Chain 16

37 9 0
                                    

Pada akhirnya, aku dan Atha berbicara berdua saja. Aku lupa mengatakan hal ini, tapi ini juga merupakan salah satu hal yang aku sukai dari Atha. Jika kami berdua sedang ada masalah, Atha biasanya akan jadi pihak pertama kali berinisiatif untuk menyelesaikannya. Walaupun sudah tidak terhitung berapa kali aku mengatakan kalimat perpisahan, tapi ujung-ujungnya aku luluh juga. Dia bahkan hanya butuh waktu dua hari untuk menghampiriku dan membuat semuanya menjadi jelas, sementara aku tidak pernah menempatkan dirinya sebagai salah satu prioritasku.

Pukul delapan malam, Kiano sudah tertidur. Mungkin dia juga kelelahan karena membantuku membereskan barang-barang kami di rumah sakit tadi siang sehingga dia yang biasanya tidur siang jadi terjaga hingga jam delapan malam tadi. Atha sendiri akhirnya makan malam bersama denganku di sini hingga Kiano tertidur lelap. Barulah setelah itu dia mengajakku berbicara. Selama makan malam tadi, memang meja makan hening sekali.

Kami bicara di dalam rumahku, tepatnya di meja makan setelah aku selesai mencuci piring-piring kami.

Ada hening selama beberapa saat karena aku tidak tahu harus bicara apa hingga akhirnya Atha duluan yang mulai buka suara. "Besok udah masuk sekolah?" tanyanya berbasa-basi.

Aku menggeleng. "Gak ada yang jagain Kiano," jawabku singkat. Sejak kedua orang tuaku meninggal memang jika Kiano sakit maka aku juga akan ikut tidak masuk sekolah, tapi tidak berlaku sebaliknya. Mungkin ini bolos terlamaku, ini juga kali pertama Kiano dirawat di rumah sakit setelah kami hanya tinggal berdua saja.

"Oh. Sampai kapan?" tanyanya lagi yang aku jawab dengan mengedikkan bahu, tanda bahwa aku juga tidak tahu. Atha menghembuskan napas dengan berat. "Kamu masih marah soal kemaren?"

Marah? Apa aku pantas jadi pihak yang marah? Sekalipun aku sendiri merasa kalau aku sama sekali tidak salah.

"Enggak. Maaf, ya, kalau aku sering minta putus dan belum bisa suka sama kamu kayak kamu suka sama aku." Aku akhirnya memutuskan untuk meminta maaf terlebih dahulu. "Tapi, jujur, kejadian yang dulu itu—"

"Aku di sini buat itu," potong Atha membuatku yang tadinya menunduk jadi menatapnya. "Maaf karena gak bisa jujur sama kamu soal itu lebih awal, tapi aku emang mau ngomongin soal itu sama kamu hari ini."

Aku memilih diam, menunggunya melanjutkan kalimatnya.

"Hari itu ... kamu inget kakak kelas kita yang dikeluarin dari sekolah tahun lalu itu?" Aku mengangguk. "Aku gak tahu apa kamu inget sama sosok yang aku pukul itu apa enggak, tapi orang itu kakak kelas yang dikeluarin tahun lalu itu."

Sebenarnya aku juga tidak terlalu ingat dengan sosok kakak kelas yang dikeluarkan dari sekolah itu. Seingatku, itu pernah jadi topik gosipku dengan teman-temanku saat itu. Karena penasaran, aku sempat memeriksa akun Instagram kakak kelasku tersebut dan menemukan beberapa foto yang memang tidak senonoh di sana. Alasan dia dikeluarkan-pun, seingatku karena ketahuan melakukan hubungan dengan teman sekelasnya di salah satu kamar mandi sekolah.

"Yang dikeluarin karena begituan di kamar mandi?" tanyaku berusaha memastikan asumsiku yang langsung diangguki oleh Atha.

"Iya. Yang itu," jawabnya singkat kemudian terdiam sebentar. "Waktu itu ...." Atha meneguk ludahnya sendiri dengan gugup membuatku menatapnya bingung.

Sedetik kemudian sebuah asumsi baru muncul diotakku. Aku ingin menyangkalnya, namun, ekspresi wajah Atha justru malah semakin memperkuat dugaanku tersebut.

"Atha ...."

"Sebentar, Ki. Ini bukan sesuatu yang gampang diceritain," ujarnya lagi yang membuatku semakin yakin dengan apa yang ada di pikiranku.

Kakak kelasku itu memang tidak memiliki reputasi yang baik. Bahkan kakak-kakak OSIS sering menggosipinya di depan kelas saat masa orientasi dulu. Tapi ... aku tidak pernah berpikir kalau dia akan bertindak sejauh itu, melakukan tindak kriminal.

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang