"Eh, Bunda! Ayah vid-call nih!" seru Juan yang mengarahkan layar ponselnya ke wajahnya. Sebelum mengangkat sambungan telepon dari sang Ayah lelaki itu merapikan rambutnya.
Mendengar panggilan dari sang anak, Kirana yang awalnya sedang sibuk dengan tanaman di teras rumahnya pun berjalan masuk ke dalam rumah menghampiri Juan yang sedang duduk di sofa ruang tengah.
Begitu Kirana duduk di sebelah Juan, lelaki itu mengangkat teleponnya dan mengatur posisi kameranya agar dirinya dan sang bunda tersorot. Mereka berdua bisa melihat wajah kepala keluarga mereka yang sudah meninggalkan rumah selama 3 hari.
"Ayaaahh! Apa kabar, Yah?" sahut Kirana penuh semangat, tangannya melambai beberapa kali ke arah kamera.
"Baik, kalian gimana kabarnya?" tanya Rizal.
Juan dan Kirana kompak mengangguk. "Baik, Yah," jawab Juan. Mata lelaki itu menyandari sesuatu, kemeja yang digunakan oleh ayahnya terlihat sedikit kotor. "Ayah abis ngapain sih? Kok bajunya kotor gitu?" tanya Juan.
"Oh ini. Iya, ayah mau cerita ini ke kalian. Tadi ayah abis jatoh ke selokan, haha!" ujar Rizal lalu tertawa terbahak-bahak mengingat peristiwa yang ia alami beberapa saat sebelum menelpon anak dan istrinya.
Lantas Kirana dan Juan ikut tertawa, tidak biasanya pria itu ceroboh sampai mengalami kejadian yang tidak mengenakan. "Terus gimana? Diliatin sama orang sana dong? Malu ihhh," ejek Kirana.
"Ayah tumben banget bisa sampe kecemplung gitu," timpal Juan lalu menyeka air matanya akibat terlalu lama tertawa.
"Enak ya kalian ketawa, ayah malu," dengus Rizal.
"Ayah lagi di mana sih itu? Kok gelap banget perasaan," tanya Kirana begitu ia menyadari tempat suaminya sedikit minim cahaya sehingga kualitas videonya sedikit buruk.
"Oh ini, ayah lagi di ... di mana ya ini? Lupa ayah namanya pake bahasa Jepang soalnya," balas Rizal kikuk. Pria itu pun berjalan keluar untuk mencari tahu nama tempat ia berada. "Ya intinya ayah abis ketemu sama temen ayah yang dari Jepang."
"Keren banget Ayah punya temen orang luar negeri," ujar Juan kagum. Ia juga ingin menjadi seperti Ayahnya yang memiliki banyak relasi dia setiap daerah atau bahkan negara.
"Makanya nanti Juan belajar yang rajin biar dapet pekerjaan yang lebih keren dari ayah," ujar Rizal.
"Ayah aja udah keren banget, Juan harus sekeren apa lagi?" tanya lelaki itu. Ia tidak yakin bisa menandingi kehebatan ayahnya di masa depan nanti, memiliki pekerjaan yang bisa menghidupi keluarganya saja sudah cukup mengagumkan baginya.
"Ya pokoknya harus lebih bagus daripada ayah kerjaannya, biar bisa jadi orang yang sukses." Juan bisa melihat sang ayah yang tersenyum di seberang sana. "Yaudah teleponnya nanti lagi ya? Ayah mau lanjut kerja nih," ujar Rizal lalu melambaikan tangannya sebelum mematikan sambungan telepon.
"Juan bisa gak ya jadi kayak ayah ...," gumam lelaki itu. Dengan memiliki otak yang cemerlang sepertinya tidak akan cukup untuk memberinya masa depan yang indah.
Lantas Kirana mengusap rambut sang anak lalu menyisirnya menggunakan jari jemarinya. "Bisa dong. Anak bunda kan hebat, keren, pinter, ganteng lagi. Pasti Juan bisa jadi orang sukses nanti terus bahagiain ayah sama bunda," ujar wanita itu hangat.
"Tapi kalo Juan ternyata gak sukses gimana?"
Kirana tertawa kecil melihat anaknya yang sedang merenungi masa depan. "Anak bunda ini tumben banget ngegalau begini? Kalaupun Juan gak sukses, setidaknya Juan harus bisa bahagia. Sukses belom tentu bahagia, tapi kalo bahagia udah pasti sukses."
"Kalo Juan gak sukses terus gak bahagia gimana?"
"Ya ... jangan langsung mikir ke sana dong. Daripada mikirin itu mending pikirin yang deket-deket aja. Misalnya goals Juan selama sekolah di SMA Belamour apa? Juan mau cetak pencapaian apa selama 3 tahun ke depan. Kalo goals Juan tercapai berarti Juan sukses, kalo misalnya enggak, berarti Juan harus berusaha lebih keras lagi dan berani untuk bikin goals-goals baru lagi."
Juan mendengarkan kata demi kata yang Kirana ucapkan dengan seksama. Otaknya mencatat semuanya dengan baik tanpa ada yang terlewat. Pada akhirnya penasihat terbaik untuknya hanyalah sang bunda dan ayahnya.
"Kalo gitu ... Juan mau lulus dari sekolah ini terus nilainya bagus semua, gak ada yang di bawah seratus sama sekali," ujar Juan optimis. Mendapatkan nilai seratus seharusnya tidak menjadi hal yang sulit untuknya.
"Woah! Boleh tuh," ucap Kirana dengan raut wajah yang cerah. "Anak bunda pokoknya harus terus semangat, jangan pernah merasa masa depan Juan itu buruk. Semuanya udah diatur sama yang di atas, jadi Juan cuma perlu berdoa sama kerja keras." Kirana memeluk Juan setelah memberikan beberapa pesan untuk anaknya yang sedang mengkhawatirkan masa depannya.
"Makasih ya, Bunda." Beruntungnya lelaki itu bisa memiliki orangtua yang bisa menuntunnya untuk menjalani kehidupan ini.
"Oh iya, Juan. Bunda punya ini." Kirana merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah bungkusan berwarna coklat. "Tadaa!" serunya.
"Apa itu, Bun?" tanya Juan.
"Bibit bunga matahari," jawab Kirana. Saat pergi ke Taman Kanigara tempo hari, wanita itu membeli bibit bunga matahari untuk di tanam di rumah. Kebetulan sekali perempuan itu baru bisa menanamnya sekarang karena keperluan lain seperti pot dan yang lainnya baru saja tiba beberapa jam yang lalu.
"Bunda mau tanam bunga matahari di rumah?" tanya Juan lagi. Ia khawatir beberapa bulan ke depan teras rumahnya akan terlihat seperti hutan belantara.
Kirana mengangguk semangat. "Iya dong, bantu bunda yuk? Pasti kamu lagi gak ada kerjaan, 'kan? Mending bantu bunda," pinta wanita itu lalu beranjak dari sofa dan berjalan menuju teras rumah.
Juan pun beranjak dari sofa dan mengikuti sang bunda, menanam bunga matahari merupakan hal baru baginya. Mungkin akan menyenangkan, apalagi melakukannya bersama dengan bundanya.
Kirana selalu memiliki ide-ide unik untuk memanfaatkan waktu luangnya bersama Juan, anak satu-satunya yang ia miliki. Tak heran kenapa Juan mahir dalam melakukan hal-hal yang tidak biasa orang bisa seperti menanam tanaman seperti sekarang ini.
"Bun! Berat banget ini! Juan gak kuat!" seru Juan yang sedang berusaha untuk mengangkat satu kantung tanah lapisan atas untuk dituangkan ke dalam pot.
"Aduh, masa anak bunda gak bisa," remeh Kirana. Wanita itu pun membantu sang anak untuk mengangkat kantung tanahnya dan menuangkannya ke dalam pot. "Ringan gini loh padahal," lanjutnya lagi.
Juan mendengus. "Kan tadi kita angkat berdua, kalo Bunda angkat sendiri juga pasti gak bisa," balasnya lalu menyeka keringat di dahi dan pinggir wajahnya menggunakan tangan kosong.
"Ehh, muka kamu jadi cemong tuh." Kirana tertawa kecil melihat wajah Juan yang terkena noda tanah. "Iya deh anak bunda mah serba bisa, yang tadi bunda pura-pura lupa aja kalo Juan gak bisa angkat karungnya," gurau Kirana.
《《《 》》》
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanigara
Teen FictionSemua orang tentu ingin memiliki hidup yang bahagia, termasuk Juan. Ia pikir hidupnya memang sudah bahagia, tapi ternyata ia hanya belum menyadari lubang hitam yang berada tepat di belakangnya dan bersiap untuk menelan semua kebahagiaan yang ia itu...