Berita hangat di hari pertama sekolah di semester dua sudah menyebar dari mulut ke mulut, mengabaikan mana yang benar mana yang salah, yang pasti hampir semua warga sekolah sudah tahu inti beritanya.
"Kasian banget ya kak Raina, semoga adeknya cepet ketemu deh," gumam Sakhi sambil memandangi ponselnya yang membaca pesan yang sudah diforward berkali-kali. Pesan itu berisi informasi adik dari kakak kelasnya yang hilang.
"Adeknya kak Raina ilang?" timbrung Juan lalu berusaha menghampiri tempat duduk Sakhi.
Sakhi mengangguk. "Dia ngirim informasi adeknya kok di grup MOS."
Segera Juan memeriksa pesan yang belum sempat ia baca selama di perjalanan menuju sekolah tadi. Benar saja, ada beberapa pesan dari grup MOS, grup angkatan, bahkan grup yang isinya murid laki-laki kelas 1 juga ramai membahas hal yang sama.
Juan menarik kursi kosong di sebelah Sakhi, entah milik siapa kursi itu. Ia duduk sembari mengejar berita-berita hangat hari ini. Sama seperti murid yang lainnya, mereka sibuk menggali berita dengan giat.
"Oh iya." Juan mengalihkan pandangannya dari ponsel. Mendadak jantungnya berdebar lebih kencang. "Gue bakalan jadi abang tau, Sak." Dengan mata yang berbinar ia menceritakan berita bahagianya.
"Hah!" Sakhi menumpukan tangannya di pundak Juan. "Kamu punya adek? Congrats ya buat mama kamu!" pekiknya penuh semangat. Lupakan berita menyeramkan yang baru saja ia dengar, sekarang ada berita yang lebih menyenangkan.
"Kamu pasti seneng banget ya?" ujar Sakhi dengan senyum di wajahnya.
Juan mengangguk kecil. Ia memang senang atas kehadiran calon adiknya, setidaknya untuk hari ini. Ia senang bisa berbagi berita ini dengan Sakhi. Lihat saja, siapa yang tidak senang melihat raut wajah riang perempuan itu? Apalagi pundaknya sempat dipegang erat untuk beberapa saat.
"Gue gak pede kalo adek gue cewek. Takut gak sefrekuensi," ujar Juan lalu membuang napasnya kasar.
"Eh jangan salah. Hampir semua anak perempuan tuh berharap punya abang. Apalagi anak pertama kayak aku," balas Sakhi. Ia yakin adik Juan salah satu adik yang beruntung karena memiliki kakak seperti Juan.
Juan mangut-mangut dengan bibirnya yang dimajukan sedikit. "Mm ... gitu ya."
"Tenang aja, nanti aku kasih tips and trick ngurusin adek cewek." Sakhi menegakkan tubuhnya gagah, hendak memamerkan kebolehannya. "Asalkan kamu terima kalo adek kamu lebih seneng main sama aku."
"Ah, gak mau kalo gitu," tolak Juan merajuk. Ia beranjak dari kursi. "Gue keluar dulu ya," pamitnya seraya menyunggingkan senyum sekilas.
Baru beberapa langkah Juan berjalan, ia mendapati Galang yang baru saja masuk. "Oi, Lang!" sapanya lalu berjalan mendekati teman akrabnya lalu mengulurkan tangannya.
Galang menarik tangan Juan dan memeluknya sekilas. "Lo kemaren tahun baru ngumpul sama Lingga?" tanyanya membuka topik.
Juan mengangguk, ekspresinya mendadak masam. "Bad experience lah. Mending gue numpang makan di rumah lo, Lang," ujarnya sambil tertawa pahit.
Wajah Galang juga tak kalah masam. "Mending gak usah nekat kalo gak mau kebawa arus, Ju."
Juan mengangguk setuju. Memperluas relasi tidak sesederhana yang Juan kira. Ia harus pandai memilih siapa yang pantas untuk menjadi orang-orang yang masuk ke dalam lingkaran pertemanannya.
"Udah paling bener sama gue sama Janu aja, iya gak?" tanya Galang sambil menaikturunkan alisnya.
Juan memasang wajah geli. "Iya kali."
Galang melempar tasnya ke atas kursi. Ia mengode Juan untuk keluar dari kelas, udara pagi hari terlalu segar untuk disia-siakan. Alasan utamanya, ia ingin membicarakan seseorang yang ada di dalam kelasnya.
"Gimana?" tanya Galang, sengaja dibuat ambigu.
"Gimana apanya?" balas Juan.
"Sama Sakhi udah sedeket apa?" tanya Galang. Ia menyadari perubahan raut wajah Juan yang drastis. "Ju, gue bukan ngelabrak elo, njir. Gue cuma nanya," ujarnya mengklarifikasi aksinya.
Juan masih harus memproses semua yang serba tiba-tiba ini. "Kenapa lo nanya kayak gitu?" tanyanya lirih. Tangannya lemas, ia pikir Galang akan mengajaknya ribut pagi ini.
"Emang kenapa gue gak boleh nanya kayak gini?" balas Galang. Ia pikir pertanyaannya tidak semenyeramkan itu, tapi sepertinya ia salah. Juan sudah seperti murid yang ketahuan merusak properti sekolah.
"Sorry, gue gak maksud jadi saingan lo," lirih Juan, masih sedikit defensif. Ia tidak akan pernah tahu apakah setelah ini Galang tersenyum atau melayangkan pukulannya.
Galang mendecih. "Gue kali yang harus minta maaf. Lo udah suka sama dia sejak SMP, 'kan?"
Juan mengangguk kecil. "Cuman gue belom ada niat pacaran, jadi gue pikir gue harus ikhlasin dia."
"Yaelah, gaya lo!" Galang menepuk pundak Juan cukup kencang. Entah dapat ilham dari mana lelaki itu bisa selapang dada ini.
Suasana berubah seketika saat Januar datang dengan kehebohannya. "Udah denger kabar adeknya kak Raina belom?" tanyanya lantang, mengundang mata untuk melirik ke arahnya.
"Goblok. Jangan kenceng-kenceng," tegur Galang seraya menghindari tatapan-tatapan di sekitarnya.
"Kenapa emang? Lo sempet ketemu sama adeknya?" tanya Juan.
Januar menggeleng kencang. "Ini, ada kabar adeknya terakhir ketemu di mana." Lelaki itu berkutat dengan ponselnya, ia membuka grup MOS yang baru-baru ini aktif kembali. Tangannya menyodorkan ponsel itu ke arah Juan dan Galang.
"Di daerah Sukasari? Deket rumah si Farel ya?" sahut Galang.
"Iya. Katanya adeknya lagi main sama temennya gitu di gang daerah sana," ujar Januar.
Gang di daerah Sukasari. Mendengar lokasi itu mengembalikan ingatan buruk Juan yang membuatnya terdiam. Semua prasangkanya mulai dari yang buruk hingga paling buruk beradu di kepalanya.
Tanpa berbicara apa pun lelaki itu meninggalkan dua kawannya. Ia berbalik badan, menghindari interaksi dengan siapapun selain dengan dirinya sendiri dan Tuhan. Semua ini semakin lama semakin terhubung.
Ia melangkahkan kakinya menuju ruang seni, ia yakin tidak ada orang di sana. Tidak ada yang senang berada di sana karena temboknya dipenuhi dengan karya yang penuh makna tersirat, kalau komentar orang awam, terasa seperti dikelilingi lukisan berhantu.
"Juan!"
Kesadarannya seakan kembali setelah mendengar namanya diserukan begitu kencangnya setelah membuka pintu. "Mikha?" Ia memandangi perempuan itu seraya melirik ke dalam ruangan, hanya ada Pak Yudha di sana.
"Sorry ya gue lama banget. Lo sampe nyamperin gue gini, jadi gaenak," ujar perempuan itu hingga reflek menggenggam lengan Juan kencang sekali.
Juan bersitatap dengan pria yang bersandar ke meja, lantas ia menunduk sekilas tanda salam serta pamit. Ia bisa merasakan cengkeraman Mikha yang gemetar, apakah ini waktunya ia untuk mencurigai sesuatu?
《《《 》》》
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanigara
Teen FictionSemua orang tentu ingin memiliki hidup yang bahagia, termasuk Juan. Ia pikir hidupnya memang sudah bahagia, tapi ternyata ia hanya belum menyadari lubang hitam yang berada tepat di belakangnya dan bersiap untuk menelan semua kebahagiaan yang ia itu...