19

367 54 2
                                    

Kupu-kupu berterbangan di perut Nari saat jemari Joshua menelusup di antara jari tangannya. Tidak ada angin tidak ada hujan, pria itu tiba-tiba sudah ada di sisinya mengenakan seragam olahraga dari brand ternama, sedikit terengah karena berlari mengejar Nari yang sudah cukup jauh dari kawasan asrama.

"Kenapa tidak bilang kalau mau olahraga hari ini?" Joshua bertanya sambil memajukan badan, melimpahkan tatapan tajam--tapi jenaka--kepada Nari.

Nari tidak menjawab, ia tetap berlari kecil, menjaga ritme meski salah satu tangannya terayun dengan beban yang sedikit berat. Aksi diam itu membuat Joshua manyun, tapi pria itu tidak ingin mengganggu kegiatan Nari dan ikut berlari kecil di sisinya.

"Anak-anak sudah bangun?" Tanya Nari setelah menghirup napas panjang. Langkahnya memelan, ia kini berjalan dengan langkah besar menaiki jalanan yang menanjak.

"Belum semua... Mereka tepar karena semalam." Jawab Joshua terengah-engah.

Nari pun mengangguk. Kini ia merasa tidak begitu nyaman berolahraga karena jantungnya bekerja dua kali lipat lebih keras dari biasanya. Bahkan Nari takut kalau tiba-tiba jantungnya meledak karena degupan abnormal itu.

Berusaha tenang, Nari melebarkan pandangan, memperhatikan sisi jalanan setapak yang dipenuhi oleh tumbuhan merambat. Ia bahkan enggan melirik Joshua yang tangannya masih bertautan dengannya. Nari tahu, Joshua melakukannya secara impulsif karena pertanyaan semalam yang tidak dijawab Nari dengan jelas. Pertanyaan yang Nari pun tidak tahu apa jawabannya hingga sekarang.

"Kau ingat, tidak, sih? Waktu kita jogging di Sungai Han?" Tiba-tiba Joshua bertanya, memunculkan kenangan yang sudah lama dikubur Nari di otaknya.

"Waktu itu sunrise-nya cantik sekali." Lanjut Joshua karena Nari sama sekali tidak menjawab, daritadi gadis itu hanya sibuk bernapas, mengisi paru-paru dengan oksigen akibat perjalanan yang terjal.

"Aku juga ingat waktu kau men--"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku juga ingat waktu kau men--"

"Di atas katanya ada Klenteng. Kau mau lanjut naik bukit ini, Kak?" Nari bertanya, sengaja memotong pembicaraan Joshua yang arahnya merujuk pada kenangan yang akan membuat Nari malu luar biasa.

Tentu saja Nari ingat dengan kenangan itu. Saat ia dan Joshua jogging slash kencan di Sungai Han beberapa tahun silam. Keduanya berjanji jogging di pagi buta untuk melihat matahari terbit. Jogging yang menyenangkan dan menegangkan karena tepat saat matahari mulai terbit, Nari tiba-tiba berjinjit untuk mencium Joshua di bibir Sungai Han.

Kenangan yang kalau diingat kembali membuat Nari ingin mati. Memalukan.

"Kau mau ke Klenteng itu, tidak?" Tanya Joshua balik sambil menyeringai. Pria itu sadar kalau Nari mengingat kenangan yang ingin diceritakannya tadi.

"Mau."

"Ngapain?"

Mulut Nari terkunci meski kakinya tetap melangkah. Ia menggaruk leher, melirik Joshua yang tersenyum lebar di sisinya.

"Hanya ingin lihat?"

"Hanya ingin?"

Nari mengangguk. "Kalau kau tidak mau, ya sudah. Aku tetap akan melanjutkan perjalananku."

"Tidak. Aku cuma khawatir kau tidak sanggup ke atas. Klentengnya lumayan jauh dan jalanan makin terjal." Elak Joshua cepat, menahan senyum melihat sikap Nari yang masih terkesan dingin.

"Entahlah. Aku mau coba." Kata Nari membuaat Joshua sukses tersenyum lebar.

"Oke. Aku juga mau kalau begitu."

Lalu keduanya berjalan, sambil berpegangan tangan, melangkah di atas jalan yang berubah menjadi tanah terjal dengan bebatuan yang besar. Nari beberapa kali harus menghela napas, ia bertanya-tanya apakah ia salah memutuskan untuk ke Klenteng itu atau tidak. Tapi tiap ingin menyesal, Nari selalu melihat ke sekelilingnya. Pemandangan perumahan warga di Bongseong, jalan raya dan lautan tampak indah di mata. Udara juga jadi lebih segar meski ia terengah-engah karena harus berjalan di tanah yang menanjak curam.

"Hati-hati!" Joshua berseru, refleks menahan pinggang Nari sebelum gadis itu terpleset di sebuah bebatuan yang dipijakinya.

Napas Nari memburu, ia menutup kedua mata, meremas kaos yang digunakan Joshua dengan erat. Ia takut terjatuh dan hampir pasrah kalau misalnya hal itu benar terjadi. Sama halnya dengan Joshua yang beringsut memeluk Nari, pria itu takut tapi masih bisa bersikap tenang. Dengan cepat ia menarik Nari ke tanah yang lebih datar.

"It's okay... it's okay." Kata Joshua menenangkan, menepuk-nepuk punggung Nari pelan.

Tubuh Nari sendiri masih gemeteran, ia meringkuk di dalam pelukan Joshua, menyandarkan kepalanya di dada pria itu. Mencoba bernapas dengan tenang disaat jantungnya masih berdegup abnormal.

"Kau mau lanjut, tidak?" Joshua berbisik, melirik Nari yang sudah membuka mata.

Nari diam, ia masih belum bisa menjawab karena terlalu terkejut dengan kejadian yang bisa membawanya ke rumah sakit itu. Joshua sampai menggulum bibir, kali ini memeluk Nari lebih erat sambil menaruh dagu di atas kepala gadis itu.

"Kita pulang, ya?" Bisik Joshua selama beberapa saat. Nari yang sudah mulai tenang akhirnya menganggukkan kepala. Sudah cukup dengan kejadian tadi, Nari tidak mau memaksa diri atau kegiatan volunteernya akan gagal karena egonya yang ingin memperlihatkan sisi tidak mudah menyerah ke Joshua.

Masalahnya, sekarang Nari yakin lebih terlihat lemah di mata pria itu. Rencana sok kuatnya gagal total.

"Thanks." Ucap Nari dengan suara super kecil. Tapi karena Joshua masih memeluknya, suara Nari pun dapat didengarnya dengan jelas sampai senyumnya terkembang lebar. Ia mengeratkan pelukan meski Nari berniat melepaskan diri. Lama, sampai tersadar kalau bukan hanya jantungnya yang berdegup kencang, tapi juga milik Nari.

Start Again [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang