20

369 58 1
                                    

"Kelihatannya ada yang makin dekat, nih..." Goda Somin saat Nari masuk ke dalam kamar setelah mandi malam. Gadis itu menggerakkan alisnya, tersenyum penuh makna ke arah Nari yang menyibukkan diri di depan cermin untuk menggunakan skincare sebelum tidur.

"Dekat apanya?" Nari bertanya retoris dengan nada yang jutek.

Somin mendecakkan lidah. Ia tidak paham dengan Nari yang hobi mengelak. Padahal seharian ini ia selalu melihat Joshua dan Nari bersama. Mulai dari mojok ngobrol berduaan di teras asrama, memasak makan siang bersama sampai makan malam pun duduknya berduaan. Entah Nari ini buta atau tidak, tapi kedekatannya dengan Joshua sudah disadari oleh semua orang di Bongseong.

"Kau pikir mataku buta!?" Seru Somin menahan emosi.

Nari mengerucutkan bibir. Ia ingin bertanya sesuatu kepada Somin, tapi masih ragu.

"Kenapa? Mau nanya apa?" Tanya Somin sambil melongos duduk di atas kasur. Ia mendelik pada Nari yang meliriknya lewat kaca rias. Meski belum berteman lama, Somin setidaknya paham kalau Nari sedang banyak pikiran tentang perasaannya sendiri sekarang.

"Aku... bingung." Ujar Nari lirih.

"Bingung apalagi!? Kau ini bodoh atau super bodoh, sih?" Somin menghardiknya.

"Bodoh?"

Somin mendesis. "Kak Joshua ada ngomong apa sampai kau jadi bodoh begini?"

"Dia tidak ngomong apa-apa." Elak Nari sambil berbalik, kini menghadap Somin dengan tubuh yang bersandar pada meja rias. "Ini... aku yang masih ragu."

Kedua bola mata Somin berputar, ia bersidekap menghadap Nari yang menggulum bibir, tampak bimbang dengan pemikirannya sendiri. Somin tidak tahu apa yang dipikirkan sahabatnya itu, tapi ia bisa menduga kalau Nari masih ketakutan dengan masa lalunya.

"Coba saja dulu." Ungkap Somin dengan nada suara yang lebih lembut. "Aku tahu, kau masih trauma dengan masa lalu. Tapi tidak ada salahnya untuk mencoba."

"Kalau aku menunggu sampai dia ke LA, bagaimana? Aku mau lihat apakah kami masih melanjutkan komunikasi atau tidak."

"Terlalu lama!" Somin berubah galak lagi. Ia menggelengkan kepala dengan keras. "Kau mau buang-buang waktu? Kalian sudah kenal satu sama lain, kan? Bahkan kebiasaan-kebiasaan saat kalian bersama saja masih kalian lakukan! Kalian bukan orang baru yang ada di tahap PDKT, Nari!"

"Tap--"

"Aku paham. Kau pasti berpikir, kita sudah lama tidak bertemu, pasti dia berubah," Somin mendecakkan lidah setelah meniru suara Nari. Ia lalu melanjutkan, "buka matamu, Nari! Kalau dia berubah, dia tidak akan mendekatimu! Dia bahkan masih mengingat kebiasaan kalian dulu... sumpah, deh, kau harus cek mata. Mungkin kau sudah buta."

Nari menghela napas panjang. Somin benar tapi hatinya masih belum tenang. Ada banyak unek-unek yang ingin ia utarakan kepada Joshua. Tentang kekecewaannya, tentang perasaannya dan pria itu...

"Kenapa kau nggak heart to heart saja dengan Kak Joshua?" Cetus Somin tiba-tiba, membuat Nari menatapnya penuh tanya.

"Kau, kan bimbang dengan perasaannya. Kenapa tidak tanyakan langsung kepadanya?" Tanya Somin lagi. Nari masih menatapnya, kali ini tampak berpikir keras.

Tentu saja Somin benar. Nari tidak kepikiran untuk berbicara empat mata dengan pria itu. Tapi masalahnya, Nari masih takut. Entah takut kepada apa.

"Siapa tahu setelah ngobrol dengannya perasaanmu lebih yakin, Nari. Coba saja dulu!"

~~~

Pada kenyataannya, berbicara empat mata dengan Joshua tidak semudah itu. Apalagi mereka masih punya banyak kegiatan volunteer yang harus diselesaikan. Seperti pagi ini, saat mereka harus kembali mengajar di Sekolah Dasar Bongseong. Berbeda seperti biasanya, dimana Nari selalu dipasangakan dengan Somin, kali ini gadis itu berpasangan dengan Seungkwan, mengajar Seni Musik untuk anak-anak kelas 6 SD.

Meski begitu, Nari bersyukur bisa dipasangkan dengan Seungkwan karena sense musik pria itu lebih mumpuni daripada dirinya yang hanya tahu 3 kunci Gitar. Menyanyi pun tidak bisa. Sama halnya dengan Somin, makanya ia tidak bisa dipasangkan dengan sahabatnya itu.

"Kak! Mau ke ruang musik, kan?" Seungkwan berseru saat Nari berjalan menuju pintu kelas dikala seluruh siswa sedang asyik menghapal satu lagu nasional yang akan dinyanyikan bersama.

Nari mengerjapkan mata. Ia tidak berniat ke mana-mana, tapi karena bingung harus melakukan apa di kelas itu, ia pun menganggukkan kepala. "Ya... boleh... kau mau nitip apa?"

"Pianika atau recorder. Kak Nari bisa main gitar, tidak?" Tanya Seungkwan dengan polosnya.

"Tidak." Jawab Nari sambil tersenyum kikuk, ia memandang Seungkwan penuh maaf. "Aku main recorder saja, ya?"

"Oke, tak masalah, Kak! Aku titip, ya!"

Nari menganggukkan kepala, ia merasa lega karena Seungkwan tampaknya tidak mempermasalahkan ketidakmampuannya dalam bermain musik. Lalu ia pun berjalan dengan langkah besar menuju ruang musik yang berada tak jauh dari kelas yang diajarinya. Nari sudah tidak sabar ingin memainkan recorder lagi, terakhir kali ia memainkannya saat masih SMA, saat harus mengikuti ujian praktek mata pelajaran seni musik.

"Oh? Nari?"

Langkah Nari segera terhenti saat berniat membuka pintu ruang musik, kini kedua matanya bertumpu pada sosok Joshua yang baru saja memasuki ruangan itu, yang menyadari keberadaannya dengan cepat.

"Mau ambil alat musik?" Tanya Joshua langsung disambut anggukan kepala Nari.

Keduanya lalu bergegas ke dalam ruangan itu, mencari alat musik yang dibutuhkan sebagai media pengajaran mereka. Nari melakukannya dengan cepat, adrenalinnya terpacu karena jantung yang berdegup kencang.

"Kau masih main recorder?" Tiba-tiba Joshua bertanya, melirik case recorder berwarna cream yang ditenteng Nari di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menenteng case pianika.

"Kau masih main recorder?" Tiba-tiba Joshua bertanya, melirik case recorder berwarna cream yang ditenteng Nari di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menenteng case pianika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tidak, Kak. Aku baru mau mencobanya lagi."

Joshua lantas terkekeh, kini di bahunya terlampir tas gitar besar yang membuat pikiran Nari melayang ke masa lalu. Saat Joshua sibuk berlatih bermain gitar bersama Jeonghan untuk mengikuti lomba Festival yang diadakan sekolah mereka.

"Aku masih ingat kau selalu datang ke rumah untuk berlatih Recorder." Ujar Joshua masih enggan untuk beranjak meski tujuannya ke ruang seni sudah terpenuhi. Begitu pula Nari yang merasa kakinya tertahan di sana.

"Hmm... demi nilai seni musik yang baik." Balas Nari kikuk. "Hasilnya lumayan."

Kali ini Joshua tertawa. "Siapa dulu gurunya?"

Nari mengerucutkan bibir. Ia ingin memuji Joshua tapi merasa belum siap untuk melakukannya. Kata-katanya hanya tertahan di lidah yang terasa kelu.

"Ada lagi yang mau kau cari?" Tanya Joshua setelah puas tertawa. Ia berjalan mendekati Nari, menepuk kepala gadis itu beberapa kali.

"Hmm... ada." Jawab Nari lalu melipat bibir. Ia menunduk, memandang ujung sepatunya sambil memikirkan kata-kata yang akan dikeluarkannya kepada Joshua.

"Kau mau cari apalagi? Mau harmonika? Ukulel--"

"Kak, nanti... aku boleh bicara serius dengamu, tidak? Hanya kita berdua saja?"

P.s

Haiiii
Selamat malam...
Akhirnya update juga, semoga suka yaa❤

Start Again [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang