Chain 14

46 9 3
                                    

Atha itu tipe pacar yang sangat menganggu dan menyebalkan. Dia cemburuan dan posesif, bahkan ke hal kecil sekalipun, contohnya ya sekarang ini. Masa iya dia cemburu sama orang yang sedang koma? Konyol sekali? Selain itu dia suka bermain tanpa memberi kabar tapi jika aku terlambat membalas pesannya selama sepuluh menit saja dia sudah ngambek. Dia juga selalu ingin tahu soal kehidupanku tapi merahasiakan banyak hal dariku.

Kalau sisi baiknya, dia sebenarnya cukup perhatian. Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, dia mengirimiku makanan saat Kiano sakit—sebelum Kiano masuk rumah sakit—sekarang juga dia rajin menghubungiku untuk menanyai kabarku dan mampir ke rumah sakit. Walaupun dia lebih banyak diam bermain games di ponselnya, tapi dia di sana seolah berkata kalau dia akan selalu ada untukku. Dia memberiku perhatian dengan caranya sendiri.

Sayangnya, memang sisi buruknya masih belum bisa aku terima sepenuhnya.

" ... kayaknya kamu capek. Mendingan kita ngomong nanti aja gak, sih?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, enggan menjawab pertanyaan Atha.

Atha masih menatapku dalam diam. Lorong tempat kamar-kamar rawat inap sedang sepi, jadi tentu saja pertengkaran kami tidak menjadi pusat perhatian dari siapapun. Lagian juga kita berantemnya gak pakai teriak-teriak, kok.

"Kamu belum jawab pertanyaanku." Dia masih gak mau kalah.

"Tha!" sentakku kesal, tidak habis pikir.

Atha masih di sana. Dia tidak berjalan mendekatiku atau bahkan bergerak dari posisinya. Namun, jelas dia menunggu jawabanku.

"Aku pernah lihat kamu mukul cewek, kencang banget. Kamu pikir aku bisa percaya segampang itu sama cowok kayak kamu?" Seperti biasa, akhirnya aku menjadi pihak yang mengalah. "Udah puas? Bukannya aku gak ngehargain kamu, kamu cowok yang baik, setidaknya itu yang aku simpulin selama empat bulan pacaran. Tapi tetap aja, momen waktu kamu mukul cewek itu ... gak bisa hilang gitu aja dari otakku. Kamu gak tahu setakut apa aku waktu itu."

Tapi dia masih tetap diam di tempatnya.

"Jangan bilang kamu nerima aku jadi pacar karena takut aku pukul kalau kamu tolak?" Bukan. Bukan itu alasannya aku menerima Atha jadi pacar.

Aku menghembuskan napas lelah. "Kalau kamu capek dan gak terima, kita bisa putus aja," jawabku yang sedetik kemudian langsung aku sesali.

"Bukan itu jawaban yang aku mau. Tapi, keren juga kamu. Segampang itu ngomong putus. Selalu begitu. Setiap kita berantem, udah berapa kali kamu ngomong putus selama kita pacaran empat bulan?" Aku meneguk ludahku dengan susah payah, ingin meminta maaf dan mengoreksi kalimatku. Tapi tidak ada satupun kalimat yang keluar dari bibirku.

Atha berjalan mendekat, dan kali ini aku yang terdiam di tempatku. "Aku balik dulu. Nanti malem aku telepon," ujarnya dingin kemudian berlalu melewatiku begitu saja. "Duluan, Kay, Tsan, Sof," lanjutnya lagi yang sukses membuatku menoleh dan mendapati ketiga temanku lainnya di sana.

Aku kembali menghembuskan napas lelah. Pertengkaran yang bahkan tidak sampai sepuluh menit itu ternyata cukup menguras energiku.

***

UDAH DIBILANGIN, PUTUS AJA!

Kenapa, ya, aku tidak mau putus dari Atha? Padahal, kalau ditanya apa aku menyukainya atau tidak, jawabannya tidak. Bukan ke tahap yang membenci, hanya ... aku tidak memiliki perasaan untukknya. Itu saja.

Pertama kali aku ditembak oleh cowok itu, ya, sama Atha. Karena tidak tahu bagaimana cara menolak cowok, jadi aku terima saja. Jujur, aku tidak menyesali keputusanku. Masalahnya hanya aku yang masih belum bisa memiliki perasaan untuknya, apalagi kalau aku ingat pernah melihat dia memukul cewek dengan keras.

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang