupakan anak di luar nikah, tapi tentu aku belum tahu soal fakta kalau mama pernah memiliki keinginan untuk melenyapkanku. Aku mengerti soal kemarahan Kiano karena aku sendiri merasa marah saat mengingatnya.

Bahkan pas mama udah meninggal sekalipun, dia masih sebegitu perhatiannya sama lo. Kalimat terakhir yang aku tangkap sebelum tak sadarkan diri itu kembali terngiang di otakku. Kiano mengatakan itu dengan nada cemburu bercampur kecewa yang akhirnya ikut kurasakan juga.

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang