"Juan bekelnya udah? Pulangnya cepet sih, tapi kan kegiatannya pasti banyak. Takutnya kamu laper lagi," tutur Kirana. Pagi ini wanita itu sudah kalang kabut menyiapkan barang bawaan anaknya untuk sekolah.
"Bunda, Juan udah siapin semuanya dari kemaren. Juan udah tinggal pake sepatu sama nunggu Go-Jek dateng ini," ujar sang Anak.
Jujur Juan sedikit kesal dengan sikap orangtuanya yang sangat berlebihan, tapi ia tahu orangtuanya bersikap seperti itu karena khawatir kepadanya dan tidak ingin hal buruk terjadi kepadanya.
"Gak mau dianterin ayah aja? Mumpung ayah mau berangkat juga nih," tawar Rizal yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
"Juan udah gede, Yah, udah SMA. Masa masih dianterin sih, ngerepotin Ayah nanti," balas Juan yang sedang mengikat tali sepatunya.
Lantas dua orang dewasa itu mengembuskan napasnya bersamaan. Mereka menyadari kalau sekarang anak mereka tidak membutuhkan perhatian yang berlebihan seperti beberapa tahun yang lalu. Juan sudah cukup umur untuk menjalani hidupnya sendiri.
"Yaudah, hati-hati ya, Juan. Kalo butuh apa-apa telepon bunda atau ayah," ujar Kirana sambil mengelus pundak sang anak.
Juan mengangguk pelan. Setelah driver ojek online yang ia pesan datang, ia pamit kepada orangtuanya dan berangkat menuju sekolahnya. Awalnya ia biasa saja dengan kaus berwarna hijau neon yang ia kenakan. Tetapi begitu motor berhenti saat lampu merah, rasanya semua mata tertuju pada dirinya. Anak sekolah lain memakai seragam putih abu-abu atau putih biru, sedangkan dirinya berwarna hijau neon.
Setelah 17 menit perjalanan, tibalah Juan di gedung SMA Belamour, tempat ia melanjutkan pendidikannya selama 3 tahun kedepan. Dengan langkah yang penuh semangat lelaki itu berjalan menuju lobby sekolah. Sesekali ia menyapa guru dan murid lain yang sepertinya akan menjadi temannya nanti.
"Juan Arsya Kanigara, betul?" tanya salah seorang perempuan yang memakai almamater OSIS dan bernametag 'Raina Cantika.' Juan tebak perempuan itu adalah mentornya.
"Iya betul, Kak Raina ya?"
Perempuan itu mengangguk. "Iya, aku Raina. Dipake ya nametagnya," ujarnya lalu memberikan nametag berwarna hot pink yang sangat mencolok. Entah apa tujuan para anggota OSIS memakai warna-warna yang membuat sakit mata seperti ini.
Juan menerima nametag itu lalu menggenggamnya. "Oke makasih, Kak. Habis ini saya harus ngapain?" tanya Juan.
"Kamu bisa ke kelas kamu dulu, kelas 1 ada di lantai ini ya." Saat itu juga Juan menyusuri lorong lantai 1 sambil menoleh ke sekitarnya mencari di mana letak kelasnya. Begitu melihat pintu bertuliskan kelas 1A, lelaki itu pun masuk ke dalam.
"Assalamualaikum ...," sapa Juan pelan setelah melangkah masuk. Karena malas mencari tempat, lelaki itu duduk di kursi yang dekat dengan pintu masuk. Ia menggantung tasnya di gantungan yang terletak di sampimg meja.
Lelaki itu memasang nametag miliknya di sebelah kanan. Matanya melihat ke sekeliling kelas. Banyak wajah-wajah yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Ia ingin mendekati murid lain tetapi rasa takutnya lebih besar. Mungkin akan lebih baik ia berkenalan dengan mereka nanti saja.
"Juan?"
Seseorang yang memanggil namanya membuat lelaki itu menoleh. Seketika jantungnya berhenti melihat perempuan yang berdiri tepat di hadapannya. Sejak kapan Sakhi ada di sana?
"Ihh! Kita sekelas? Asikk ada temen!" ujar perempuan itu penuh semangat. "Yaudah aku duduk di sebelah kamu aja kalo gitu." Ia berjalan menuju kursi kosong di samping Juan lalu menaruh tasnya.
"Kok kita disatuin ya? Padahal kan kita satu SMP. Bagus sih, tapi aneh aja gitu," tutur Sakhi masih dengan semangat yang tidak pernah surut.
"Gak tau juga ya," jawab Juan. Dalam hatinya lelaki itu merutuki dirinya sendiri karena sangat kaku ketika berbicara dengan Sakhi, bahkan lebih kaku saat ia berbicara dengan Kak Raina tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanigara
Teen FictionSemua orang tentu ingin memiliki hidup yang bahagia, termasuk Juan. Ia pikir hidupnya memang sudah bahagia, tapi ternyata ia hanya belum menyadari lubang hitam yang berada tepat di belakangnya dan bersiap untuk menelan semua kebahagiaan yang ia itu...