"Jagain Bunda ya, Juan. Sekarang Juan bakalan ambil jobdesk ayah selama ayah gak di sini," ujar Rizal dengan kedua tangan yang meremat pundak sang anak.
Juan mengangguk. "Iya, Yah. Lagian Ayah kan perginya cuma seminggu, biasanya juga begini, 'kan? Bedanya destinasi yang sekarang lebih jauh aja," balas lelaki itu. Tidak sekali dua kali ayahnya pergi untuk dinas selama beberapa hari, jadi ia sudah cukup terbiasa.
"Ahaha, iya juga ya. Ayah terlalu lebay kayaknya." Rizal merapikan dasinya dan menarik koper yang berisi barang bawaannya. "Yaudah ayah berangkat duluan ya, taksi ayah udah dateng keliatannya." Setelah berpamitan dengan anak dan istrinya, pria itu berjalan menuju taksi yang sudah ia pesan untuk mengantarkannya ke bandara.
"Jangan lupa oleh-oleh yang banyak ya, Ayah!" seru Juan sebelum pintu ditutup.
Setelah pintu rumah ditutup Juan berjalan menuju ruang tamu dan mengambil tasnya. "Kalo gitu ... Juan juga berangkat sekolah ya, Bun? Bentar lagi ojeknya dateng." Juan meraih tangan sang bunda lalu mencium punggung tangannya.
"Hati-hati ya, Nak." Wanita itu memandangi punggung anaknya yang semakin lama semakin menjauh darinya dan meninggalkannya.
Hari ini hari kedua Juan bersekolah sebagai murid SMA. Sejauh ini tidak ada masalah, cukup menyenangkan. Tidak ada murid yang memiliki sifat menyebalkan dan membuatnya naik pitam. Satu-satunya hal yang membuat hatinya resah hanyalah teman lelakinya yang juga menyukai Sakhi.
Biasalah, permasalahan remaja.
Bukan hanya Juan yang resah, tapi Sakhi juga resah. Pikirannya hari ini semrawut memikirkan apakah Juan akan menerima ajakannya untuk pergi ke kantin bersama. Selama ini Sakhi tidak masalah dengan penolakan, tapi kalau ditolak sekaligus ditatap sinis oleh Juan ... merinding.
"Juan! Ke kantin bareng yuk?"
"Ayo." Lelaki itu berjalan mendahului Sakhi menuju pintu kelas dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana abu-abunya.
Raut wajah Sakhi menjadi cerah seketika mendengar Juan menerima ajakannya. Dengan langkah yang ringan perempuan itu berjalan di belakang lelaki yang ia ajak pergi ke kantin bersama itu.
"Eh, gue sama Januar ikut dong!" sahut lelaki yang melapisi baju seragamnya dengan hoodie berwarna hitam.
Sakhi spontan menoleh ke belakang. "Oh, Galang. Ayo aja," balas perempuan itu.
Lantas dua lelaki itu berjalan beriringan bersama Sakhi. Galang berjalan di sebelah kiri Sakhi dan Januar berjalan di sebelah kanan Sakhi. Tanpa sadar langkah mereka seirama seperti pasukan pengibar bendera.
Juan tentu tahu apa yang terjadi di belakangnya. Mendengar Sakhi yang berbincang dengan Galang dan Januar lalu dilengkapi dengan tawaan memciptakan rasa panas, bukan udara di sekolahnya, tapi di hatinya. Seperti ada percikan api yang membuatnya merasa terbakar.
"Kalian mau pesen apa?" tanya Juan kepada teman-teman yang di belakangnya.
"Aku kayaknya mau batagor," ujar Sakhi. "Kalian apa?" tanyanya.
"Gue ngikut lo aja deh, Sak. Biar gue bisa pesenin sekalian buat lo" ucap Galang.
"Oh kamu mau pesenin aku?" tanya Sakhi dengan raut wajah tidak percaya. "Galang ternyata orangnya baik banget ya, Makasih, Lang!" ucap perempuan itu dengan senyum sumringah.
Perhatian perempuan itu beralih kepada Juan. "Kamu mau makan apa, Ju? Di sini gak ada pempek pak Suf sih, jadinya mau gak mau kamu harus cari menu lain," ujar Sakhi lalu terkekeh.
Mengetahui kalau Sakhi hafal menu andalannya saat memesan makanan di kantin membuat Juan sedikit salah tingkah? Apakah perempuan itu diam-diam memperhatikannya juga? Sejak kapan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanigara
Teen FictionSemua orang tentu ingin memiliki hidup yang bahagia, termasuk Juan. Ia pikir hidupnya memang sudah bahagia, tapi ternyata ia hanya belum menyadari lubang hitam yang berada tepat di belakangnya dan bersiap untuk menelan semua kebahagiaan yang ia itu...