7

30 3 0
                                    

"Juan, kamu udah selesai nulisnya?" tanya Sakhi berbisik.

Juan mengangguk samar. Di hari pertama ia bersekolah, sang wali kelas menyuruh muridnya untuk menuliskan apa impian mereka dan siapa panutan mereka untuk mencapai impian itu. Bagi Juan tentu saja panutannya adalah kedua orangtuanya. Tidak ada yang lebih menginspirasi dari Ayah dan Bundanya.

"Demi apa? Kamu berapa paragraf?"

Juan menatap ke arah kertasnya dan menghitung baris yang sudah ia tulis. Lalu ia mengacungkan dua jarinya dengan maksud ia sudah menulis dua paragraf.

"Oh sama, yaudah aku dua paragraf juga," ujar Sakhi lalu menaruh pensilnya dan menyandarkan punggungnya ke kursi.

Setelah beberapa menit menunggu, sang guru berjalan ke depan kelas. "Jadi siapa yang mau maju duluan buat baca tulisannya?" ucap guru yang bernama Wenda Mikaela.

Lantas perempuan yang duduk di samping Juan mengangkat tangannya tinggi. "Saya deh, Bu!" sahutnya lantang dan penuh percaya diri.

Mengetahui ada anak muridnya yang inisiatif mengajukan diri membuat senyum wanita itu semakin sumringah. "Wah, ibu seneng deh kalo murid-murid ibu semangat gini. Oke Sakhi, silakan maju ke depan!" perintahnya.

Sakhi berjalan ke depan kelas sambil membawa kertas berisi tulisannya. "Nama saya Sakhi dari SMP Negeri 7. Impian saya itu menjadi penyanyi karena itu yang saya suka! Eh kok jadi kayak iklan Biskuat?"

Gurauan itu berhasil mengundang tawa teman-temannya yang bahkan belum berkenalan dengan Sakhi.

"Alesan saya mau jadi penyanyi itu gara-gara tante saya juga penyanyi. Kalian kenal Maudy Ayunda?" tanya Sakhi. Beberapa murid disana mulai berasumsi kalau Sakhi adalah keponakan dari penyanyi terkenal bernama Maudy Ayunda.

Bahkan Juan sendiri tidak pernah tahu akan hal ini. Lelaki itu spontan menegakkan tubuhnya dan mencondongkan sedikit ke depan agar suara Sakhi terdengar lebih jelas.

"Emang kenapa Sakhi? Maudy Ayunda itu tante kamu?" tanya Bu Wenda.

Sakhi tersenyum kikuk. "Enggak sih, Bu. Saya cuma mau nanya aja, barangkali ada yang gak kenal," ucapnya sambil menggaruk belakang lehernya. Lagi-lagi tingkah perempuan itu mengundang tawa penghuni kelas.

Setelah membaca dua paragraf yang telah ia tulis, ia pun kembali duduk ke tempatnya. "Sakhi boleh pilih temen yang lain buat maju ke depan," ujar Bu Wenda.

"Oh gitu, kalo gitu saya pilih Juan aja, Bu."

Juan menghela napasnya berat. Kenapa harus dirinya yang dipilih? Padahal ia sudah berharap kalau ia tidak akan kebagian untuk maju ke depan karena durasi mata pelajaran yang tidak cukup.

Serajin-rajinnya Juan, ia paling malas kalau harus maju ke depan kelas untuk berbicara. Dengan langkah yang berat lelaki itu berjalan ke depan kelas sambil menggenggam kertas miliknya.

"Nama Saya Juan dari SMP Negeri 7. Sebenarnya saya belum tahu apa impian saya karena—"

"Karena Juan serba bisa, Bu! Jadi bingung dia mau pilih yang mana," sela Sakhi.

Lantas Bu Wenda terkekeh. "Kalian ini satu sekolah ya? Pasti Sakhi tau banget Juan gimana," ujarnya. Juan hanya tersenyum canggung karena tidak tahu harus berbuat apa. "Ayo Juan boleh dilanjut," pinta Bu Wenda.

"Oh iya, Bu." Juan menatap ke arah kertasnya yang memiliki fungsi lain yaitu untuk menghalangi pandangannya agar tidak bisa melihat wajah Sakhi. Kalau ia melihat wajah Sakhi pasti bicaranya menjadi tidak lancar.

"Panutan saya adalah orangtua saya. Mereka selalu memberikan saya pelajaran hidup yang sangat berguna untuk saya kedepannya, terutama ayah saya."

Setelah Juan selesai membaca tulisannya ia pun kembali duduk dan memilih satu orang untuk maju ke depan. Baru saja ia duduk, Sakhi sudah mengajaknya berbicara. "Eh, Juan. Emang ayah kamu kerjanya ngapain? Jadi motivator?" tanyanya.

KanigaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang