"Langsung balik?" tanya Galang dengan napas yang tersengal.
Juan merogoh botol minumnya dan meneguk air itu hingga tetes terakhir. Kepalanya mengangguk cepat, mengiyakan pertanyaan Galang. Tidak ada urusan lagi ia di sekolah ini, di sore hari ini, hingga lelaki itu menoleh ke arah pintu lapangan.
Seorang perempuan berambut hitam panjang berdiri di sana, bersandar ke tembok sembari menunduk, mengayun-ayunkan kakinya guna menghilangkan rasa bosan. Perempuan yang terakhir kali berbicara dengan Juan minggu lalu di ruang seni.
Tanpa mengambil pusing, lelaki itu melepas perhatiannya dari perempuan itu. Juan kembali berbincang singkat dengan teman-teman satu klubnya sebelum agenda klub diakhiri dan mereka keluar dari lapangan bersamaan.
"Hai, Mik," sapa Juan serta Galang yang ikut melambaikan tangannya di belakang. "Nungguin orang?" lanjutnya.
Mikha mengangguk kaku. "Iya, tapi kayaknya orangnya udah gak ada. Turun aja deh gue," ucapnya dengan senyum pahit.
"Bareng aja kalo gitu," sahut Galang dengan langkahnya terhenti, membiarkan Mikha berjalan di depannya dan di belakang Juan.
Tiga lantai berhasil mereka lewati, sekaligus hadiah berupa rasa nyeri di betis mereka. Dua lelaki itu juga tidak berhasil membuka topik obrolan saat berjalan beriringan bersama teman perempuan mereka yang tidak begitu akrab.
"Rumah lo di mana, Mik?" tanya Galang.
"Azure," jawab Mikha singkat.
Galang mengangguk kecil sebagai respons. "Yaudah, gua duluan yak!" pamitnya lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Juan dan Mikha di depan lobi gedung sekolah.
"Lo dijemput apa pulang sendiri?" tanya Juan.
Mikha menoleh ke arah Juan. "Pulang sendiri, lo?"
"Sama. Ini baru mau pesen ojol." Juan menunduk sedikit, sibuk memesan ojek online untuknya pulang sore ini. Ia tidak menyadari Mikha yang terlihat gugup dan resah hingga ia menutup ponselnya. "Lo pesen jug—kenapa, Mik?"
Mikha sedikit tersentak. Perempuan itu meremat rok seragamnya. "Itu ... gue boleh minta tolong gak?" ujarnya pelan.
"Minta tolong apa?" Seluruh kesadaran Juan mendadak berkumpul kembali. Ia yakin apa yang akan Mikha katakan persis seperti apa yang ia duga minggu lalu.
"Gue bener-bener takut sama Pak Yudha." Mikha melontarkan isi hatinya dengan napas yang lama kelamaan tersengal. "Gue takut dia lebih pinter dari gue, terus dia manfaatin gue, terus hidup gue hancur, terus orang tua gue—"
"Oke-oke. Mikha." Juan mengulurkan kedua tangannya ke arah perempuan itu, memberi gestur agar perempuan itu tidak kalut dengan prasangka buruknya sendiri. "Gue ngerti maksud lo apa, tapi gue rasa lo belom mampu buat jelasin lebih detail lagi apa yang lo alamin dan gak masalah. Gue pasti bakal bantu lo."
Mata perempuan itu semakin lama semakin dibanjiri air mata. Segera ia menyeka air mata itu dan menggunakan roknya sebagai lap. "Maaf ya, gue gak tau harus percaya sama siapa lagi di kelas kita. Gue cuma percaya sama lo soalnya kata Sakhi, lo orangnya baik dan gak aneh-aneh."
Spontan Juan melepas tawanya. Sepersekian detik benak Juan menjadi penuh bunga. Di satu sisi ia bersyukur karena Sakhi secara tidak langsung memikirkannya sampai membahas sifatnya kepada orang lain.
Juan mengangguk tegas. "Aman, Mik. Makasih udah percaya sama gue, sama Sakhi juga. Lo boleh chat gue kapan aja kalo butuh sesuatu, oke?"
Melihat Mikha yang sudah lebih tenang, lelaki itu mengucapkan pamit dan meninggalkan perempuan itu terlebih dahulu. Sebenarnya ada rasa khawatir meninggalkan Mikha sendirian, tetapi apa daya driver ojek sudah menunggunya di depan gerbang.
Angin sore meniup rambut Juan yang sudah dibasahi keringat. Lelaki itu jarang membuka ponselnya saat sedang perjalanan pulang. Pertama karena takut dijambret orang, kedua karena ia memilih untuk menghabiskan waktunya untuk melamun sambil menikmati angin yang menghantam tubuhnya.
Untuk apa sekolah di tempat yang bagus kalau isinya tidak sebagus yang kita kira?
Untuk apa seseorang melakukan sesuatu yang berisiko merusak hidupnya sendiri dan orang lain?
Pertanyaan itu meramaikan pikiran Juan yang semula kosong. Lelaki itu memandangi ruko-ruko yang ia lewati, berusaha mengabaikan pertanyaan yang mungkin akan kembali menghantuinya saat ia merebahkan tubuhnya di atas kasur nanti.
Ting!
Ting!
Ting!Ponselnya berbunyi dibarengi dengan getarannya yang membuat ponsel itu bergeser dari tempat semula. Tangannya yang semula menjadi bantal untuk kepalanya lantas direntangkan, berusaha meraih ponsel di meja kecilnya.
Pesan dari Mikha. Ia membuka pesan yang berisi sebuah tangkapan layar ruang obrolan antara Mikha dan pria yang sedang berusaha menguasai perempuan itu. Juan membaca satu persatu tangkapan layar yang diberikan oleh Mikha.
Mikha
| gue kirim ini jaga2 lo butuh
| gue gatau harus gimana
| tapi gue bener2 berharap lo bisa singkirin dia tanpa bikin gaduh
| makasih banyak, JuanNapas lelaki itu terasa berat. Mendadak ia harus menyelesaikan semua masalah disaat ia juga memiliki masalah yang tak kalah penting untuknya, untuk kelangsungan hidupnya, bahkan ibu dan adiknya. Memangnya Juan siapa? Ia tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah, apalagi menyingkirkan orang jahat. Juan juga tidak tertarik untuk menjadi polisi atau sejenisnya.
Mikha
oke|
Lelaki itu menaruh kembali ponselnya di atas meja. Ia beranjak dari kasurnya lalu berjalan menuju ruang tengah, menyalakan televisi dan melahap camilan yang memang disediakan untuk menemaninya menonton.
"Kabar orang hilang menjadi perhatian sekaligus kekhawatiran warga saat ini."
Juan berhenti memindahkan saluran saat mendengar kalimat itu. Ia membiarkan televisinya memutar acara berita sore yang biasanya tidak pernah ia dengar karena membosankan dan terlalu serius. Juan menerima seluruh informasi yang diberitakan dan menyimpannya di kepala, merasa semua itu penting di kemudian hari.
"Temen kamu ada yang adiknya hilang, 'kan?"
Juan menoleh kasar ke arah suara itu. Mendapati ibunya sedang berdiri di belakangnya sambil membersihkan telinganya. "Sedih loh, Bunda dengernya. Bunda juga jadi takut Juan hilang."
Juan mengukir senyum paksa. "Juan kan udah gede, Bun. Lagian Juan juga dulu sempet ekskul taekwondo. Juan masih inget kok cara bela diri."
"Pihak kepolisian setempat mulai menyisir kota untuk mencari keberadaan korban penculikan dan mencari tahu pelaku dari maraknya kasus orang hilang."
Kelas 1 SMA, 16 tahun, laki-laki. Seperti apa yang sering dikatakan oleh guru yang sedang ceramah di pagi hari, Juan sudah bukan anak kecil lagi, Juan sudah harus belajar menjadi dewasa. Artinya, ini bukan waktunya melepas tanggung jawab yang Juan pikul begitu saja, ia harus menjadi dewasa dan menyelesaikan masalah ini secepatnya.
《《《 》》》
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanigara
Teen FictionSemua orang tentu ingin memiliki hidup yang bahagia, termasuk Juan. Ia pikir hidupnya memang sudah bahagia, tapi ternyata ia hanya belum menyadari lubang hitam yang berada tepat di belakangnya dan bersiap untuk menelan semua kebahagiaan yang ia itu...