Chain 10

48 12 8
                                    

Aku mendapati suhu tubuh Kiano yang tinggi ketika terbangun di pagi hari untuk mematikan alarm. Saat itu aku buru-buru mengecek suhunya menggunakan termometer yang diletakkan di meja bawah televisi. 39° C. Pantas saja tidurnya terlihat gelisah seperti itu.

"Kiano?" Aku menepuk-nepuk bahunya sambil mengguncang tubuhnya perlahan hingga Kiano membuka matanya. "Kamu demam. Sarapan dulu, ya? Abis itu minum obat."

Mata Kiano masih menyipit dan mengerjap beberapa kali, dia menggeliat lalu berkata, "Aku pusing, Kak ...."

"Iya, kamu demam, makanya pusing. Nanti mandinya di lap basah aja, ya? Kakak siapin sarapan dulu, oke?" ujarku dengan tangan yang sibuk membereskan kotak obat tadi.

Aku tentu mengerti bahwa apa yang Kiano alami semalam itu cukup membekas di otaknya. Aku saja yang diberikan tulisan berdarah seperti itu langsung ketakutan setengah mati, padahal Sihan tidak menunjukkan wujudnya juga. Apalagi Kiano yang diganggu oleh wanita jelek dan seram itu.

OH—ngomong-ngomong soal tulisan berdarah ... aku belum memeriksanya semalam!

Kiano sudah terduduk di tempat tidurnya, hendak mengikutiku untuk membuat sarapan tadinya, dan tentu saja sekalian mengikutiku kemana-pun aku pergi. Hanya saja ... aku jelas tidak mau menambah traumanya sekali lagi, tapi bagaimana caraku untuk mengatakan kepadanya untuk tetap diam sebentar di sini?

Aku memijat kepalaku yang langsung pening. Semalam aku kurang tidur karena Kiano terus bergerak dengan gelisah dan terbangun pagi karena alarm. Sementara aku sendiri tipe orang yang tidak bisa tertidur lagi kalau sudah bangun. Kalau begini ceritanya, gak cuman Kiano saja yang sakit, aku juga bisa ikutan sakit!

"Kiano duduk dulu di sini sebentar, ya? Kakak mau pipis dulu." Kiano langsung memasang ekspresi keberatan. Jelas sekali kalau dia masih tidak ingin berpisah denganku. "Bentaaaarr aja. Oke? Masa kakak mau pipis, kamu ikutan juga?" bujukku lagi yang akhirnya diangguki oleh Kiano. Untung dia anaknya cukup penurut.

Yah ... gak apa-apa. Gak ada apa-apa. Toh, kalau tulisannya sudah terlihat olehku Sihan akan langsung menghapusnya lagi, kok. Untung saja tulisannya tidak muncul di kaca yang ada di kamarku, bisa makin kacau saja keadaan kalau Kiano melihatnya.

Setelah memastikan kalau Kiano masih duduk anteng di tempatnya, aku segera masuk dan menutup pintu kamar mandi.

Dan ... yah, tidak ada apa-apa.

Aku mengernyitkan dahiku, bingung. Kalau diingat-ingat, tadi saat aku terbangun juga benang-benangku masih dalam posisi semula. Tidak ada bala bantuan dari Sihan untuk mengerjakan pekerjaanku. Iya, aku berharap dibantu oleh Sihan, aku gak bohong.

Walaupun bingung, aku akhirnya keluar dari kamar mandi dengan berbagai tanda tanya di otakku. Apa Sihan sudah pergi karena si Mbah yang waktu itu datang untuk mengusirnya dari rumah? Tapi kenapa baru dua minggu kemudian? Setelah si Mbah pulang, malamnya aku masih mendapatkan pesan dari Sihan yang mengatakan kalau telur di rumahku sudah habis. Malam-malam berikutnya-pun aku masih menerima pesannya.

Aku menghembuskan napas dengan berat. Hari ini aku hanya sarapan dengan roti dan selai cokelat, kemudian memberikan obat demam untuk Kiano. Tidak lama setelah itu, Kiano tertidur di kamarku sementara aku beberes rumah. Sebelummya, saat sedang sarapan tadi, aku sempat menghubungi Sofia untuk mengatakan kalau Kiano sakit dan aku tidak bisa masuk sekolah hari ini, aku juga menghubungi wali kelasnya Kiano untuk minta izin.

Di hari biasa, biasanya aku hanya beberes seadanya. Asal kamarku dan kamar Kiano beres, piring bersih, baju sudah dicuci, yaudah selesai. Tapi di hari Sabtu barulah aku membersihkan rumah dengan lebih niat, seperti mengepel dan sebagainya. Hari ini, karena tidak tahu mau ngapain—padahal pesanan crochet masih menumpuk—aku akhirnya beberes.

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang