Chain 24

40 9 2
                                    

Aku benar-benar tidak becus mengurus diri sendiri. Mama mungkin masih berada di sini karena aku masih merasakan keberadaannya, tapi beliau sama sekali tidak mengirimkan pesan apapun. Apa hari-hariku jadi lebih tenang? Tidak juga. Aku masih bisa melihat makhluk-makhluk gaib itu. Gak tahu apa karena mama masih di sini atau memang sudah tidak bisa dihilangkan lagi, tapi mama sempat meninggalkan pesan yang juga jadi pesan terakhir selama beberapa hari ini, bunyinya ....

PERGI PUN, KEMAMPUAN KAMU GAK BAKAL HILANG

Pada akhirnya, aku menyerah. Sempat terpikir olehku untuk memakai jasa pembantu, tapi langsung kuurungkan niatku. Dulu, mama sempat mempekerjakan pembantu di rumah kami dan tidak ada yang berakhir baik. Yang paling aku ingat adalah saat ada seorang pembantu yang mama titipi Kiano saat mama ingin pergi. Aku juga di rumah saat itu, dan aku ingat saat itu, Kiano yang masih bayi dipukul beberapa kali karena terus menangis dan tidak mau tidur. Aku yang mengadukannya ke mama, dan tanpa basa-basi keesokan harinya wanita itu tidak lagi terlihat di rumahku.

Mungkin cepat atau lambat aku memang membutuhkan pembantu, tapi aku harus mencarinya dengan betul-betul teliti, aku tahu ada banyak juga orang yang bisa dipercaya di dunia ini. Selama dua tahun ditinggal mama dan papa, aku pikir aku sudah melakukannya dengan baik tanpa bantuan langsung dari orang lain. Tapi ternyata sejak kehadiran Sihan—atau mama—aku baru sadar kalau aku memang tidak pernah melakukannya dengan baik.

Aku menghembuskan napas lelah seraya menatap piring-piring yang baru selesai aku cuci. Sejak pagi, aku sudah sibuk membereskan rumah bersama Kiano karena tante Dian mau datang ke sini bersama suaminya.

Aku gak tahu berapa lama aku termenung sambil menatap piring serta gelas bersih tersebut hingga akhirnya terdengar pintu rumahku diketuk.

"Kiano, bukain dulu pintunya, ya?" Aku berujar dengan agak keras sambil melepaskan sarung tangan untuk mencuci piring barusan dan mulai merapikan rambutku.

"Pintunya udah kebuka tuh, Kak?" jawab Kiano agak bingung ketika aku menyusulnya. Kami selalu mengunci pintu rumah setiap saat, wajar kalau dia bingung.

Tante Dian sendiri hanya tersenyum menanggapinya. "Masa sih? Kalau bukan kamu, masa hantu yang bukain?" gurau Tante Dian yang dalam hanti justru aku tanggapi serius. Jangan-jangan malah Kiano satu lagi yang membukakan pintu.

"Oh iya, mungkin aku aja yang lupa kunci pintu, Tan. Tadi aku abis pergi ke warung sebentar," jawabku berbohong karena tidak mau memperpanjang obrolan soal ini. Kiano kalau ditanggapi pasti bakal terus bertanya sampai rasa penasarannya hilang.

"Oh, hati-hati, ya, Kiana. Pintu jangan dibuka terus-terusan, takutnya nanti ada orang jahat yang masuk." Lho, justru orang jahatnya ada di dalam sini, Tan, aku memjawabnya dalam hati. Tante Dian kemudian mengangkat tangannya sedikit untuk memperlihatkan beberapa tas yang beliau bawa. "Tante bawain ini buat kalian, tante taruh mana, ya?" Dengan cepat aku langsung menerima barang-barang tersebut dan meletakkannya di depan meja televisi, dibantu oleh Kiano juga. Setelah selesai, barulah aku mempersilakan beliau dengan suaminya duduk di ruang makan karena ini memang sudah masuk jam makan siang.

Persis seperti yang diajarkan oleh kedua orang tuaku, kami tidak bicara sama sekali saat sedang makan. Sepertinya ini kebiasaan turun temurun dari keluarga papa, soalnya keluarga mama jauh lebih santai soal hal-hal seperti ini. Setelah selesai makan, Tante Dian memaksa untuk membantuku cuci piring, beliau juga secara terus terang memintaku ikut bersamanya karena ingin membicarakan sesuatu.

"Toko kamu tutup, ya? Kayaknya waktu Kiano di rumah sakit masih buka, sekarang kenapa tutup?" tanya Tante Dian diiringi dengan suara air mengalir saat beliau sedang mencuci piring.

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang