3

47 9 0
                                    

"Juan, Juan!"

Lelaki yang sedang sibuk mencatat materi di papan tulis pun mendongak begitu mendengar suara yang tak asing di telinganya. Ia bisa melihat teman perempuannya yang juga akan masuk ke SMA Belamour nanti melambaikan tangan ke arahnya.

"Kenapa?" tanya Juan.

"Kata mamaku, kamu dapet beasiswa di SMA Belamour, emang beneran?"

Lantas Juan mengangguk. "Iya, emang kenapa?" Wajahnya tidak menunjukkan adanya rasa senang atau bangga. Padahal bisa saja ia mengumumkannya di depan kelas atau saat upacara.

Perempuan itu kembali berbincang dengan temannya. "Tuh kan bener apa aku bilang. Gila ya Juan makannya apa sih?" ujarnya heran.

"Gue makan nasi," jawab Juan yang mendengar ucapan Sakhi dan teman-temannya.

Sakhi terkekeh. "Itu mah pasti. Kita semua makan nasi, tapi kamu pasti nasinya spesial, ada ramuan khusus," timpalnya. "Jangan jadi sombong ya, nanti aku gak bisa nanya soal ke kamu lagi," lanjutnya dengan jari telunjuk yang mengarah ke wajah lelaki di hadapannya bermaksud untuk mengancam.

Hampir saja Juan kelepasan untuk menunjukkan senyumnya, tapi ia berhasil menahan. "Iya, gak ada yang bisa disombongin juga," balasnya seraya mengangguk malas.

Ia kembali meraih pensilnya dan menulis catatan materi Bahasa Indonesia yang belum ia catat selama jam pelajaran tadi.

Juan memiliki kebiasaan untuk mencatat materi setelah jam pelajaran selesai. Ia lebih suka mendengar guru menerangkan materi saja, kalau bersamaan dengan mencatat ia tidak akan bisa fokus.

"Enak ya kalian gak usah mikirin sekolah lagi, aku nih belom tau mau masuk SMA mana," celetuk Cia, teman sekelas Juan.

"Harusnya kamu masuk SMA Belamour aja, Ci. Biar bareng aku sama Juan juga," balas Sakhi.

Cia mendengus. "Mana bisa aku masuk sana, tesnya kan katanya susah, dikit juga yang bisa masuk."

"Aku aja yang otaknya pas-pasan bisa tuh, harusnya kamu coba aja dulu. Keterima apa enggak urusan belakangan," ceramah Sakhi.

"Eh Juan!" seru seseorang dari arah pintu kelas, seorang lelaki tinggi itu salah satu temannya, Bima.

"Apa?" balas Juan dari tempat duduknya.

"Ikut main bola dong! Mau lawan dekel kelas 8 nih," ujar Bima. Semua siswa dan warga sekolah pasti tahu bagaimana gesitnya pergerakan Juan saat mengikuti pertandingan sepak bola atau pertandingan olahraga lain. Lelaki itu dijuluki sebagai 'ACE' oleh teman-temannya.

"Tapi gue ...." Juan memandangi catatannya yang belum selesai ia tulis. Ia ingin ikut bermain sepak bole dengan teman-temannya tetapi ia rasa catatannya lebih penting.

"Catetan aku udah selesai nih, main aja. Ntar pinjem ke aku aja catetannya," sela Sakhi sambil mengangkat buku catatannya. Perempuan itu seolah-olah paham apa yang Juan pikirkan.

Belum mendapatkan respon dari Juan, Sakhi mengalihkan pandangannya ke teman-temannya yang perempuan. "Eh nonton anak cowok main bola yuk?" ajaknya.

Juan menerima tawaran Sakhi. "Oh yaudah, gue ikut, Bim," ujarnya lalu beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju lapangan. Sakhi dan teman-temannya juga mengikuti lelaki itu beberapa meter di belakangnya.

Kalau Juan sudah turun ke lapangan, lelaki itu seketika menjadi magnet bagi siswa lain. Beberapa orang yang melihatnya berjalan menuju lapangan otomatis mengikutinya dan menonton lelaki itu bertanding.

Kali ini keberuntungan bukan berada di tangan Juan, tetapi di tangan seseorang yang bisa kenal dengannya. Tidak semua orang bisa bertemu dengan seorang lelaki sesempurna Juan.

Begitu Juan tiba di lapangan, lawan tandingnya pun terlihat sedikit getir melihat kakak kelasnya yang terkenal sangat pandai memenangkan pertandingan. Dengan seragam yang terlepas dua kancing atasnya, Juan pun bersiap untuk bertanding. Padahal ini hanya permainan biasa di jam istirahat, tetapi rasanya seperti sedang olimpiade olahraga.

Begitu pertandingan dimulai, Juan fokus memperhatikan gerak gerik bola dan berusaha mengarahkannya menuju gawang lawan. Sorakan-sorakan dari temannya dan pendukung lain ia abaikan saking fokusnya.

Murid lain sudah tidak heran lagi jika mendengar suara ribut dari lapangan atas. Pasti lelaki yang bernama Juan sedang bermain di lapangan. Hal ini sudah sangat sering terjadi selama lelaki itu menjadi murid di SMP Pertiwi.

"Kak Juan keren banget!" seru salah satu murid kelas 8.

Siapa yang tidak akan terpesona dengan wajah lelaki itu? Kalaupun ada yang tidak tertarik dengannya, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama orang itu adalah laki-laki, dan kemungkinan kedua, orang itu buta.

"Kak Juan udah punya pacar belom ya?" celetuk seorang perempuan yang sedang menikmati pertandingan ini, atau lebih tepatnya menikmati visual seorang Juan. Kalau lelaki itu menyugar rambutnya, seisi lapangan akan berteriak lebih ribut dari sebelumnya.

"Kayaknya belom deh," balas perempuan yang lainnya.

Mungkin perempuan di sana akan merasa senang karena lelaki impian mereka tidak memiliki pasangan yang artinya mereka bisa saja menarik hati lelaki itu dan menjadikannya kekasih. Tapi sayang lelaki itu diam-diam sudah memiliki perempuan yang ia kagumi.

Lagi pula memiliki kekasih di umurnya yang sekarang rasanya terlalu cepat. Untuk sekarang Juan hanya akan mengagumi perempuan itu saja, tidak lebih. Mungkin setelah SMA nanti ia akan memberanikan diri menyatakan perasaannya kepada perempuan itu.

"Yes! Mantap, Ju!" seru Bima saat temannya berhasilnya memasukkan bola ke gawang lawan untuk ke-tiga kalinya yang artinya tim Juan memenangkan pertandingan kali ini. Para anggota tim kelas 9 pun berlari menghampiri Juan dan menepuk pundak lelaki itu.

"Juan keren bangeet!" Sebagai teman sekelas juga seangkatan sudah seharusnya Sakhi memberikan pujian kepada lelaki itu. Ia bisa melihat senyum sumringah lelaki yang baru ia puji tadi, senyuman itu tidak begitu spesial di matanya, tetapi di mata banyak perempuan lain senyum itu mampu membuat mereka meleleh.

Tak lama bel masuk berbunyi. Semua murid kembali ke kelasnya masing-masing untuk melanjutkan kegiatan belajar mengajar sampai jam 3 sore nanti. Juan berjalan tepat di belakang perempuan berambut pendek sepundak itu. Kemejanya sengaja ia lepas dan ia jadikan handuk untuk menyeka keringatnya.

"Kalo gak ada lo kita pasti kalah anjir," celetuk Zidan sambil menepuk pundak Juan.

"Gak usah lebay, gue gak hebat-hebat amat. Kalian gak ada bedanya juga sama gue," balas Juan.

"Merendah untuk meninggal lo!" timpal Ghani lalu dihadiahi tawaan oleh teman-temannya yang lain. Mereka berjalan menuju kelas dipenuhi dengan senda gurau.

Disaat Juan sedang meneguk air minumnya, Sakhi datang lalu menaruh buku catatan Bahasa Indonesia di atas mejanya. Saat itu juga Juan berhenti minum dan menaruh botolnya. "Makasih," ucapnya singkat lalu dibalas dengan senyum tipis juga anggukan oleh perempuan itu.

Napas lelaki itu tertahan saat melihat senyum yang perempuan itu berikan kepadanya, sepertinya rasa yang ia pendam bukanlah sekedar cinta monyet biasa. Ia sangat tergila-gila dengan perempuan itu.

《《《 》》》

《《《 》》》

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KanigaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang