"Kak, hari Sabtu minggu depan, aku boleh nginep di rumahnya Milan gak?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan Kiano. Rumah Milan itu cuman beberapa langkah saja dari rumah kami, dia menginap di sana juga pasti akan sering bolak-balik.
"Iya, boleh," jawabku agak lirih, namun tetap menarik bibir untuk tersenyum. Sepulangnya kami dari makam orang tua kami, entah kenapa aku jadi agak mellow. Kalau memgingat bagaimana kedua orang tuaku nyawanya direngut secara tiba-tiba di waktu yang tidak terduga membuatku sadar, kalau waktu itu memang tidak pasti. Siapa yang bisa menjamin kalau aku bahkan bisa menemani Kiano wisuda suatu hari nanti?
Memikirkannya membuatku merasa sedikit sedih. Maka hari ini aku memutuskan untuk tidur bersama di kamarnya Kiano. Selain karena ingin bersama-sama dengan Kiano, aku juga sedang ingin jauh-jauh dengan Sihan. Aku tidak sedang dalam perasaan yang baik untuk menerima pesan berdarah tersebut.
Sebelum kami benar-benar tertidur, Kiano sempat mengoceh banyak soal teman-temannya, hari yang dihabiskannya di sekolah, dan banyak lagi. Bibirku tertarik ke atas saat mendengarkannya. Aku pasti akan sangat merindukan suara antusias Kiano ketika menceritakan soal hari-harinya ini suatu hari nanti kalau kami berpisah.
Senyumku masih belum pudar bahkan ketika Kiano sudah memejamkan mata dan tertidur pulas di pelukanku. Wajahnya yang polos terlihat begitu tenang tanpa beban. Padahal aku tentu tahu beban yang dibawanya pasti sama beratnya juga dengan milikku. Kehilangan kedua orang tua di usia yang masih terlalu muda bukanlah hal yang mudah. Memiliki kakak yang tidak bisa mengurusnya dengan sempurna hingga akhirnya dia menjadi mandiri dengan sendirinya pasti lumayan sulit. Waktu masih seusianya, mana pernah aku kepikiran untuk melakukan ini-itu sendirian. Cuci piring, merapikan buku, menyiapkan seragam, mengerjakan PR, dan lain sebagainya. Ada mama dan papa yang siap membantuku.
Sekarang aku baru tersadar kalau waktuku dengan Kiano terasa begitu singkat. Aku harus mengerjakan tugas-tugasku sendiri juga, merajut dan mengurus toko online-ku, belum lagi mengurus rumah tanpa pembantu. Mungkin kalau sejak awal aku gak sok tahu merasa bisa mengurus rumah sendirian tanpa bantuan, aku pasti bisa menjadi kakak yang lebih baik untuk Kiano.
Aku menghembuskan napas panjang dan mulai memejamkan mataku. Perlahan, aku merasakan air mata yang turun dengan sendirinya.
***
Sepulang sekolah, aku mendapatkan kabar yang tidak terduga. Kak Darel akhirnya sadarkan diri! Saking senang dan excited-nya aku sampai memesan taksi online untuk bisa pergi ke rumah sakit ketika bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Tidak lupa, aku menghubungi mamanya Milan untuk meminta tolong menjaga Kiano karena aku pasti akan pulang terlambat.
Jantungku berdegup kencang ketika memikirkan hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Setelah enam tahun lebih akhirnya aku bisa juga bertemu dengan Kak Darel. Ada banyak sekali yang ingin aku bicarakan dengan Kak Darel sebagai sahabat yang jauh lebih dewasa dariku. Semangatku untuk hidup jadi tumbuh lagi ketika mendengar kabar ini.
"Eh, ya ampun Kiana, kenapa gak pulang dulu aja? Ganti baju dulu baru ke sini." Aku tersenyum lebar menanggapi kalimat Tante Rania. Wanita itu juga terlihat sama bahagianya denganku.
"Kak Darelnya masih ada di dalem, Tan?" Tante Rania tersenyum kemudian mengangguk.
Aku berjingkrang senang kemudian mulai membuka pintu kamar rawat Kak Darel. Senyumku agak memudar ketika mendapati seorang wanita cantik ada di samping Kak Darel. Sepertinya dia seumuran dengan Kak Darel, terlihat wanita itu hendak menyuapi Kak Darel tepat saat aku membuka pintu. Keduanya menoleh secara bersamaan dengan terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slip Stitch [COMPLETED]
Genç KurguMimpi buruk Kiana dimulai ketika pesan bertuliskan darah itu muncul di kamar mandi pada suatu malam. Kejadian-kejadian mengerikan yang dia alami-entah pesan berdarah di kamar mandinya atau suara-suara di tengah malam-membuatnya bingung antara harus...