25. Potong Gaji

1.6K 195 6
                                    

Orang yang kamu anggap berubah jadi baik/ buruk itu sebenarnya tidak berubah, yang berubah itu kesadaranmu karena kamu baru tahu aslinya.
_Mario Teguh

.
.
.

Setelah pintu utama nan menjulang dari mansion yang berwarna gading itu tertutup, gue terhuyung. Untungnya, salah satu pilar mansion itu berhasil gue raih sehingga tubuh ini gak nyungsep. Gue gak rela kalau dandanan gue yang kata Siska udah feminim ini harus nyungsep tanpa harga diri.

Gila. Dua hari ini benar-benar gila. Gue masih bisa bernafas adalah anugerah. Haruskah gue bangga? Setelah kemarin ada paket sialan yang dateng ke apartmen terus hari ini gue dapet uang jajan tambahan yang luar biasa mengejutkan jantung.

Gue merogoh tas kerja Lian untuk mengambil ponsel. Ya, untuk pekerjaan barusan, Lian meminjamkan tas kerjanya untuk gue bawa. Lucu aja kalau gue dateng ke mansion cuma bawa tote bag kemudian ngaku jadi dokter. Ntar gue dikira sales lagi.

Angka satu pada dial number gue tekan yang kemudian terhubung ke kontak yang gue beri nama RSJ.

"Hallo Van. Gue pusing."
"Minum aspirin."
"Gue ada di jl.Sudirman no.7. Tolong jemput gue!"
"Sialan. Itu jauh ndoroooo."

Sebelum banyak umpatan yang keluar, gue memutuskan buat mematikan sambungan telfon. Terserah kalau Evan mau marah-marah nanti. Sekarang bukan hanya Evan yang ingin mengumpat, gue bahkan punya keinginan yang lebih dari pada dia sejak tadi.

Bersyukur, ternyata kaki gue gak mati rasa sehingga walau tertatih gue masih bisa jalan sampai luar pagar.

"Sis, hari ini gue ada jadwal operasi gak?"
"Gak ada Mbak, cuma visit."
"Tolong minta koas buat gantiin visit sambil Lo awasi. Minta mereka buat naruh hasil visit di meja gue."
"Baik Mbak."

Gue nelfon Siska setelah punggung ini bersandar nyaman di kursi penumpang samping Evan mengemudi. Evan sampai di alamat yang gue berikan lebih dari setengah jam. Waktu yang lama mengingat tujuannya yang jauh dan tidak lewat tol.

Evan tidak lagi bersuara setelah menjelaskan alasan kenapa dia sampai agak molor dari perkiraan. Tidak ada percakapan setelahnya. Gue memilih diam, bersandar dan mengamati jalanan yang ramai meski tidak padat.

Ini tidak benar dan ini terbalik tapi Evan tetep diam. Gue tetep jalan lebih cepat dari Evan padahal tujuannya adalah ruangan Evan, tapi dia ngintilin gue seakan dia yang jadi pasiennya.

Beberapa perawat menyorot dengan tatapan lapar. Gue udah kayak ikan asin jalan di tengah-tengah kucing. Nyawa gue serasa terancam. Bagaimana tidak, gue tahu betul kalau Evan jadi salah satu dokter pujaan di dept.kejiwaan. Pembawaan yang ramah, tutur kata halus dan penuh perhatian jika diajak ngobrol adalah sebagian nilai plus plus yang dia miliki.

Asal mereka tahu, Evan pandai bergaul karena dia pandai mengorek informasi tanpa lawan tahu. Secara, dia spesialis kejiwaan yang melahap banyak buku dan pengalaman tentang psikologi manusia. Cuma masalah ngorek mengorek sih, kecil.

"Ini yang jadi dokternya siapa sih?"

Ucap gue sambil nylonong masuk setelah menekan sandi pada smart door ruangan Evan. Pasien macam apa gue? Gak sopan banget, nylonong dan tahu sandi ruangan pula.

"Udah gak penting."

Jawab Evan yang ikut masuk.

Tidak seperti biasanya. Siang ini gue sama sekali gak tertarik buat rebahan di sofa empuk Evan atau kursi relaxsasi yang ada di samping sofa. Gue berjalan ke salah satu sisi yang tergantung foto Eva bersama keluarganya. Lama gue pantengin itu foto.

Spesialis ObgynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang