"Ya ampun, Juan! Ini beneran buat aku?"
Juan mengangguk memberikan respons pada pertanyaan yang Sakhi lontarkan. Matanya tidak lepas dari perempuan yang tengah memandangi plastik berisi camilan dari Jepang.
"Ya ... kalo bukan buat lo ngapain gue taro di atas meja lo?" balas Juan.
"Tapi ini banyak banget! Emang orangtua kamu gak marah liat kamu buang-buang makanan?" tanya Sakhi khawatir. Ia merasa tidak pantas mendapatkan nikmat yang melimpah seperti ini.
"Siapa yang bilang mau dibuang sih? Ini buat lo," bantah lelaki itu penuh penekanan di akhir kalimatnya.
Sakhi menghentakkan kakinya. "Bukan gituu!" bantahnya lantang. "Maksudnya kan sayang kalo dikasih ke aku semua, mending dimakan sendiri sama keluarga," ujarnya menjelaskan apa maksud dari 'buang-buang makanan'.
"Di rumah ada lebih banyak dari ini." Juan tertawa kecil. "Kalo gak mau sih gapapa." Lelaki itu hendak mengambil plastik yang semula tergeletak di atas meja Sakhi, namun perempuan itu menyambarnya lebih dulu.
"Mau lah ...," ujarnya lirih. Ia mengeluarkan beberapa jenis camilan, menyisakan cokelat batang rasa stroberi di plastiknya dan sisanya ia berikan kepada Juan. "Tapi segini aja, jangan banyak-banyak. Makasih ya, Juan."
"Yaudah sisanya gue bawa pulang aja," ujar Juan pasrah. Setidaknya Sakhi masih mau menerima pemberiannya, lebih baik daripada tidak diterima sama sekali.
Begitu teman-temannya yang lain datang, Juan membagikan oleh-olehnya kepada mereka. Termasuk Bu Wenda yang menjadi guru pertama yang mengajar hari ini.
Seorang pria berumur sekitar 20-an yang mengikuti Bu Wenda di belakangnya menjadi objek yang menarik perhatian para murid kelas 1A. Tidak ada satupun yang mengenali wajah pria itu.
Bu Wenda menyapa para muridnya. Ia berjalan menuju tengah kelas supaya keberadaannya terlihat. "Kali ini ibu ditemani oleh Pak Yudha, minggu-minggu ke depan pun Pak Yudha akan menemani kita, yeay!" ucapnya sambil bertepuk tangan semangat.
"Pagi semuanya, perkenalkan nama saya, Yudha Rahman. Kalian bisa panggil saya Pak Yudha," ucap pria itu memperkenalkan diri. Respon yang didapat cukup seragam, mereka mengangguk menerima informasi tentang pria itu.
Selama dua jam pelajaran, dihabiskan setengah untuk saling berkenalan dengan sang guru yang tengah menjalani masa training. Bisa dibilang, Pak Yudha cukup menyenangkan, karena usianya yang terbilang muda, pria itu bisa menyesuaikan gaya bahasanya dengan anak murid kelas 1A.
"Eh tadi teks apa katanya?" tanya Galang setengah berbisik kepada Juan yang duduk di depannya.
"eksposisi," balas Juan singkat namun mampu menjawab pertanyaan Galang.
Di tengah fokus para murid yang sedang mencatat materi tentang teks eksposisi, Pak Yudha menghampiri meja di samping Juan, meja Sakhi. Kelihatannya pria itu juga mudah bergaul dengan anak zaman sekarang, buktinya Sakhi terlihat senang berbincang dengan pria itu membahas minat bakatnya.
"Sakhi ikut klub apa di sekolah?" tanya Pak Yudha.
"Saya niatnya mau ikut fotografi sama musik," jawab Sakhi. Ia menghentikan kegiatan mencatatnya sementara dan berbincang dengan Pak Yudha.
Pria itu mengangguk pelan. "Yah, berarti kita gak ketemu nanti." Ia membungkuk sedikit lalu berbisik, "Saya nanti jadi guru klub melukis," ujarnya.
"Ooh gitu? Bapak jago ngelukis dong?" tanya Sakhi antusias.
Kali ini Pak Yudha mengangguk bangga. "Lumayan sih, bisa lah ngajarin kalian yang nanti masuk klub melukis," ujarnya sambil tertawa kecil.
"Juan aja kali yang masuk klub melukis." Sakhi menyenggol lengan lelaki di sampingnya. "Ikut klub melukis gih, Ju. Siapatau dapet talent baru, makin keren pasti kamu," ujarnya sambil tersenyum jahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanigara
Teen FictionSemua orang tentu ingin memiliki hidup yang bahagia, termasuk Juan. Ia pikir hidupnya memang sudah bahagia, tapi ternyata ia hanya belum menyadari lubang hitam yang berada tepat di belakangnya dan bersiap untuk menelan semua kebahagiaan yang ia itu...