Chain 26

49 11 11
                                        

Gak tahu kenapa, setelah pulang dari rumah sakit, aku jadi gelisah begini. Aku beberapa kali menggigiti kukuku sambil terus-terusan menarik napas dan menghembuskannya. Seperti ada perasaan tertahan di dalam hatiku yang tidak bisa aku keluarkan. Sialnya, hal ini terus berlanjut selama beberapa hari ke depan. Kapanpun aku berusaha untuk memulai kesibukanku untuk belajar ataupun merajut, pikiran soal Kak Darel akan secara tiba-tiba muncul dan kembali memunculkan perasaan tidak enak itu.

"Guys, hari ini jalan, yuk? Sekalian beli bahan buat kerja kelompok," ajak Kayla di jam pelajaran terakhir secara tiba-tiba. Iya, tiba-tiba banget, ini sudah sekitar lima belas menit sebelum bel pulang sekolah akan berbunyi.

"Ke mana?" tanya Sofia kemudian.

"Ke mall, hehe," jawabnya sambil nyengir. "Eh, denger dulu, anjir! Ini tuh bukan buat sekedar beli bahan buat kerja kelompok—sekalian juga, sih, karena kalau di mall pasti lebih lengkap—tapi sekalian healing buat Kiana dan Tsania," lanjut Kayla lagi panjang.

Ah, bukan ide yang buruk. Akhir-akhir ini keinginanku untuk hidup sudah hampir tidak ada, mungkin dengan sedikit healing akan membantuku.

"Dih. Emangnya gue kenapa?" Tsania berujar bingung, tapi nadanya terdengar agak tidak terima. Fyi aja nih, jam pelajaran terakhir ini sedang tidak ada guru dan kami juga sedang tidak diberi tugas oleh guru yang bersangkutan. Makanya kami bisa bebas ngobrol kayak begini.

Kayla memasang wajah berpura-pura prihatin kemudian menepuk-nepuk bahunya Tsania. "Itu, lho ... si onoh gebetannya Tsania udah punya ceweeekk," cerita Kayla yang langsung dibalas Tsania dengan decakan kesal. Sengaja bilangnya 'si onoh' semacam disensor gitu, lho.

Aku tertawa kecil menanggapinya, tidak berminat untuk menjawabnya.

"Halah, gue mah kagak ada hard feeling soal itu. Cuman gebetan ini, tinggal nyari lagi," bantah Tsania kemudian gak mau kalah. "Lo kali butuh bahan buat YouTube, gue tahu lo mau sekalian ngevlog, 'kan?"

"Iya. Sekalian gituuu. Beli bahan buat kerja kelompok, healing buat lo sama Kiana yang cowoknya udah dapet cewek baru, sekalian bikin konten!" Ngomong-ngomong, iya, Atha sudah punya pacar baru.

Aku cuman dengar-dengar aja, sih, gak pernah dapat konfirmasi langsung dari Atha atau orang terdekatnya, tapi yang aku tahu dia memang sedang dekat dengan seorang perempuan. Baguslah, aku ikut senang kalau dia memang bisa menemukan perempuan yang lebih baik. Gak peduli juga dengan kenyataan kalau kita baru putus seminggu yang lalu.

Terus akhirnya gimana? Seperti yang pernah aku bilang sebelumnya, siapa sih yang bisa bantah permintaan Kayla? Dia selalu punya seribu satu cara untuk membuat orang lain menurutinya. Jadi, ya ... tentu akhirnya kami pergi ke sebuah mall kecil yang jaraknya lumayan dekat dari sekolah. Hanya naik angkot satu kali—ini agak gak enak karena sedang jam pulang sekolah, jadi angkotnya rame banget—kemudian sampai, deh.

Sofia mengusulkan untuk makan siang terlebih dahulu sebelum explore lebih lanjut lagi. Karena ini perjalanan yang dadakan, kami memilih untuk makan di tempat makan kaki lima yang menjual kwetiau dekat dengan mall tersebut. Kan kalau makan di dalam mall agak menguras dompet tuh.

Sambil menunggu makanan kami selesai disiapkan, tentu kami banyak berbincang ini-itu soal rencana kami. Hingga saat makanan kami sampai, aku mulai mengeluarkan suara.

"Kayaknya gue mau tutup toko gue, deh," ujarku tiba-tiba tanpa menatap ketiganya. Walaupun begitu, aku tahu mereka langsung menatapku kaget bercampur bingung.

Sofia yang selalu membantuku menghandle akunku kemudian meletakkan kembali sendok serta garpunya dan menatapku penuh tanda tanya. "Kenapa? Padahal udah banyak yang nanyain, lho."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena salah tingkah. "I don't know, gue kayak ... ngerasa gue gak bisa bagi waktu gue dengan baik kayak waktu bokap sama nyokap masih ada. Gue ... hmmm, mau belajar atur waktu dulu sebelum mulai lagi," jawabku sambil menyuapkan kwetiau yang sudah mulai hangat itu dan mengunyahnya perlahan-lahan.

"Itu doang alasannya, 'kan?" tanya Kayla yang aku jawab dengan anggukan kepala. "Ya, gak apa-apa, sih. Menurut gue sebenernya sayang aja lo ninggalin toko yang udah lo bangun selama dua tahun ini, apalagi followers-nya udah sebanyak itu. Realistis aja, pasti bakal susah kalau lo mau ngulang lagi dari nol—karena lo pasti tahu persis sesusah apa ngumpulinnya, tapi balik lagi. Terserah lo, apalagi dikit lagi kita mau naik kelas dua belas kan."

Aku tersenyum kemudian mengangguk. "M-hm, gue mau ngambil les buat kuliah nanti pas udah kelas dua belas. Sekalian cari cara bagi waktu buat nanti kuliah sambil buka toko," jawabku, menjelaskan rencana yang ingin aku ikuti.

Rencana yang pasti akan berjalan seperti itu jika kedua orang tuaku masih hidup, tanpa harus mengorbankan apapun. Tentu aku hanya ingin hidup senormal teman-temanku yang lain.

***

Saat aku sampai di rumah sekitar jam tujuh malam, sudah ada Kiano, Milan, serta Tante Gina di sana. Aku hampir berpikir kalau aku salah masuk rumah kalau saja aku tidak melihat boneka beruang biru itu duduk manis di atas televisi.

Sebentar, bukannya boneka itu sudah aku buang, ya?

"TV di rumah tante lagi rusak, Ki. Maaf ya kalau gak izin dulu sama kamu, tapi tante gak berani biarin Milan sama Kiano berduaan aja di sini. Soalnya tadi kan kamu bilang mau pulang terlambat." Aku tersenyum saja mendengar kalimat Tante Gina. "Karena kamu sekarang udah pulang, tante mau balik dulu sebentar, ya? Tadi siang tante masak lumayan banyak, nanti tante bawa ke sini, kita makan bareng-bareng, ya?"

Aku tersenyum. "Iya, Tante. Makasih banyak, ya?" jawabku dengan mata yang melirik tidak suka ke arah si beruang biru di atas televisi. Aku pikir aku mulai agak gila ketika aku sadar bahwa kemungkinan kalau dia yang pulang sendiri setelah kubuang itu terdengar sangat masuk akal.

Setelah kepergian Tante Gina, aku berjalan mendekati boneka tersebut dan mengambilnya. "Ini kamu yang taruh di sini?" tanyaku pada Kiano yang masih fokus dengan permainannya.

"Iya, Kak. Kan biasanya ada di kamar kakak, kayaknya gak sengaja jatoh ke tempat sampah, jadi aku ambil aja." Oh. Akhirnya ada penjelasan yang jauh lebih masuk akal.

Btw, aku memang jarang merapikan sampah di rumah. Iya, ini jorok banget emang. Tapi kalau gak terlalu numpuk, biasanya aku biarkan saja. Walaupun seingatku aku sudah membereskan tempat sampah kemarin dan sekarang penjelasan soal si beruang biru yang berjalan sendiri ke rumah kembali muncul.

"Ini emang mau dibuang," jawabku yang langsung membuat kedua bocah ini secara kompak menatapku. "Bonekanya emang mau dibuang, jadi gak usah diambil lagi harusnya," lanjutku sambil tersenyum.

Sekarang aku yakin 10000% yang ada di dalam boneka ini bukan mama. Melainkan Kiano. Satu fakta lagi, tanpa kuketahui alasannya, dia membenciku.

***

chapter 27 nya ntar malem, yaa! tadinya mau up siang, tapi kelupaan :')

terus aku mau cerita, beberapa hari yg lalu aku nulis ulang epilognya dgn beberapa pertimbangan, jadi bisa dibilang cerita ini punya dua opsi ending yg bertolak belakang👀 bcs the actual ending is in the epilog, xixi

pokoknya wajib tungguin😡😡💖

see you ntar malem kalau gak ketiduran, wkwkwk. gak deng, paling jam delapan atau sembilanan up lagi🙏

19.31 // 24 Januari 2022

Slip Stitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang