Chain 19

34 9 6
                                    

Dugaan Kayla soal psikopat tentu bisa aku bantah keras-keras dengan banyak bukti. Live Instagramnya yang secara jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu tak kasat mata mencoret-coret kaca kamar mandiku, rajutanku yang bisa dikerjakan secara gaib, serta kemampuanku melihat hal-hal gaib yang jelas terjadi setelah pesan tersebut muncul.

Atau lebih tepatnya ketika mbah-mbah sok pintar itu datang.

"Kalau lo bisa jelasin soal live Instagram lo yang waktu itu, baru deh gue percaya kalau itu bukan hantu," jawabku lagi. "For your information, gue pernah megang dan nyium tulisan itu dan gue yakin banget kalau itu darah beneran."

"LOHHH, JUSTRU MAKIN SEREM DONG??!" Kayla kembali memekik dengan suara yang berusaha dikecilkan. "Bisa aja itu darah korbannya, dan lo jadi target selanjutnya! Soal live yang waktu itu ... gak tahu juga sih. Bisa aja dia nulis-nulisnya dari jarak jauh? Jadi kayak disemprot atau gimana gitu kek!"

Penjelasannya memang terdengar sangat tidak masuk akal untukku, tapi di sisi lain aku tahu kalau dia benar-benar serius dengan teorinya dan mengkhawatirkanku juga. Kayla sempat menawariku untuk menginap di rumahnya saja untuk menghindari si pembunuh yang tentu saja aku tolak.

Tapi ... tetap saja teorinya bikin aku langsung ovethinking.

Malamnya, sekitar jam sepuluhan, ketika aku sedang membereskan buku-buku untuk dibawa ke sekolah besok, ponselku berbunyi dan menampilkan nama Atha di sana. Ah, aku baru ingat kalau aku tadi berjanji untuk meneleponnya.

"Halo?" Aku menjawab panggilan dari Atha dengan mengapit ponselku di antara telinga dan bahu karena aku masih belum selesai membereskan tasku.

"Halo, Kiana? Sekarang kamu udah gak apa-apa? Masih gak enak badan?" Setelah selesai dengan tasku, aku langsung menaikkan kepalaku dan memegang ponselnya dengan tangan.

"Gak apa-apa. Tadi udah ngobrol-ngobrol sama yang lain jadi enakkan," jawabku santai.

Tentu aku tahu maksud pertanyaan Atha. Dia ingin tahu lebih lanjut soal kondisiku. Kenapa aku bisa pingsan sampai berjam-jam di sekolah barusan dan kenapa aku menangis saat di perjalanan pulang tadi.

"Aku mau tahu masalah kamu, boleh?" Benar-benar to the point.

Aku menghembuskan napas kemudian duduk di atas kasurku sambil memegang boneka beruang biruku yang entah sejak kapan jadi sering dekat-dekat denganku ini. Atha tidak bicara apapun ketika aku masih diam untuk berpikir apa aku harus menceritakannya atau tidak.

Iya, aku memang berjanji untuk memperbaiki sikapku ke Atha serta hubungan kami ke depannya. Tapi tetap saja ....

Gak! Gak boleh begitu, Kiana! Apa gunanya punya pacar kalau tidak bisa jadi tempatku untuk bersandar? Ini tuh hal pertama yang memang harus aku lakukan kalau ingin memperbaiki hubungan dengan Atha, jadi lebih terbuka dan percaya dengan dirinya.

"Kamu inget gak soal tulisan berdarah di kaca yang pernah kamu lihat di Instagramnya Kayla itu?" Atha hanya menjawabnya dengan 'mm-hm' tapi aku bisa membayangkan dirinya yang sedang mengangguk.

Setelah itu barulah aku mengeluarkan segala cerita setelah kejadian hari itu. Tentang Kayla yang berusaha membantu untuk menghilangkan teror namun berakhir dengan datangnya teror yang lebih banyak. Mungkin berlebihan jika dibilang teror karena selain si hantu cewek di kamar mandi rumah sakit waktu itu, tidak ada lagi yang berbuat sejahat itu kepadaku. Mereka hanya diam saja tapi tentu dengan visualisasi seramnya saja sudah cukup membuat aku merasa seperti sedang diteror.

"Waktu ulangan di ruang guru tadi, aku kayak lagi diawasin sama hantu lainnya lagi, Tha. Kayak guru gitu, pake kerudung, tapi matanya gak ada dan ngeluarin darah. Aku gak tahu aku pingsan gara-gara ketakutan sama hantu itu apa karena akhir-akhir ini jadi lemas gara-gara dikasih lihat begituan terus. Tapi, ya ... bisa dibilang, yang tadi siang itu puncaknya," tutupku panjang.

Aku berhasil menceritakannya ke orang lain selain ketiga temanku itu, tapi kenapa rasanya gak enak, ya? Seperti ... aku tidak seharusnya menceritakan itu ke Atha.

"I'm sorry to say this, Ki. Tapi ... apa kamu mau coba ke psikolog? Biar mental kamu gak kenapa-napa." Aku masih baik-baik saja dengan kalimat pertamanya, otakku masih berpikir, oh iya, benar juga.

Tapi tidak dengan kalimat lanjutannya. "Bisa aja kamu ada ... maaf ya, skizofrenia?" Apa dia baru saja mengatakan kalau aku ini sedang halu?

Ini tidak seperti aku menuliskan tulisan itu secara sengaja dengan darah entah dari mana, atau aku sengaja melukai diriku sendiri ketika jelas-jelas ada Kiano di dekatku saat di rumah sakit waktu itu. Itu semua nyata, Kayla, Tsania, dan Sofia bisa membuktikannya karena mereka juga melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri.

"Kamu bisa tanya ke Kayla, Tsania, atau Sofia kalau kamu nganggep aku halu," jawabku kesal dengan nada yang berusaha aku tahan.

"Bukannya begitu—Kiana, kamu marah, ya?" tanyanya yang tidak aku jawab sama sekali. "Oke, tulisan berdarah itu emang beneran bukan kamu karena itu disiarin secara langsung dan kelihatan kayak ditulisin sama sesuatu. Maksudku itu ... hantu-hantu yang kamu lihat selama ini. Bisa aja karena kamu stres selama ini jadi kepikiran yang enggak-enggak."

Aku memejamkan mataku dan membukanya untuk menenangkan diriku sendiri. "Kamu tahu gak kenapa Kiano sakit kemaren, dia lihat cewek— AAAAAAA." Aku menjatuhkan ponselku ke atas kasur dengan kaget setelah sebuah tangan terasa mengelus wajahnya sekilas.

Aku tidak mempedulikan Atha yang memanggil-manggilku dari seberang sana. Fokusku lebih ke mencari siapa pelaku yang memegang wajahku walaupun aku tahu itu bukanlah sesuatu yang ingin aku ketahui.

"Jangan cerita-cerita ...," bisik sebuah suara yang sukses membuatku merinding.

***

hampir ditinggal tidur lagi, dong:') wkwk

happy reading! aku gak tahu mau ngoceh apalagi di author notes krn udh ngantuk, pokoknya makasih byk udh baca sejauh ini dan semoga bertahan sampai tamat, ya! ini update terakhir di tahun 2021, see u next year😂😘💖

23.12 // 27 Desember 2021

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang