"Enggak, jujur aja kalo lo belom ngerti. Gue ngeh kali bedanya kalo lo beneran ngerti sama gak ngerti," ujar Juan kepada lawan bicaranya.
Juan terdiam sebentar mendengarkan balasan dari orang itu. "Kalo misalnya lo belom ngerti, nanti gue kirimin link Youtube yang cocok buat lo."
Setelah mengatakan kalimat itu, Juan memutuskan hubungan teleponnya dan menaruh ponselnya di atas meja. Tangannya mengusak matanya perlahan, bohong kalau ia tidak kelelahan untuk menjelaskan materi fisika yang cukup sulit dicerna. Juan sendiri belum begitu mengerti dengan materinya, tapi ia harus menjelaskannya kepada Sakhi.
Akhir-akhir ini Juan sedikit kewalahan mengejar materi yang sulit dimengerti, mungkin semua murid SMP yang baru saja menduduki bangku SMA juga merasakannya. Sebisa mungkin lelaki itu menambah waktu belajarnya dan mengurangi waktu bermainnya.
"Juaaan! Ayah udah pulang nih!"
Pekikan sang bunda lantas membuat Juan melompat dari kursi dan keluar dari kamarnya. Ia berlari menuju ruang tamu untuk menemui sang ayah yang sudah meninggalkannya selama seminggu lamanya. Langkahnya mendadak terhenti dan menjadi lebih pelan saat ia melihat seorang wanita asing di samping ayahnya.
"Apa kabar, Juan?" tanya Rizal terdengar hangat.
"Baik, Yah. Ayah gimana?" Juan perlahan menghampiri ayahnya dan mencium tangannya.
Rizal tersenyum tipis dan mengangguk. "Baik juga. Oh iya, ini teman kerja ayah, namanya Harumi." Pria itu menoleh ke arah wanita berambut pendek ikal di sampingnya. "Harumi, this is my son, Juan."
Juan menunduk samar dan tersenyum canggung. "Hello, I'm Juan," ucapnya memperkenalkan diri.
Wanita itu tersenyum ramah, matanya tertutup karena senyumnya yang lebar. "Hi, Juan. Nice to meet you," balasnya.
Juan memandangi Harumi dengan tatapan kagum, ia tidak percaya kalau ayahnya benar-benar memiliki teman yang berasal dari luar negeri. Ia melihat ayahnya yang berbincang dengan Bahasa Inggris dan sesekali menggunakan Bahasa Jepang. Bahkan ia tidak pernah tahu kalau ayahnya pandai berbahasa Jepang.
Juan mendekati sang bunda yang baru meletakkan dua gelas teh hangat untuk sang suami dan tamu mereka. Lelaki itu lalu berbisik, "ayah keren banget ya, Bunda? Bunda tau ayah bisa Bahasa Jepang?"
Kirana tertawa kecil. "Tau, kadang bunda nguping ayah pas lagi telponan," jawabnya.
"Your son really look just like you, Rizal," ujar Harumi dengan aksen Jepangnya yang terdengar sangat khas.
"Of course he is," jawab Rizal dengan bangga menepuk pundak Juan yang duduk di sampingnya. Sedangkan yang ditepuk hanya tersenyum polos.
"How old are you?" tanya Harumi kepada lelaki remaja itu.
"I'm 15 years old," jawab Juan kaku namun mencoba untuk terlihat ramah.
"Oooh." Harumi mengangguk antusias. "You're just a baby then, hahaha!" ujarnya sambil tertawa renyah.
Juan memasang wajah merajuk. "I'm not a baby ...."
Namun Kirana merangkul Juan dan ikut terkikik pelan. "Yes! He's my baby!" sahutnya penuh percaya diri. Sesuai dengan apa yang ia ucapkan, Juan selalu menjadi bayi di keluarga kecil Kirana.
Harumi mengembuskan napasnya. "You guys are so cute. I hope my future family will be like you," ujarnya berandai-andai.
Setelah berbincang untuk beberapa belas menit lamanya, Harumi pamit untuk pulang menuju apartemen miliknya. Dari yang Juan tahu, Harumi kini akan bekerja di Indonesia untuk jangka waktu yang panjang.
"Nanti ibu Harumi bakal sering ke sini juga apa enggak, Yah?" tanya Juan penasaran.
Pria yang tengah membuka tas gendong miliknya pun menoleh. "Enggak. Dia kerja di kantor aja." Ia mengeluarkan beberapa bungkus camilan yang ia beli di negeri sakura.
Mata Juan berbinar melihat camilan itu. Lantas ia mengambilnya. "Ayah tau aja Juan penasaran sama cemilan dari Jepang," ujarnya dengan intonasi ceria. Ia membuka salah satu bungkusannya dan memakannya. Tubuhnya bergerak riang setiap ia mengunyah.
"Enak banget ya? Bunda bagi dong." Kirana menyambar bungkus camilan yang anaknya bawa lalu mencicipinya. "Mm! Enak banget!" ucapnya riang.
Melihat raut wajah cerah sang istri dan anak laki-lakinya membuat Rizal terhanyut dalam perasaannya. Antara senang dan pilu, entah berapa lama ia diizinkan untuk melihat wajah-wajah itu. Yang pasti, cepat atau lambat wajah itu akan menghilang. Begitulah cara kerja dunia ini.
"Nih, Yah, cobain." Tanpa sadar tangan Juan sudah berada di depan mulut Rizal, menunggu pria itu menerima suapannya. Pria itu pun menerima sebutir coklat isi almond yang diberikan.
"Enak gak?" tanya Juan dengan mata yang berbinar.
Rizal mengangguk pelan. "Enak dong, kan ayah yang beli," jawabnya penuh percaya diri.
Juan tertawa kecil. Ia melirik ke koper yang berisi camilan itu. "Juan boleh ambil satu gak, Yah?"
"Semuanya buat Juan kok. Ambil aja, jadiin bekel buat sekolah juga boleh."
"Kalo kasih ke temen?"
Rizal mengusak rambut Juan. "Boleh juga, suka-suka Juan aja," jawabnya lalu melenggang ke ruang tengah.
"Okee." Juan menarik koper itu dan meletakkannya di dalam kamar. Tanpa waktu lama lelaki itu mulai sibuk memilah-milah camilan mana yang akan ia berikan untuk temannya nanti.
Matanya tertuju pada beberapa bungkus cokelat rasa stroberi. Juan segera mengambil cokelat itu, ia sudah menemukan satu camilan yang disukai oleh seseorang.
《《《 》》》
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanigara
Teen FictionSemua orang tentu ingin memiliki hidup yang bahagia, termasuk Juan. Ia pikir hidupnya memang sudah bahagia, tapi ternyata ia hanya belum menyadari lubang hitam yang berada tepat di belakangnya dan bersiap untuk menelan semua kebahagiaan yang ia itu...