19

57 3 0
                                    

Rasanya kepala Juan bersarang, begitu juga dengan tangan dan pundaknya. Bongkahan es pun muncul di setiap sudut rumahnya. Wajah Juan yang orang-orang bilang bersinar perlahan meredup. Hanya orang beruntung yang bisa melihat sinar itu.

Sudah lama sekali tangan ayahnya tidak mengusak pelan rambut Juan sambil memberikan pujian khas seorang ayah. Sudah lama sekali pundaknya tidak dirangkul oleh ayahnya saat berlibur atau saat jalan pagi di perumahan sekalipun. Paling tidak pria itu menggandeng tangannya terlepas berapa umur Juan saat itu.

Saat ini, ibunya berusaha keras menghilangkan sarang dan melelehkan es itu. Sayangnya, usaha Kirana kurang.

"Juan berangkat ya, Bunda." Lelaki itu menarik tangan sang bunda dan mencium punggung tangannya.

"Temen-temen Juan yang sekarang seru ya?" Pertanyaan Kirana berhasil membuat Juan terdiam bingung. Kirana tersenyum tipis. "Habisnya sekarang Juan sering banget jalan-jalan. Bunda sebenernya kepo Juan ngapain aja kalo main sama temen." Wanita itu mengayunkan tangan Juan yang masih bertaut dengannya.

Juan tertawa canggung. "Gitu-gitu aja kok, Bun. Ngobrol, makan, ngobrol, makan. Serunya ya di ngobrolnya itu."

Kirana mengangguk pelan. "Bunda sama ayah juga pengen dong ngobrol sama Juan. Bunda sama ayah harus bayar pake apa ya?" tanyanya penuh harap.

"Kapan-kapan ya, Bun. Juan berangkat ya, nanti ketinggalan obrolannya nih!" seru lelaki itu seraya melepas tautan tangannya dan melenggang pergi.

Juan sudah menduga obrolan seperti itu akan terjadi. Bundanya tidak bisa pura-pura tidak sadar akan hubungan Juan dan ayahnya yang merenggang tanpa alasan. Akan tiba saatnya wanita itu mencoba merayu anaknya untuk kembali.

Jangan anggap Juan durhaka. Tidak hanya mereka yang merasa kosong, tidak hanya mereka yang merasa kehilangan. Juan juga. Lelaki itu berusaha mengabaikan semua rasa itu, lelaki itu berusaha menjadi egois sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.

Bertemu dengan temannya memang menyenangkan, tingkah konyol mereka bisa mengundang tawa dan sinar di wajah Juan untuk beberapa saat. Mungkin ini fungsinya teman. Tempat untuk saling menghibur dan melupakan masalah.

"Lo mau ikut minum gak, Ju?" tanya lelaki berjaket denim dengan kacamata hitam, Lingga namanya.

Juan menautkan alisnya. "Minum?"

"Iye. Ikut lah biar rame," sahut Daffa lalu menepuk pundak Juan.

Teman-temannya kali ini berbeda. Galang dan Januar tidak bisa hadir kali ini karena mereka sudah ada acara tahun baru sendiri dengan keluarganya. Memang hanya orang-orang seperti Juan yang memilih untuk keluar rumah saat detik-detik pergantian tahun ini.

Juan berkutat dengan pikirannya sendiri. Haruskah ia pergi sejauh ini? Haruskah ia melakukan apa yang orangtuanya larang hanya untuk membesarkan keegoisannya?

"Enggak deh, gue gak tertarik," tolak Juan. Terlepas dari ejekan-ejekan yang temannya lontarkan saat itu, Juan tetap memilih untuk pulang. Setidaknya di rumah ia bisa berdiam diri di kamar atau membersihkan debu di rak bukunya.

Seharusnya Juan berada di luar rumah setidaknya sampai jam 11 malam, tapi sekarang Juan sudah menuju rumahnya di jam 8 malam. Berkumpul dari siang hari sampai malam pun tidak cukup untuk Juan. Tidak mungkin kalau Juan pergi bertemu Sakhi, perempuan itu sudah berlibur ke luar kota.

Lelaki itu merogoh sakunya, mencari kunci gembok pagar. Belum sampai di depan pintu rumah, orangtuanya lebih dulu menyambutnya.

KanigaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang