27. Ikan Asin

1.5K 183 9
                                    

Gak ada quote nya.

.
.
.

"Pak..."
"Ya?"

Pak Pandu noleh ke gue lagi padahal dia udah pegang gagang pintu dan siap masuk.

"Saya kebelet pipis."

Dahlah, pakai jalan ninja aja. Image bagus gue emang udah kekubur bareng ari-ari. Bilang aje Lo gak punya malu, Ry. Emang.

Pak Pandu tertawa saat mendengar kalimat gue sebelum mempersilakan masuk.

"Selamat Pagi Pak Pandu!"

Terdengar elegan suara seorang pria yang menyapa begitu gue memasuki ruangan Pak Pandu. Dia tidak sendiri, ada sekretarisnya dan juga seorang pria yang sedikit membungkuk pada Pak Pandu. Mungkin itu sekretaris Pak Pandu.

"Ah, rupanya ada rekan Pak Pandu juga. Perkenalkan, saya Jimmy Sofyan."

Perawakannya sepadan dengan Pak Pandu, tinggi-tegap. Berkulit putih dan satu lagi, dia punya gigi ginsul yang membuatnya terlihat lebih manis saat tersenyum.

Jimmy Sofyan dengan penampilan rapi. Stelan jasnya yang berwarna navy terlihat mahal tak lupa pantofel tali mengkilap yang menyilaukan mata. Sebuah jam tangan branded melingkari pergelangan tangan kirinya. Penampilannya tidak berlebihan tapi kalau mau ditaksir harga, penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki, kalkulator ponsel gue nge-hank kali.

Penampilan Jimmy Sofyan berbanding terbalik dengan penampilan Pandu Kartosuroso. Pak Pandu hanya memakai stelan scrub suits super simpel berkerah V.

Dia benar-benar Jimmy Sofyan, salah satu pemuda yang tersenyum elegan pada foto yang gue lihat di kamar Bu Shofia. Menjengkelkan. Melihat mereka hidup nyaman, benar-benar menjengkelkan.

"Toiletnya ada di sebelah sana dokter."

Pak Pandu menginterupsi seakan dia tidak ingin gue membalas perkenalan itu. Bagi gue itu menguntungkan. Tidak perlu tersenyum ramah, meski dibalik masker. Toh, misi gue udah tercapai, hal lain cuma figuran.

Setelah sedikit membungkuk untuk permisi, gue pura-pura ngibrit ke arah yang ditunjuk Pak Pandu tadi biar kelihatan kebelet betulan.

Ekspresi Jimmy terlihat dipaksakan saat tersenyum, mungkin dia merasa kalau Pandu Kartosuroso sedang meremehkannya. Namun layaknya salesman pada umumnya, dia pandai mengubah suasana menjadi terlihat santai.

Ternyata terlibat dengan keluarga konglomerat itu rumit.

***

Gue kebanyakan ngelamun atau kebanyakan yang dipikir sih? Tahu-tahu ini kaki udah ada di depan ruang bayi. Kenapa gue disini?

Pintu ruang bayi terbuka sedikit, ya udah sih gue tengok ke dalem. Kali aja pusing gue sedikit berkurang kalau lihat manusia yang belum punya dosa di dalem sana.

Eh gak tahunya cara gur ngelebarin pintu buat masuk nyaring banget sampai yang ada di dalem ruangan pada noleh. Ada Lian dan Bang Raka di dalem ruang bayi, lebih tepatnya di depan salah satu box bayi.

"Masuk aja Ry!"

Bang Raka mempersilakan gue buat masuk dan baru beberapa langkah, bayi yang ada di box itu nangis. Lah, apa salah gue?

Tebak, siapa yang sigap dengan situasi tak terduga ini, yes...Lian. Gue yang masih matung cuma menaikan satu alis karena heran. Hati-hati itu Lian gendong si bayi yang malah semakin lama nangisnya makin kenceng.

"Sini coba sama gue."

Bang Raka beraksi. Tadaaaa... saat itu bayi di tangan Bang Raka, langsung diem. Emang tangan dewa itu orang.

Spesialis ObgynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang