Kiano masih demam hingga beberapa hari kemudian sampai akhirnya dia harus dirawat di rumah sakit. Selama itu juga aku tidak masuk sekolah, beruntung sebagian besar guru di sekolahku mengerti kalau aku memang sendirian mengurus Kiano. Ketiga temanku yang lainnya—Kayla, Tsania, dan Sofia—juga banyak membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolah agar nilaiku tidak tertinggal. Seringkali mereka mengirimkan sebuah foto buku tulis dengan soal dan jawaban dan menyuruhku menyalin jawaban mereka.
Atha sendiri beberapa kali menghubungiku untuk menanyai kabarku serta Kiano dan mengirimkan kami makanan. Pernah sekali dia salah menekan opsi pembayaran menjadi COD, tapi tidak lama kemudian Atha menghubungiku untuk minta maaf serta meminta nomor rekeningku yang tentu saja tidak aku berikan. Kalau sedang begini, baru deh aku merasa kalau aku ini punya pacar.
Saat diinfus, Kiano sama sekali tidak rewel, hanya meringis sesekali. Justru aku yang merasa kesakitan sendiri melihat tangannya yang sedang diinfus.
"Sakit apa?" tanya Tante Rania. Yap, Kiano dirawat di rumah sakit yang sama dengan Kak Darel, hehe.
"Katanya, sih, tifus, Tan," jawabku. Sekarang ini, kami sedang duduk berdua di bagian belakang rumah sakit. Kiano sudah tidur sejak tadi dan tidurnya pulas sekali, jadi aku memutuskan untuk keluar sebentar dan membeli beberapa cemilan serta keperluan untuk kami. Di perjalanan pulang dari minimarketlah aku bertemu dengan Tante Rania.
"Cuacanya emang lagi gak bagus, sih, ya. Kamu juga jaga kesehatan, ya? Kasihan kalau kamu ikut-ikutan masuk rumah sakit," ujar Tante Rania lagi. "Terus selama Kiano sakit kamu gak sekolah, dong?"
Aku menggeleng. "Enggak dulu, Tan. Gak ada yang jagain Kiano. Tapi sekolah ngerti, kok. Aku juga selalu ngerjain tugas-tugas yang dikasih, paling nanti harus ikut ujian susulan, soalnya kemaren ada UH," jelasku.
"Online shop kamu gimana?"
"Kemaren-kemaren sih aku bayar tukang ojek deket rumah buat ngurusin pengirimannya. Kalau sekarang gak tahu, deh. Mungkin nanti mau minta tolong sama tukang ojek di sekitar sini," balasku lagi. "Oh iya, Tan, aku boleh jenguk Kak Darel gak? Mumpung Kiano lagi tidur, tapi aku mau taruh belanjaanku dulu."
Tante Rania mengangguk, dan yang terjadi setelahnya tentu aku duduk di kamar rawat VVIP milik Kak Darel. Cowok itu sedang terbaring tidak sadarkan diri dengan berbagai alat-alat yang tidak aku mengerti mengitarinya. Tapi tentu aku tahu kalau keadaan Kak Darel pasti sudah sangat parah.
Perasaan khawatir dan tegang secara tiba-tiba menyelimutiku. Ada sebuah perban di kepala Kak Darel yang tentu bisa ditebak sebagai luka hasil kecelakaan. Ini adalah kali pertamaku bertemu dengan Kak Darel lagi setelah berpisah selama tujuh tahun, tapi bukan pertemuan seperti ini yang aku inginkan. Tidak banyak yang berubah dari wajah Kak Darel yang terakhir kali aku ingat, hanya terlihat lebih dewasa dan matang.
Seperti yang pernah aku bilang sebelumnya, Kak Darel juga bisa merajut, katanya neneknya Kak Darel yang mengajarinya. Gak cuman Kak Darel yang bisa, kedua kakaknya Kak Darel juga bisa merajut, cuman memang jarang aja ada cowok yang bisa merajut, 'kan? Selain mama, Kak Darel juga salah satu orang yang pernah mengajariku ini-itu soal merajut.
Aku pernah berkhayal, kalau suatu hari aku bertemu Kak Darel lagi, aku ingin pamer. Pamer bagaimana kemampuan merajutku sudah jauuuh lebih baik dari saat terakhir kali kami bertemu. Aku juga ingin pamer kalau aku memiliki small business crochet yang sudah memiliki banyak pelanggan hingga membuatku terkadang kewalahan.
Kalau Kak Darel bahkan tidak bisa membuka matanya, bagaimana caranya aku bisa pamer?
"Udah sebulanan dia gak sadar, kondisinya juga gitu-gitu aja," cerita Tante Rania yang duduk di sebelahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slip Stitch [COMPLETED]
Teen FictionMimpi buruk Kiana dimulai ketika pesan bertuliskan darah itu muncul di kamar mandi pada suatu malam. Kejadian-kejadian mengerikan yang dia alami-entah pesan berdarah di kamar mandinya atau suara-suara di tengah malam-membuatnya bingung antara harus...